Thursday 29 November 2018

Gen Posting Gemar Memancing



oleh Ragdi F. Daye




Jadi anak muda di zaman milenial ini sangat amazing!

Banyak hal yang dapat kamu exploring: Destinasi wisata, hobi, kuliner, budaya lokal, atau kegiatan akhir pekan bersama teman-teman se-genk dengan berkeliling-keliling.  Happy-happy, mengasah bakat, dan refreshing. Syukur-syukur dapat menghasilkan uang menggemukkan isi rekening.

Sebagai anak muda, kamu dapat menjadi apa pun yang kamu suka. Mau jadi kreator, relawan, cendekiawan, pahlawan, atau orang biasa yang suka jalan-jalan meng-exploring. Silakan! Tentu saja asal fokus. Kamu dapat memaksimalkan potensi dirimu. Menjadi terbaik yang kamu mampu. Misalnya mengelola bisnis start up. Indonesia adalah Negara ke-4 pengguna internet terbanyak di dunia, yakni 54,6 persen dari jumlah penduduk Indonesia (sekitar 143,26 juta jiwa). Ini adalah pangsa besar untuk ekonomi digital. Makanya Indonesia menduduki posisi #1 pertumbuhan e-commerce di dunia (sekitar 78%).

Sebagai anak muda yang kreatif dan berkepribadian positif, kamu juga semestinya ikut menyebar berita baik tentang negeri yang sangat kita cintai ini. Bukankah setiap hari kamu sangat intim dengan gadget seolah pendamping? Bukan kampanye juga sih! Namun, apabila bukan kita,  siapa lagi yang akan mengangkat harkat bangsa tercinta.

Apakah hari ini kamu sudah ikut memviralkan berita hoaks? Oh, jangan. Tolong hapuslah seperti yang telah dilakukan Kominfo yang memblokir situs-situs yang memuat konten negatif. Konten apa itu? Yaa, media yang memuat kebohongan, kebencian, radikalisme, dan hal-hal lain yang dapat merusak integritas kita sebagai bangsa yang inklusif dan penuh toleransi. Kita berbeda-beda namun tetap satu, Bro!

Makanya, sesuai dengan Inpres RI Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Informasi publik, ayo jadi bagian Gen Posting: Generasi Postitive Thinking! Gen Posting yang gemar memancing. Memancing apa hayo? Yah, memancing prestasi lah! Satu medali emas di SEA Games diganjar bonus 1,5 miliar rupiah. Bisa modal untuk bikin usaha mandiri dan datang ke rumah calon mertua. Masih banyak prestasi lain yang dapat kamu ukir jika serius.

Sudah-sudah, daripada pusing, ayo ikut flashblogging. Siapa tahu kamu diundang ke istana dihadiahi sepeda dan dikasih voucher ke Raja Ampat atau ke Bali buat surfing.



Wednesday 28 November 2018

Ladang Kardamunggu


Ragdi F. Daye

Bisakah kau menjauh dari jejak tapak?
Membawa nyeri lambung penuh tukak. Amarah yang
menggelegak. Bisakah kau berdamai dengan diri.
Membawa teduh dalam hati. Menyimpan sejuk
semilir angin padang ilalang sunyi. Bukan dendam!

Tajam pisau hanya akan mengoyak jantung sendiri.
Meminang mati sebelum ajal. Sansai!

Bisakah kita kembali bergenggam tangan dalam
September hujan. Menertawakan masa lalu dalam
rimbun kardamunggu.

Senyumlah untukku, Ibu! Untuk ladang-ladang
lengang yang memelihara sedu-sedan rasian kita.

(2018)

Penulis 79 Tahun dan Roman Pilu dari Tepi Danau Singkarak;




Catatan Kecil atas buku “Berdiri di Persimpangan Jalan” karya Musriati
oleh Ragdi F. Daye


Sebuah karya tak lepas dari duka cita penulisnya
dan memiliki nasibnya sendiri.

