Thursday 3 April 2014

Tentang Seseorang yang Selalu Memanggil Saya "Kanda"

Saya menuliskan baris-baris ini, sepulang dari bertandang ke rumah barunya, rumah mungil berdinding tanah merah. Ada susunan batu bata membentuk dua segiempat yang sederhana. Beberapa bibit bunga hijau yang baru ditanam. Taburan bunga rampai yang mulai kering. Dan semacam kesedihan yang tajam.

Pemakaman keluarga di Hilie Banda, Kab. Solok
Saya lupa kapan terakhir kali kami bertemu. Namun, saya akan selalu ingat senyum tulusnya, giginya, candanya, sifat positifnya yang membuatnya selalu tenang dan hangat dengan siapa saja. Saya pernah bekerja satu tim dengannya sebagai panitia inti. Dia benar-benar hebat. Saya selalu emosional dengan ide-ide liar yang seakan ingin meloncat dari kepala. Dia dengan keuletan yang mencengangkan mengimbangi saya sehingga kami berhasil mencapai target sebagai tim yang solid.

Sejak pertama bertemu dan bergabung dalam lembaga yang sama, dia selalu memanggil saya "Kanda". Memang, umur saya dua atau tiga tahun lebih tua darinya. Namun panggilan itu terasa lucu karena mengingatkan saya pada novel-novel Balai Pustaka. Meski telinga saya selalu geli mendengar, tapi saya membiarkan dia memanggil saya seperti itu. Apabila memang itu yang dia suka, teruskanlah, toh saya punya banyak nama panggilan, "Kalade", "Angku", "Akang", "Ragde", "Daye", "Adef", "Adek", "Nambo", "Manjo", dan lain-lain. Suka-suka yang memanggil. Asal relevan dan tidak menghina, saya oke saja.

Sering kita mengingat-ingat betapa baiknya seseorang setelah dia tidak ada lagi di dunia. Pun dengan dia. Setelah anemia hemolitik merenggutnya Minggu lalu, saya jadi teringat semua kebaikannya dan menyesal karena beberapa kali mengabaikan teleponnya disebabkan sedang sibuk bekerja. Andai saya tahu dia akan pergi secepat ini, saya akan mengesampingkan semua pekerjaan untuk menyambut teleponnya, membezuk ke rumah sakit saat dia dirawat, mendampinginya ketika Izrail menjemput... Namun saya tak akan pernah mampu memutar waktu.

 
masa-masa di Adzkia
menggendong Rasyafa
baralek ust. Yoal Krif
reuni sesudah diangkat jadi PNS
pernikahan
Memang sekarang dia sudah pergi. Namun, yang dia tinggalkan adalah kenangan baik. "Banyak hal yang sudah Uda pelajari selama di Adzkia dan semuanya telah dia bagi kepada saya," kata adik lelakinya yang mengantarkan kami ke pandam pekuburan. "Selama hidup, Uda tidak pernah mengeluh tentang apapun yang dia alami. Termasuk ketika dia sakit, dia tidak mau ibu diberitahu, kecuali pagi sebelum dia meninggal dia bilang, 'Tolong kamu jemput Ibu', ternyata itulah sakitnya yang terakhir dan dia ingin pamit pada Ibu."

Mulanya dia diduga terkena DBD karena banyak bintik-bintik merah di kulitnya. Setelah diperiksa di labor, dokter mendiagnosis dia menderita anemia hemolitik yang menyebabkan rusaknya sel darah merah.Sel darah merahnya mudah hancur dan tak diimbangi dengan produksi sel baru.

Pada saat saya dan teman-teman pamit untuk balik ke Padang, mamak (paman)nya bertutur, "Almarhum telah memecahkan rekor di kampung kami. Baru pada waktu pelaksanaan shalat jenazah dia masjid raya tidak bisa menampung jemaah yang ingin ikut. Bahkan sampai melimpah keluar dan ada yang tidak dapat tempat." Subhanallah. Mudah-mudahan itu menjadi pertanda bahwa timbangan amal kebaikannya jauh lebih berat sehingga menutupi dosanya.

Selamat jalan, Ustadz Deni Iswahyudi. Selamat menempuh perjalanan menemui Sang Pencipta, Dinda. Semoga kuburmu dilapangkan dan kita dapat berjumpa di surga kelak. Amin.


No comments:

Post a Comment