Sunday 13 April 2014

Cinta Sepasang Malam



by Ragd!@RagdiFDaye


Apakah kebahagiaanku membuatmu tidak bahagia? (Agni)


Kamu murung sekali. Lebih banyak diam dan melamun daripada tertawa riang seperti biasa. Canda yang kulontarkan menjadi tidak lucu karena hanya aku yang tertawa sendiri. Sajian bebek bengil yang crispy di depan kita nyaris tak kausentuh, padahal biasanya kita selalu berebut untuk menjadi yang pertama menikmati daging tipis yang melekat di tulang sayap yang renyah.
“Aku tak akan berubah, Zach. Aku akan tetap jadi temanmu. Kita akan tetap seperti biasa.”  Kulayangkan pandang ke lampu-lampu hias di dekat pantai. Cahaya lembut berlatar laut yang berkilau. Suara empasan ombak seperti alunan musik. Semilir angin beraroma wangi kamboja, asin laut, rempah-rempah, dan eternity-mu. Malam yang sangat indah, bukan?
Aku telah pamit pada Krishna untuk bersamamu malam ini. Malam perpisahan kita. Setelah pernikahan kami Sabtu depan, Krish akan membawaku ke Darwin, dan mungkin kita tak akan bertemu lagi hingga waktu yang lama. Tapi kita akan tetap bisa bertukar kabar lewat telepon dan skype. Tak ada yang perlu dicemaskan. Hubungan kita akan baik-baik saja. Sahabat selamanya. Meski aku telah berstatus istri orang, aku akan tetap menjadi sahabatmu yang setia.
Atau, atau adakah sesuatu yang lain? Suatu perasaan asing yang kadang menyusup tanpa sengaja ke dalam hati orang yang telah kita anggap sebagai saudara, misalnya?
“Apakah… Apakah kamu keberatan dengan, ehm, dengan pernikahanku ini, Zach?” tanyaku gugup. Aku  benar-benar takut cerita drama itu terjadi di antara kita: kamu diam-diam mencintaiku!
Kamu tertawa kecil membuat dadaku berdebar. Kupandangi wajahmu. Malam ini kamu begitu tampan, tapi sangat rapuh. Hatiku menjadi berat untuk meninggalkamu.
“Aku senang. Percayalah.” Kau meneguk kopi hitammu. “Aku turut bahagia, tentu saja.”
“Tapi wajahmu tidak mengatakan itu. Kamu sedih.” Kusentuh tanganmu. Jari-jarimu terasa tegang. Kamu tidak sedang baik-baik saja.
“Aku gembira, Agni. Aku bahagia temanku akan membuka hidup baru. Tak ada yang patut kusedihkan, kecuali sedikit melankoli bahwa aku tak akan bisa lagi mengajakmu menemaniku seperti ini.”
“Tentu saja bisa. Krish telah berjanji untuk tidak membatasiku. Terutama untuk selalu menjadi sahabatmu. Kita sudah lama berteman, Zach, dan pernikahan ini tak akan mengakhirinya.”
“Yeah, benar. Aku percaya.” Kamu tersenyum. Namun aku dapat merasakan ada sesuatu yang kausembunyikan.
“Jujur saja, Zach, apabila ada yang mengganggu di hatimu. Katakanlah. Walaupun pahit aku akan dengar, termasuk jika kaukatakan bahwa Krishna bukan orang yang tepat untukku.”
“Tidak. Tidak, Agni.” Kamu cepat-cepat menggenggam tanganku dan mendekatkan wajah ke depanku. Kamu berbisik, “Krishna adalah yang terbaik daripada semua yang pernah yang kautunjukkan kepadaku. Aku dapat melihat tulusnya dia mencintaimu.”
Lalu apa? Bila Krishna adalah pria yang tepat untuk kutumpangkan hidup, kau tak perlu mengkhawatirkan aku, bukan? Dia tak akan mengkhianatiku seperti para pendusta yang dulu.
“Terus apa yang membuatmu bersedih?”
Kamu menarik napas berat. “Dad mengajakku pindah ke Inggris.”