Semangat Menulis pada Usia Senja
Usia bukan penghalang untuk menulis, penyair Rusli Marzuki Saria tetap menulis puisi dan menerbitkan  buku pada usia delapan puluhan. “Menulis dapat mencegah kepikunan,” begitu katanya. Masih banyak penulis berusia lanjut lainnya, yang terus menulis pada usia senja, seperti Sapardi Djoko Damono, Budi Darma, dan NH Dini.
Begitu pula dengan Ibu Musriati, penulis berusia 79 tahun yang bukunya akan kita bicarakan ini. Ibu Mus berasal dari Mungka, Payakumbuh. Setelah pensiun sebagai guru tahun 1955, beliau aktif dalam kegiatan kesenian di Kabupaten Lima Puluh Kota hingga tahun 2016. Beliau berhenti beraktivitas karena dilarang oleh keluarga, yang membuatnya kembali tekun menulis. Sejak ‘dipingit di rumah’ itulah, ada empat novel yang berhasil ditulisnya dengan mesin tik: Berdiri di Persimpangan (Desember 2016), Dendam Seorang Dara (Januari 2017), Tabir Kasih Sayang (Februari 2017), dan Mama(Maret 2017). Keempatnya ditulis dengan mesin tik karena Bu Mus belum bisa menggunakan komputer.
Bu Musriati tidak secara tiba-tiba mampu menulis. Semasa gadis, beliau sudah biasa menulis cerpen dan naskah drama. Bakat itu pun menurun pada putranya, Mahdi Syahputra, yang terkenal sebagai penulis cerpen di Harian Haluan. Ketika Mahdi sakit tahun 1988, Bu Mus menggantikan anaknya menulis cerita bersambung hingga tahun 1992 dengan tetap menggunakan nama anaknya. Istilah sekarang menjadi  ghostwriter.
Sedikit membandingkan Bu Mus, Ayah saya berusia 78 tahun, ketika saya pulang ke rumah beberapa tahun lalu, beliau meminta saya membelikan buku double folio isi seratus lembar. Katanya untuk menulis cerita-cerita sejarah negeri yang sering beliau ulang-ulang. Saya senang karena banyak kisah sejarah yang tidak saya tahu. Begitu saya belikan, Ayah menyuruh, “Simak baik-baik, lalu tuliskan!” Lho, jadi saya yang harus menulis? Saya menolak karena tak akan punya cukup waktu untuk menyimak dan menyalin cerita sebab saya pulang kampung biasanya untuk berlibur dan tidur. “Bukunya saya tinggal. Ayah tulis saja apa yang terasa atau terlintas di kepala. Nanti saya koreksi. Ditik, kalau bagus nanti diterbitkan.” Saya kembalikan buku beserta pena kepada Ayah. Bulan berikutnya ketika saya pulang kampung lagi, buku sebesar catatan utang piutang itu berisi tidak sampai satu halaman ditulisi tulisan tangan Ayah yang bagus. Menulis memang tidak semudah bicara bagi orang yang lebih suka maota (mengobrol)!
Lalu bagaimana dengan Bu Musriati? Tentu saja kita harus angkat topi. Salut! Bertolak belakang dengan sebagian kita yang masih muda, sering bicara ingin jadi penulis terkenal, namun belum juga mau berkarya. Belum juga mau mencoba menulis satu halaman demi satu halaman. Cuma bermimpi tanpa kerja keras. Bila ingin menjadi penulis, ya segeralah tuliskan idemu seperti yang dilakukan Bu Musriati, tak peduli berapa pun usiamu!

