Wednesday 26 February 2014

Jungkir Balik Menulis

Saya belajar menulis sejak kelas 4 SD.  Pada waktu itu, setiap hari Minggu saya datang ke rumah seorang guru (Ibu Zeherni) membawa sebuah karangan yang saya tulis di kertas double folio bergaris. Karangannya adalah cerita bertendens, seperti gemar menabung dan mencintai kebersihan lingkungan, yang dipersiapkan untuk perlombaan. Mengapa saya terpilih untuk dilatih? Hmm, seingat saya hal itu disebabkan karena tulisan saya paling bagus dan saya mempunyai wawasan serta pengetahuan yang lebih luas dibanding teman-teman--saya selalu juara 1 sejak kelas 2 SD.

Sejak pandai membaca, saya sudah gemar membaca, terutama cerita. Mulai dari cerita di majalah, koran, komik, cerita silat, ataupun novel. Keluarga saya juga begitu. Biasanya kami membaca cerita secara bergiliran. Seperti penulis lain, kegemaran membaca itu membuat saya tertarik untuk menulis.Cerita fiksi dan alam sekitar rumah membuat saya juga lebih tertarik untuk menulis cerita, terutama cerpen. Semasa SMP dan SMA, saya telah membaca bermacam majalah cerpen atau majalah yang di dalamnya ada cerpen, seperti Anita Cemerlang, Aneka Ria/Yess, Gadis, Hai, Kawanku, Kartini, Matra, Ceria Remaja, Bobo, Annida, Sabili, dan Horison. Cerpen benar-benar membuat saya jatuh cinta, di samping novel, ehm!

Ketika duduk di SMP dan SMA, saya menulis cerpen sesuai bacaan saya. Dari sekian banyak cerpen yang saya tulis, hanya satu yang berhasil dipublikasi, yaitu cerpen berjudul "Dianku, Tolong Jangan Padam!" pada tahun 1999 (ketika saya baru naik ke kelas 3 di SMU 1 Solok). Cerpen itu dimuat majalah Annida karena menjadi juara 2 dalam lomba menulis cerpen yang diselenggarakan majalah tersebut.

Tahun 2000 saya hijrah ke Padang dan dimulailah babak baru kedekatan saya dengan sastra. Saya lebih intens dengan sastra, membaca novel-novel sastrawan Indonesia dan dunia, juga cerpen-cerpen, buku teori, dan lainnya, serta berkenalan dengan sastra koran. Haluan saya berbelok ke arah sastra yang serius walau hasilnya belum terlalu kuat. Beberapa tahun menulis di koran, akhirnya cerpen dan puisi saya dibukukan dalam antologi bersama. Satu, dua, tiga, hingga lebih dua puluh...

Namun, apa enaknya buku bersama? Heh! Sebagai penulis, saya ingin punya buku sendiri, sama seperti sebagai seorang laki-laki, saya ingin punya anak sendiri, bukan anak orang lain yang diasuh atau dibina. Alhamdulillah, tahun 2010 buku kumpulan cerpen pertama saya terbit, Perempuan Bawang & Lelaki Kayu. Saya bahagia meski tidak ada ledakan dahsyat terkait buku itu. Sempat masuk dalam penjurian Khatulistiwa Literary Award untuk Kategori Penulis Muda. Namun, karena ujungnya cuma tinggal buku itu dan Entrok karya Okky Madasari, panitia pun membatalkan kategori tersebut karena syarat minimal penjurian ada 10 buku untuk long list. Tak apa, tahun 2011, buku itu membawa saya terbang ke Bali, diundang dalam International Ubud Writers & Readers Festival.

Sekarang 2014, saya merasa harus menerbitkan buku baru. Sebenarnya embrionya sudah ada, novel berjudul Getah Cangkang dan kumpulan cerpen berjudul Sehelai Pagi yang Rapuh. Namun ketidaktaatan pada komitmen membuat buku-buku itu masih belum terwujud. Akhir tahun lalu saya dapat ide buku Padang 13 Jendela, sudah komplit di dalam kepala, saya juga telah membuat draf dan sketsanya. Tapi begitulah, kemalasan dan kurang motivasi membuat nasib embrio itu pun terkatung-katung. Ada-ada saja alasan saya untuk menunda mengerjakannya: pekerjaan kantor-sekolah-kampus, keluarga, dan studi. Yang terakhir ini benar-benar bikin dilema: Pilih mana, buku atau tesis? Celakanya tak ada yang selesai. Seperti lirik lagu "Ayam Den Lapeh" yang berbunyi "Sikua capang sikua capeh, saikua tabang saikua lapeh", keduanya sama-sama tidak menjadi. Huh!

Saya mencintai cerita. Saya tidak sabar untuk menerbitkan buku baru.

Huh! Sepertinya saya harus sedikit egois terhadap tesis. Eh?!



Sunday 23 February 2014

Takut

aku takut melihat matamu yang
memancarkan api membakarku
hari menjadi merah
daun-daun tinggal arang
juga bunga-bunga yang tadi indah

aku takut mendengar suaramu yang
mengantarkan petir menggegarkan jantungku
alunan  lagu jadi sunyi mencekam
aku kecut dalam amarahmu

tak mampu pahami kebesaranmu
seperti rumah patah tiang
seperti pohon dicabut akar-akarnya.

#Privat menulis Ella sore tadi

Saturday 22 February 2014

Pernahkah kau terluka sewaktu kecil? Mungkin karena pisau saat main bedah-bedahan, jatuh dari pohon, tertusuk paku, tersiram air panas, atau terbakar saat main petasan. Luka itu memang mengering seiring waktu, daging yang koyak kembali bertaut, dan tulang yang patah kembali menyatu. Namun, bekas luka itu tetap ada seperti monumen sejarah yang akan menyertaimu sampai mati.

Aku punya bekas itu. Satu di tulang kering sebelah kiri. Bekas kena cangkul. Yang lain tersembunyi di dalam hati.[]

Tuesday 18 February 2014

Aku Menyukai Keindahan

Waktu kecil aku suka menggambar, di samping suka membaca dan mendengar orang bercerita. Aku pernah membuat gambar gajah dan helikopter yang waktu itu belum ada teman membuatnya. Ibu guru memujiku karena katanya aku punya daya imajinasi yang melebihi teman-temanku. Aku juga suka menggambar wajah orang, seperti ayahku dan penyanyi yang kusukai. Sewaktu dewasa, aku lebih menggeluti hobi cerita yang telah bermetamorfosa menjadi menulis cerita, tak lagi sekadar membaca atau menyimak cerita.

Namun, aku tetap senang menggambar karena aku menyukai keindahan. Aku menyebutkan 'menggambar' karena melukis rasanya terlalu istimewa. Sesekali aku mencoret-coret di kertas. Ya, sekadar menyalurkan hobi yang tak tergarap secara maksimal.

Tentang keindahan, aku sering melamun ketika sedang berkendara karena terpesona akan pemandangan yang terpampang di mata. Oleh karena itu, aku juga suka foto dan memoto. Lagi-lagi, belum sampai pada level profesional. Hanya jeprat-jepret seorang


amatir yang tergila-gila pada keindahan alam ciptaan Tuhan.