***

Bukankah bila dia bahagia aku juga bahagia? (Zach)
 

Bukankah bila dia bahagia aku juga bahagia? --Zach
Dad membawaku berlibur ke pulau ini. Meninggalkan Bekasi selama lima hari. “Kamu penat. Kamu butuh liburan. Tutuplah toko bukumu untuk sementara. Kita ke Bali.” kata Dad membangunkanku tiga hari lalu. “Mandinya di hotel saja nanti, kita check in pukul 06.00.”
Aku kaget, tapi Dad tak membiarkanku ternganga di tempat tidur. Dia menepuk-nepuk pipiku sambil memperlihatkan selembar kertas bukti transaksi dari sebuah maskapai penerbangan. Oh, God! Aku berlari ke kamar mandi sambil terbahak. Ini adalah kelakar Dad yang paling keterlaluan!
Aku sarapan di bandara dan Dad mengenalkan orang itu padaku: Jen. “Panggil nama saja,” sambutnya manis ketika aku membalas jabat tangannya. Telapak tangannya terlalu halus. Dad begitu riang. Aku merasakan ada sesuatu di antara mereka. Pernahkah aku bertemu Jen sebelumnya? Hmm, aku tidak begitu ingat.
Seperti kata Dad, aku mandi pagi di bawah siraman shower kamar mandi hotel yang segar. Aroma shampoo buah-buahan menguar dari rambutku. Tiga kelopak kamboja warna gading menawarkan kedamaian. Oh, Bali selalu saja bisa membuatku merasa pindah dari dunia! Sambil membilas rambut, kuperhatikan wajahku di kaca. Ada raut Dad di situ. “Oh, Dad, terima kasih atas kejutanmu. Aku memang butuh pleasure.” ucapku lirih.
Dad di kamar sebelah. Berdua dengan Jen. Ada apa di antara mereka? Aku akan menunggu kejutan Dad selanjutnya. Dengan tidak sabar!
Tidak sampai duabelas jam menunggu, Dad menjawab semuanya, tersendat-sendat. Saat itu Jen sedang menikmati atraksi tarian api yang membuatnya terpesona. Aku dan Dad berbicara serius di meja pojok dekat kolam berair mancur. Aku berusaha tenang meneguk minumanku sambil pura-pura menikmati suara biduan montok yang melantunkan “Don’t you remember.” Kuntum bunga di meja kami ikut bergetar oleh suara paraunya.
“Dad dan Jen tidak cuma berteman,” terang orang tua tunggalku itu. “Kami menjalin hubungan…”
Hatiku terasa dicucuk dengan besi panas. Ngilu. Akhirnya aku harus mendengar semua itu. Di sini. Di tanah yang jauh dan asing. Semua praduga itu benar.
“Kamu sudah dewasa, Zach. Dad yakin kamu bisa menerima.”
Aku diam sambil memutar-mutar gelang-gelang es kristal di dalam gelas. Lalu?
“Sudah lama aku merahasiakannya kepada siapapun. Ini sangat berat dan melelahkan. Aku tak kuat lagi. Aku harus membukanya. Dan kamulah orang pertama yang kuberi tahu karena kamu adalah anakku.”
“Dad menyakitiku!”
“Maafkan aku, Nak. Kamu sudah 23 tahun dan dewasa.” Dia menyentuh lenganku.
Tiba-tiba aku merasa jijik dan membencinya.
Di saat itulah teleponmu masuk dan kamu langsung mencerocos, “Zach, kamu di Bali, ya? Kok nggak ngasih kabar? Kan resepsiku juga di sini. Aku senang banget nih! Akhirnya kamu bisa hadir. Hari Sabtu ya, Zach.. Kamu nginap di mana….”
Senyum Dad masih mengembang di depanku begitu pembicaraan selesai.
“Dad yakin kamu bisa bersikap bijak,” katanya ketika aku keluar dari De Opera dan termenung lama di bibir pantai.
Sewaktu aku berdiri untuk pergi, tadi, gelas minuman Dad tersenggol sikuku. Jatuh. Pecah. Seperti hatiku. Haruskah aku berkorban demi cintamu, Dad?

***

Apa yang sesungguhnya kita pahami tentang kebahagiaan? (Eldan)