Kisah Cinta Terpisah Jarak
            Bagi penggemar novel dengan teknik narasi canggih yang menyuguhkan suspense dan twist mengejutkan, Berdiri di Persimpangan Jalan (BdPJ) barangkali terasa tawar. Cerita mengalir seperti kisah klasik yang diungkap dengan untaian bahasa  yang apik. Romantika kehidupan tokoh-tokohnya akan membuat pembaca yang melankolis menitikkan air mata. Ada kisah kasih tak sampai yang dapat mengaduk-aduk perasaan. 
            Dikisahkan sepasang muda-mudi kampung Malalo di tepi Danau Singkarak, Aida dan Isral, yang tengah menjalin cinta harus berpisah karena ayah Aida yang bekerja sebagai pegawai Kantor Pos dipindahkan ke Balikpapan. Sebelum berpisah, Aida memberikan seuntai kalung kepada Isral, kalung pemberian neneknya sepulang menunaikan  ibadah haji. Kalung itu ada sepasang, satu dibawa Aida, satu lagi yang ditinggalkan untuk Isral sebagai penanda ikatan cinta mereka. Aida mengatakan, bila kalung itu rusak atau putus, berarti hubungan mereka akan demikian juga.
            Perpisahan tanpa kepastian kapan akan bertemu lagi seperti digantung tak bertali. Itulah yang terjadi. Aida ragu dengan kelanjutan hubungannya dengan Isral. Isral yang mengaku cinta mati pada Aida pun tak dapat terus menerus menentang kehendak orang tua agar dia segera beristri. Kedua sejoli  itu berada di persimpangan jalan: antara setia pada janji atau bersikap realistis menghadapi kenyataan.
“Jalan ini sudah bersimpang, Bang Is. Aku berada di persimpangan itu. Ke mana aku akan pergi? Entahlah, Bang. Pulang kampung menemui Bang Is, entah kapan waktunya. Akan kutambatkan hati untuk pemuda itu? Entahlah, Bang.” (hal.57) Keluh Aida setelah bertemu dengan seorang pemuda baik hati yang tertarik kepadanya.
Ketika kita sedang berada di persimpangan jalan, pilihan yang benar akan mendatangkan rasa syukur dan sebaliknya, pilihan keliru akan berujung pada penyesalan yang menyakitkan. Perhitungan yang matang sangat diperlukan sebelum membuat keputusan.
Pada akhirnya, Aida memilih untuk menerima Bambang dan mengingkari janji kepada Isral: “Bukankah sudah kukatakan berulang kali, kalau Singkarak masih berair berarti aku masih setia.” (hal. 9). Campur tangan orang tuanya yang ingin Aida melupakan Isral ikut berperan dalam peristiwa ini. Ibu Aida lebih suka Bambang dengan harapan kehidupan Aida akan lebih mapan. Ayah Aida secara sengaja tidak menyampaikan surat Aida kepada Isral maupun surat Isral kepada Aida. Gadis campuran Minang-Jawa itu pun menikah dan tinggal di rumah keluarga Bambang yang kaya raya di kota Malang. Di situlah Aida menjadi galau sebab dia seolah menjadi burung di dalam sangkar emas, bergelimang kemewahan namun jiwa terpenjara.
 Sementara, nun jauh di tepi Danau Singkarak, Isral telah kehilangan gairah hidup membuat orang tuanya khawatir. Dia tak mau menikah. Sepanjang hari hanya memikirkan Aida. Tak ada perempuan lain yang bisa membuka hatinya. Hingga kemudian Isral bertemu Linda, seorang bidan desa yang tak pernah terlihat olehnya, namun Linda telah bertunangan, akibatnya mereka mengatur cara agar diizinkan menikah. Di Malang, Aida yang menderita akhirnya meninggal dunia sewaktu melahirkan seorang anak perempuan yang dinamai Wati. Cerita bergerak cepat dan ringkas. Bambang menikah lagi dengan perempuan bernama Wiwik lalu mendapat dua orang anak. Wati menjadi dewasa, mendapatkan warisan dari kakeknya, lalu dia menikah dengan seorang laki-laki dari Bukittinggi bernama Anton. Di dalam sebuah kasus hukum, Anton pergi ke Padang mengikuti persidangan gugatan tanah. Lalu bertemulah semuanya: Wati anak almarhumah Aida dan Isral bersama anak perempuannya, Silvi.

Keunikan Budaya Minangkabau
            Tema cerita dari zaman ke zaman akan berulang itu ke itu juga, tentang pengorbanan, cinta, persahabatan, pengkhianatan, perjuangan untuk mendapatkan pendidikan, konflik anak dengan orang tua, dendam, kasih tak sampai, dan lainnya. Yang membedakan cerita-cerita bertema serupa itu adalah pengemasannya, tokoh, latar, dan alur peristiwa yang menjadi wadah penyampaian cerita tersebut. Tema yang klise pun dapat menjadi cerita yang menarik apabila penulis mampu mengolahnya menjadi sesuatu yang terasa baru; dapat dengan mengubah sudut pandang cerita atau mencoba memberikan alternatif peristiwa yang berbeda daripada cerita yang pernah ada sebelumnya.
            Tema kasih tak sampai juga pernah muncul dalam roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli, yang dibungkus dengan persoalan adat Minangkabau dan perjuangan melawan penjajahan Belanda. Hal itulah yang memberi bobot lebih cerita tersebut.
            Di dalam BdPJ, kisah cinta Aida dan Isral juga diberi bungkus tradisi Minangkabau. Hal ini terlihat pada munculnya idiom-idiom Minangkabau di dalam narasi serta sejumlah kebiasaan yang hidup di tengah masyarakat Minangkabau. Misalnya:
“Badantuang guruah durani/ Puti bajuntai ateh paneh./ Kalau untuang ka dek kami, / gajah barantai mungkin lapeh.” Ungkapan ini merupakan tanggapan mamak Isral setelah dia menyampaikan maksud untuk menikahi Linda yang telah menjadi tunangan orang. Makna ungkapan itu adalah apabila rezeki hal yang tak mungkin pun dapat terjadi.
Sumbang nan duo baleh; Bambang mencium dahi Aida, “Bersamaan dengan mendaratnya ciuman itu, kalung di leher Aida putus dan jatuh di pangkuannya. Aida kaget, air mata menetes di pipi.” (hal. 64) Isral sangat merindukan Aida, namun ia gelisah karena kalungnya telah putus. Ia takut ucapan Aida ketika perpisahan dulu benar-benar terjadi. Jika kalung itu putus, maka putuslah hubungan mereka.” (hal. 65) “Sumbang nan duo baleh” adalah peraturan tidak tertulis dalam adat Minang yang berisi tentang tata krama dan nilai sopan santun, mencakup dua belas ketentuan dan larangan yang mesti ditaati perempuan Minang; jika dilanggar yang mendapat malu tidak hanya yang bersangkutan namun juga keluarganya. Salah satunya adalah sumbang bagaua (tidak patut dalam bergaul), yakni bergaul terlalu dekat dengan laki-laki yang bukan muhrim, terlebih berdua-duaan melakukan hal yang terlarang.
Di dalam masyarakat Minang, dikenal istilah malakok yaitu pemberian suku kepada orang luar Minang yang ingin menjadi orang Minang, seperti urang sumando dari luar Minang, pendatang yang sudah lama menetap di daerah Minang, atau anak yang lahir tak bersuku karena ibunya bukan orang Minang. Adat malakok ini memiliki persyaratan yang cukup berat agar si anak dapat menumpang ke suku ayahnya, bisa dengan memberikan upeti emas, bisa juga dengan menyemblih kerbau untuk makan bersama orang senagari. Di dalam BdPJ, ayah Aida, Kusno, malakok ke suku Caniago. 
Di buku ini juga disinggung tradisi membawa makanan ke keluarga calon pengantin yang mempunyai makna tertentu. “Itu ketiding atau keranjang yang penuh berisi nasi. Nantinya, nasi itu kita makan bersama. Ketiding kita isi kembali dengan beras. Hal itu sebagai symbol bahwa kita memakai timbal balik. Ada lagi singgang ayam, ayam gulai yang kuahnya sedikit, tidak dipotong dan tidak dicampur dengan apa pu njuga. Saat mereka pulang nanti, ayam itu kita ambil tiga perempat dan mereka bawa kembali seperempat. Hal ini sebagai symbol bahwa mereka berkehendak meminta anak kita menjadi milik mereka seutuhnya. Sementara itu, pengembalian seperempat ayam sebagai symbol bahwa si lelaki tetap dalam kuasa saudaranya walaupun hanya seperempatnya. Ada lagi talam penjemput. Semua isinya disalin seperempat. Hal ini sebagai simbol kalau pencarian si lelaki nanti berlebih dari kebutuhan istri dan anak-anak, ia harus memberikan kepada saudara, terutama kepada kemenakan atau anak-anak dari saudara perempuannya. Begitulah  kira-kira.” (hal. 82-83)
Ada lagi petuah-petuah yang mengandung filosofi hidup:
“Mak Datuk berkata tegas, ‘Ya, begitu kalau laki-laki, Buyung. Benang terentang dalam tenun, perlu disudahi hingga menjadi kain yang bagus. Ingatkah kau cerita Cindua Mato menjemput tunangan Dang Tuanku untuk dibawa ke rumah si Bundo Kanduang? Bundo Kanduang bicara, “Barangkeklah, oi Buyuang, si Cindua Mato. Japuik tabao tunangan Tuan ang. Kalau manjapuik tak tabao, waang manjadi ayam gadang, dadak mananti di tampuruang.” Begitu kalau kau benar-benar laki-laki, Buyung.” (hal. 104)
“Ada baiknya adat dipakai, limbago dituang, hilang kita cari, hanyut kita pintas.” (hal.115)