“Barangkali ini memang tidak adil untuknya,” katamu ketika pemuda itu pergi dengan marah setelah aku menceritakan semuanya. “Kita bisa mendiskusikannya lagi.”
“Tidak!” sahutku cepat. “Ini hanya sebentar. Nanti-nanti dia juga akan terbiasa. Lagipula aku sudah mantap.”
Kau menatapku lurus. Matamu begitu bening seperti telaga surga. Aku tak akan pernah bosan untuk melabuhkan pandang di sana. Rasanya aku telah sangat lama mengenalmu, seolah jiwa kita sudah dipasangkan sebelum raga ini ada.
“Kau sudah benar-benar siap dengan risikonya?”
“Jangan tanyakan itu lagi. Aku telah belajar banyak. Termasuk belajar untuk menjadi orang terbuang. Asal kau selalu ada  bersamaku.”
“Oh, kau selalu pintar bicara. Bagaimana kalau dia tidak mau ikut bersama kita? Apakah kau tega meninggalkannya?” kau mengambil tangan kananku, mengelus telapaknya dengan ujung telunjukmu. Hatiku berdesir-desir. Geli. Hangat.
“Ah.” Apakah aku harus selalu membawa Masa Lalu itu ke mana-mana? Dia hanya pengingat pada seseorang yang pernah kunikahi tanpa cinta. Sekadar penyelamat status. Bukankah sudah saatnya aku melepaskannya?
“Apakah kau akan meninggalkan anakmu demi aku?”
Kurangkul bahumu. Kudekap dengan lengan lelahku. “Ya. Dia bagian dari masa lalu yang ingin kulupakan. Aku sudah bersiap untuk hidup baru. Denganmu.”
“El, tiba-tiba aku merasa bersalah.” Kau merenggangkan tubuhmu dariku. Merapikan kemejamu yang sedikit kusut. “Aku tak membayangkan skenarionya akan seperti ini. Aku jadi perusak hubungan ayah dengan anak. Oh, Eldan! Aku tak sampai hati menyakiti Zach.” Kau menyapu rambut legammu dengan tangan. Tampak risau.
“Zach akan baik-baik saja! Dia sudah besar, bukan anak SMA lagi. Dia juga sudah punya usaha. Jika dia tidak mau ikut, aku masih bisa mengirimi dia uang setiap bulan. Tak ada yang perlu dikhawatirnya, Jen. Semuanya akan baik-baik saja. Kita akan menikmati hidup kita.”
“Aku tak bisa melupakan tatapan mata terlukanya tadi. Aku sungguh merasa bersalah.”
“Jangan diperumit…”
“Aku tak memperumit!” Suaramu meninggi. “Aku hanya ingin kamu ingat ceritaku dulu. Aku sampai begini karena ayahku menelantarkan aku. Tidak mempedulikan aku hingga aku mendapat figur pengganti pada teman kerjanya yang selalu datang mengantarkan segala bingkisan-uang-pakaian-kendaraan dari ayahku yang tak lebih kuinginkan daripada kehadirannya di rumah! Aku adalah korban. Aku tak mau Zach nantinya akan menjadi korban serupa gara-gara aku merebutmu darinya!”
“Jen, kita bisa mengatur semuanya…”
“Oh, tidak! Aku telah menjadi pembuat masalah di sini…”
Mengapa ini jadi kacau? Padahal aku sudah mencari momen yang tepat. Kusentuh lututmu untuk menenangkan. Biasanya kau akan menaruh tanganmu di atas tanganku kemudian tangan kita saling menggenggam. Kali ini kau menepis dan menggeser kursimu sedikit menjarak dariku.
“Aku perlu udara segar…” Kau bangkit lalu pergi meninggalkanku yang terhenyak di kursi.
“Perlu tambah minum, Mister?” seorang pelayan datang mendekatiku.
Aku menggeleng dengan frustasi. Tinggal di apartemen dekat Sungai Medway, Kota Maidstone sepertinya akan menjadi rencana paling tidak rasional lagi tahun ini!


***

Letter of Happiness (Agni)

            “Aku telah menyiapkan sepucuk surat untuknya,” ucap Zach sambil mengeluarkan sebuah amplop coklat tua dari tas iPad-nya. “Coba kamu baca dulu. Siapa tahu tidak pantas.”
            “Baiklah,” ujarku sembari menerima kertas itu. “Surat memang dapat menggantikan lidah yang tidak bisa diajak bekerja sama. It’s okay!”
            Malam menanjak menuju puncak. Tadi saat berangkat, aku berpesan kepada Krishna untuk menjemput pukul sebelas. Sepertinya aku perlu minta tambahan waktu. Demi Zach, sahabat yang selama ini selalu membuatku merasa bahagia.
            “Sayang, jemput aku setengah jam lagi, ya. Jangan sekarang. Perpisahan kami agak sedikit berat. Empat jam masih belum cukup.” Bisikku pada Krish yang menelepon tepat sebelum aku mulai membaca surat Zach. Surat yang ditulis di lembar notes yang disediakan hotel.



Dad, aku tidak tahu bagaimana memulainya. Pertama, kuucapkan terima kasih atas kejutanmu. The Bay Bali memang luar biasa. Kupikir lima hari di sini tidak akan cukup. Aku ingin datang lagi ke sini. Tentu dengan suasana yang berbeda, tidak seperti ini.