Menikmati Romantisme
Buku terbitan Erka setebal 187 halaman  ini layak diapresiasi. Tidak mudah menulis novel dengan alur yang berkelok-kelok dan panjang, namun Bu Musriati yang sudah berusia menjelang delapan puluh tahun mampu menulisnya dengan apik. Lengkap dengan pemilihan tokoh cerita yang cukup banyak, latar yang mengambil beberapa daerah di Indonesia, dan jalinan cerita yang dramatis. Barangkali akan mengingatkan kita pada cerita rabab semalam suntuk. Buku ini layak untuk memperkaya koleksi perpustakaan.
Bila harus disampaikan juga kekurangannya (inilah tugas berat bagi saya yang penyegan ini), inilah ia: yang paling terasa adalah jalan cerita yang tergesa. Penulis lebih fokus pada lika-liku alur sehingga cerita jadi terkesan terburu-buru tanpa eksplorasi lebih dalam terhadap karakter tokoh dan peristiwa. Seperti sinopsis. Mungkin penulis lelah. Deskripsi latar juga belum maksimal. Pada saat awal membaca dan menemukan setting Danau Singkarak, saya langsung terpikat, “Wow, Singkarak!” sebab Danau Singkarak adalah tempat yang sangat indah dan kebetulan sering saya kunjungi. “Singkarak nan badangkang”, ungkapan itu terngiang-nginang. Namun ternyata Singkarak hanya sekadar dijadikan tempat berpijak tokoh cerita, belum dieksplore secara mendalam persoalan geografis maupun kulturalnya, padahal Singkarak punya banyak cerita yang menggoda untuk diolah, seperti ikan endemiknya (bilih), makanannya (pangek sasau, pensi, rinuak), misterinya (konon dasar danau tak terukur, bila ada kendaraan jatuh akan sulit untuk ditemukan lagi), dan lain-lain.
Contohnya bagian yang mengisahkan Aida meninggal. Begitu singkat. Diawali dengan orang tua Aida yang berkunjung ke Malang untuk membezuknya. Lalu dalam beberapa paragraf, tokoh utaman cerita dimatikan: “Kusno mendekap Aida dengan raungan panjang. Tak peduli semua mata tertuju kepadanya. Aida diam, tapi semua mata tertuju kepadanya. Aida diam, tapi tetap menggenggam tangan kedua orang tuanya. Antara terdengar dengan tiada Aida berkata pelan sekali, ‘Bacakan aku surat yasin, Ma.’ Suci menuruti pinta anaknya dan berdengunglah ayat-ayat suci di ruangan rumah sakit itu. Suara Suci sangat merdu dalam pendengaran Aida. Ia sekali lagi memberikan senyuman. Kusno mengira anaknya ada angsuran, tapi kenyataannya lain. Mata Aida yang tadinya terbuka, kini secara pelan tertutup. Tertutup untuk tidak akan terbuka lagi.” (hal. 120) Tidak digambarkan bagaimana Aida menanggung sakit batin yang merambat sampai ke badan. Teknik bercerita “Show, don’t tell!” seolah tidak berlaku di novel ini. Hanya dengan cerita yang dituturkan pengarang, pembaca sudah mendapatkan kepiluan nasib para tokohnya.
Selanjutnya eksplorasi tokoh juga belum maksimal. Barangkali disebabkan cerita yang mengalir deras dengan cepat, penggambaran dan pengembangan karakter belum kuat, kecuali sebatas narasi pengarang yang mengungkapkan kebagusan fisik tokohnya. Tokoh antagonis yang biasanya muncul sebagaimana layaknya formula cerita, juga menanggung hadirnya. Penghambat hubungan Aida dan Isral adalah orang tua Aida. Eksplorasi yang masih tanggung ini menyebabkan simpati dan empati kepada para tokoh juga tidak terlalu kuat.
Meski begitu, saya mencoba memosisikan diri sebagai ‘pendengar’, bila kisah romantika Aida dan Isral ini dilisankan, mungkin dengan iringan rabab, atau cukup diceritakan malam-malam sambil batanggang, pasti akan menarik sekali. Begitu dahsyatnya parasaian mereka. Namun, apabila saya bersikukuh di posisi pembaca prosa, sementara kenikmatan sebuah prosa terletak pada narasi yang membangkitkan imajinasi, maka saya perlu menyetel musik untuk teman menikmatinya.
Sekali lagi kita sampaikan tahniah kepada Ibu Musriati yang sudah berhasil dengan pencapaiannya. Semoga suatu hari, novel ini dialihwahanakan!

Membaca: Mengisi Botol untuk Dituangkan






Oleh Ragdi F. Daye   


“Mustahil engkau dapat menuangkan madu ke dalam gelas
jika botolmu hanya berisi air gula
—atau malah tidak ada isinya sama sekali!”


            Pertanyaan paling sering muncul ketika saya mengisi pelatihan atau diskusi kepenulisan adalah bagaimana cara menghadapi kebuntuan saat menulis, baik saat memulai atau pun melanjutkan tulisan, sementara ide tulisan masih berkecamuk di kepala. Jawaban sederhana—dan telak—adalah si penanya masih kurang membaca—jika terlalu sarkas mengatakan malas membaca!
Nah! Memangnya ada hubungan apa antara kegiatan menulis dengan kegiatan membaca? Seorang pembaca memang tidak harus menjadi penulis. Namun, seorang penulis haruslah juga seorang pembaca—yang baik. Sebab, tidak ada yang dapat disampaikan seorang penulis apabila dia tidak membaca terlebih dahulu.
Kegiatan membaca dapat diartikan sebagai sebuah proses mencari dan mengumpulkan informasi dalam suatu teks atau konteks. Teks dapat berupa kitab, buku, artikel, blog, naskah, surat, brosur, atau markah. Konteks dapat berupa situasi tempat dan ruang, fenomena sosial, atau alam semesta. Kegiatan membaca erat hubungannya dengan dunia pustaka dan literasi, serta observasi fenomena sosial, dan tadabur alam. Membaca literasi membuat seorang penulis punya banyak referensi terkait teknik dan materi tulisan. Membaca alam semesta memberikan inspirasi tanpa batas dan mempertajam cakrawala berpikir.
Membaca adalah menerima informasi, menghimpun referensi, belajar; Menulis adalah memberi, menuangkan gagasan, mengamalkan ilmu pengetahuan. Membaca tanpa disertai menulis seperti pohon tak berbuah.