Kejutan ini sangat memukulku. Aku terombang-ambing oleh rasa senang sekaligus nyeri. Aku senang melihat rona bahagia di wajahmu yang selama ini sepi. Aku melihat pancaran semangat hidup lagi. Dad tidak akan lagi sendiri. Tapi dadaku juga nyeri. Bukankah ini salah? Ini menentang kodrat. Pasangan seorang lelaki adalah perempuan, bukan sesama lelaki. Aku mengerti mengapa Dad mengungkapkannya di sini, di Bali. Di sini manusia memang bebas melakukan apa pun sesuai kata hatinya. Namun, memberiku seorang ibu yang berjenis sama denganku terlalu ganjil, bukan?

Dad terlalu kejam memintaku menerima hubungan kalian. Aku tak akan sanggup. Aku lebih senang seperti ini, menjadi anak yang ibunya ada di negeri antah berantah daripada menjadi anak sepasang lelaki.

Ini adalah isi hatiku, Dad. Apakah akan mengubah keputusanmu, atau tidak, terserah. Setiap orang bebas mengikuti suara hatinya. Termasuk jika Dad tetap memilih pindah ke negeri itu agar dapat menikahinya.

Aku memilih untuk tetap di sini, sebagai anak kandung dari sepi.

            “Apa aku terlalu kasar?” Zach menatapku lekat-lekat begitu aku selesai membaca. Matanya tampak berkaca-kaca. “Dad telah menyiapkan segalanya. Mereka akan ke London lusa. Bersama atau tanpa aku.” Zach mulai tergugu di depanku. Dia tidak cengeng. Dia hanya terpuruk, terluka, dan kacau oleh kenyataan yang begitu buruk. Ayahnya terlalu kejam dan tidak manusiawi dengan rencana gila itu!
            “Suratmu terlalu sopan, Zach!” Aku meradang. “Harusnya kamu caci maki dia. Itu perbuatan setan!”
“Aku tidak sanggup, Agni. Dad adalah orang yang paling berharga dalam hidupku selain kamu. Aku sangat menyayanginya. Aku tidak ingin merusak kebahagiaannya.”
“Tapi itu gila! Perbuatan mereka terkutuk.”
“Inggris telah membolehkannya.”
“Tapi tetap saja itu tidak boleh. Kamu harus mencegahnya, Zach! Aku akan merombak suratmu agar lebih tegas. Mereka harus dihentikan!” jeritku.
Zach diam. Hening. Lama. Kemudian dia menarik napas. “Tidak usah, Agni. Aku telah berubah pikiran. Surat itu tidak akan kuserahkan pada Dad.” Dia mengambil kertas di tanganku.
“Kamu akan ikut bersama mereka?!” selidikku tidak rela.
“Tidak.” Zach meraih botol legam di dekat kandil lilin merah. Menumpahkan isinya ke tanah pasir. “Ini suara hatiku. Tapi Dad tidak harus tahu sekarang. Mungkin suatu saat nanti ketika dia balik ke pantai ini.” Surat itu digulungnya dan dia masukkan ke dalam botol.
“Kau akan melarungkannya ke laut?” tanyaku linglung.
Dia menggeleng lantas bangkit dari kursi. “Sepertinya aku akan ke Lombok setelah resepsimu. Aku punya seorang teman di Senggigi. Mungkin aku bisa buka toko buku dan asesoris di sana.” Pundaknya agak layu. “Temani aku, Agni.”
Buru-buru aku mengikutinya berjalan menuju ruangan manajer restoran. Kugenggam tangannya untuk berbagi ketabahan. Tangannya sangat dingin.
Botol itu lalu diserahkannya kepada sang manajer yang selalu tersenyum ramah.
“Bisakah Anda menyimpan botol ini untuk saya?” tanyanya dengan suara serak.
“Oh, tentu.” Perempuan itu menerima botol pemberian Zach dengan gerakan khidmat, seolah sedang menyambut sesuatu yang sangat berharga. “Saya akan menaruhnya di lemari pajangan khusus yang kami namai Galeri Cindrahati. Isinya aneka barang kenang-kenangan pengunjung restoran ini. Sebagian besar souvenir patah hati. Kalau boleh saya tahu, apakah isi di dalamnya?”
Zach mengerjapkan mata, “Selembar cinta untuk ayahku.”[]




Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali  (www.thebaybali.com) & Get discovered! 

No comments:

Post a Comment