Ada sejumlah manfaat aktivitas membaca yang sangat mendukung kegiatan menulis, di antaranya sebagai berikut:
  1. Memperluas wawasan
Ketika akan menulis tentang suatu topik, kita memerlukan referensi tentang hal tersebut. Kita perlu riset. Apabila kita tidak sempat melakukan observasi ke lapangan atau mewawancarai narasumber, kita dapat mengumpulkan informasi dengan cara membaca buku atau artikel terkait. Hal itu memberi bahan tulisan sehingga apa yang kita tulis menjadi berbobot dan akurat. Berbahaya jika kita menulis tanpa landasan data yang benar, sekali pun menulis karya fiksi.
Seorang penulis dituntut untuk tahu banyak hal walaupun tidak banyak tahu.
  1. Memperkaya kosa kata dan struktur bahasa
Apabila berkeinginan menulis puisi, bacalah puisi-puisi yang bagus! Saran seperti ini ada benarnya. Membaca teks yang telah memiliki riwayat kritik dapat kita jadikan model. Bagaimana pun juga, salah satu cara belajar yang efektif adalah dengan cara meniru. Meniru lalu membuat bentuk baru, bukan menjiplak atau menyalin utuh kemudian mengklaim sebagai karya pribadi. Itu namanya plagiat. Hal yang boleh dilakukan adalah mencontoh dengan modifikasi.
Semakin rajinkita membaca karya-karya yang berkualitas baik, semakin banyak perbendaharaan kosa kata dan pola-pola rangkaian kalimat yang sangat penting untuk mengungkapkan gagasan ke dalam tulisan. Kosa kata yang banyak membuat kita tidak menggunakan kata-kata yang itu ke itu saja, namun bervariasi. Membaca kata-kata dalam kamus juga sangat membantu upaya menambah pundi-pundi diksi kita.
  1. Teknik penyajian
Ide yang menarik apabila disajikan dengan teknik yang tidak pas hanya akan membuat pembaca menjadi bosan dan beralih ke bacaan atau media lain. Seorang penulis perlu menguasai teknik membuka tulisan, memberikan ilustrasi, mengambarkan latar, mendeskripsikan peristiwa, menguraikan alur proses dengan efektif, dan mengakhiri tulisannya. Dapat dengan menggunakan pola piramida terbalik, dengan memasukkan kutipan kata bijak, ayat suci, puisi, lagu, atau teks lain, dapat juga dengan memberikan poin-poin  rincian penjelasan. Di dalam karya fiksi juga diperlukan penggunaan sudut pandang yang tepat dan tata alur yang memikat keingintahuan pembaca, istilahnya suspense dan surprise.
Sebagai ajang latihan, kita dapat mencoba-coba pola penyajian tulisan yang dipakai penulis ahli sampai kita menemukan style (gaya) sendiri. Ada penulis yang selalu meghantarkan gagasannya dengan cara mengkomparasi teks yang sudah ada dan menampilkan relevansi dengan fenomena temporer. Ada yang menyelipkan anekdot agar kritiknya tidak terasa menyakitkan. Ada yang memaparkan kasus faktual agar tulisannya lebih dekat dengan kehidupan pembaca.

  1. Memecah kebuntuan
Kebuntuan terjadi karena kita kekurangan referensi. Lazimnya, ketika kita berhadapan dengan sebuah permasalahan, secara alamiah otak kita akan menghadirkan referensi permasalahan yang serupa sehingga kita tergerak untuk memilih tindakan yang mirip dengan referensi tersebut. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kita berperilaku berdasarkan referensi yang kita miliki. Dengan referensi tersebut, sisi kreatif diri kita melakukan modifikasi dan improvisasi yang menghasilkan tindakan yang mirip namun berbeda. Begitu juga dengan menulis, kita tidak dapat menulis hal yang tidak kita tahu, yang kita tidak punya referensi mengenainya. Semakin banyak referensi yang kita miliki, semakin banyak pilihan jalan keluar. Tidak akan ada yang namanya gang buntu saat menulis.

  1. Sumber inspirasi
Bagi seorang kreator, kehadiran sebuah karya akan memancing lahirnya karya lain. Ketika seorang penulis selesai membaca sebuah teks tulisan otak kreatifnya terangsang untuk merespons bacaan  tersebut. Respons itu dapat berwujud kritik atas karya yang selesai dibaca tersebut, dapat juga memberikan alternatif jalan cerita atau penyelesaian yang lain. Oleh karena itu, ketika muncul penolakan terhadap sebuah karya sikap paling pas untuk berpolemik atau adu wacana adalah dengan membuat tulisan untuk menanggapinya.



Seperti yang diungkap di bagian awal tulisan ini, menulis dapat dianalogikan dengan menuang air dari botol ke gelas. Kita tidak dapat mengisi gelas dengan madu jika botolnya kosong. Kita tidak dapat mengisi gelas dengan madu jika botolnya tidak berisi madu, melainkan hanya air gula untuk makan bubur putih. Memang sama-sama manis, namun tetap berbeda nilainya. Oleh karena itu, jika kita ingin menyuguhkan segelas madu, botolnya haruslah dalam keadaan berisi, dan isinya tentu saja harus madu.
Madu dalam konteks ini berarti tulisan yang berkualitas, yang memberikan kemashlatan bagi pembaca, hikmah, pembelajaran, atau inspirasi, bukan malah gagasan beracun yang mengacaukan pemikiran pembaca sehingga kehidupannya menjadi kacau. Tulisan yang kita harapkan tentulah yang mencerahkan seperti madu yang menyehatkan.
Di situlah pentingnya memilih bacaan. Apapun genre tulisan yang kita tulis, kita boleh membaca genre mana pun; buku agama, dongeng, novel, sejarah, politik, perjalanan, parenting, cara berkebun, biografi, atau kumpulan humor. Tidak masalah. Bacaan yang variatif  akan memperkaya warna tulisan kita. Yang penting adalah mutu bacaan tersebut. Jaminan mutu tersebut bisa kita lihat dari siapa penulisnya. Pilihlah bacaan  buah pikir orang yang memang memahami apa yang dia tulis dan secara umum telah mendapat penilaian baik. Bacaan yang baik ibarat makanan bergizi yang akan membuat jiwa kreatif kita turut sehat.

Supaya botol gagasan kreatif kita selalu berisi dan berkualitas, kita memang perlu mengisinya secara rutin dengan membaca. Kita dapat menjadwalkan kapan waktu, lama, serta target jumlah halaman yang dibaca. Pengaturan ini membuat kita lebih disiplin dan terkelola. Tidak masalah hanya beberapa halaman dalam sehari asal istiqomah. Idealnya memang dengan target jumlah dan variasi. Jangan biarkan botol gagasan kosong. Jika kosong, apa yang akan ditulis? Ide-ide yang sudah basi?
Sebagai manusia, kita bersifat khilaf dan pelupa. Apa yang telah kita baca tidak akan teringat seutuhnya. Bagaimana cara agar informasinya tidak hilang atau keliru? Catatlah. Tidak ada ruginya menyediakan buku catatan kecil untuk menemani aktivitas membaca. Informasi yang dianggap penting ditulis di buku catatan. Tambahkan juga resume dan kutipan penting yang dapat kita petik dari teks yang telah dibaca. Tidak saja akan membuat kita lebih ingat, namun juga dapat digunakan di kemudian hari bila membutuhkan referensi.

Di dalam Al Quran Surat Al Alaq 1-5 yang artinya “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan; Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah; Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Mulia; Yang mengajar manusia dengan pena; Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” Perintah membaca dan menulis merupakan paket komplit belajar.


OK, supaya kita bisa selalu menuangkan madu yang berkualitas baik ke dalam gelas-gelas orang yang akan meneguk manfaat dari tulisan kita, kita perlu rajin dan rutin membaca, memilih bacaan yang tepat dan berkualitas agar yang kita bagi kepada para pembaca tidak sekadar omong kosong, namun untaian hikmah penuh makna!