Tuesday 17 May 2016

Bupati Solok Menulis di Atas Sepeda

Oleh Ade Efdira


“Dengan menulis akan melahirkan ide, gagasan dan membangkitkan inovasi.” – H. Gusmal Dt. Rajo Lelo, Bupati Solok (dikutip dari “Memperkokoh RPJMD 2016-2021 Kab. Solok Menulis Menjadi Ikon Program Empat Pilar”, harian Singgalang, edisi Senin, 11 April 2016).

Bayangkanlah...


Sabtu, 6 Agustus 2016; Beberapa jam sebelum Grand Start Tour de Singkarak (TdS) Tahun 2016 dimulai, para pebalap sepeda dari berbagai negara duduk di bawah gazebo-gazebo yang berjejer di tepi Dermaga Singkarak. Dibelai angin danau yang lembut, ditingkahi sayup-sayup suara saluang dan bansi, mereka menulis catatan perjalanan sesampai di Ranah Minang; tentang alam yang indah, tentang masyarakat yang dikabarkan ramah, tentang makanan, tentang hotel, tentang tari dan nyanyian, tentang sepeda, tentang ombak, sawah, tanjakan, gunung... tentang apa saja yang terbetik di benak mereka ketika duduk di tepi Singkarak nan badangkang.
Di bawah gazebo-gazebo yang lain, anak-anak sekolah, mahasiswa, guru, pegawai, masyarakat umum, polisi, tentara, tukang parkir, jurnalis, pejabat pemerintahan, semuanya asyik menekuri kertas dan pena: menulis. Menulis tentang apa saja; pengalaman, perasaan, impian, gagasan, khayalan, atau apa pun. Solok Menulis!
Di Taluak Tikalak, di Tembok Kacang, di Paninggahan, di bawah Puncak Gagoan, di Muaro Ombilin, atau di mana pun selingkar Danau Singkarak, diadakan acara pembacaan puisi, bedah buku, dongeng untuk anak, pemutaran film, pertunjukan dendang-randai-salawat dulang, lomba menari, lomba menulis cerita dan puisi, lomba memasak pangek sasau, dan lainnya. Anak-anak sekolah, bapak-ibu petani dan nelayan, uda-uni pelancong, pedagang, pegawai, peliput berita, dan siapa pun yang berada di sana, dapat menikmati alam Singkarak sekaligus dunia sastra budaya sembari menunggu kelebatan para pebalap sepeda berkelas internasional. Tidak ada yang merasa sia-sia.
Tidak ada masyarakat yang mengumpat gerutu karena terjebak macet berjam-jam tanpa kegiatan yang produktif. Sebab, mereka tidak hanya akan menyaksikan para atlet yang melintas dalam hitungan detik. Namun, ada acara lainnya yang tidak kalah menarik menyertai gegap gempita TdS yang telah menjadi iven dunia. Masyarakat tidak sekadar jadi penonton tapi juga terlibat di dalam iven, dalam rangkaian kegiatan tour tahunan itu. Barangkali sebelum balap yang sebenarnya, dapat juga digelar balap icak-icak mengelilingi Danau Singkarak, Kebun Teh, Sawah Solok, atau tempat lain sehingga yang berbalap ria tidak hanya orang lain, tetapi masyarakat setempat pun kembali akrab dan mencintai sepeda. Untuk itu, tentu saja jalan perlu diperbaiki, dan ada jaminan keamanan nyawa para pesepeda di jalan raya. Kalau tidak, akan jauh panggang dari api. Menjual iven balap sepeda, sementara masyarakat setempat tidak merasa bahwa sepeda bagian dari kehidupannya.
Tahun ini TdS ‘kembali’ ke Solok. Ini sebenarnya momen yang tepat untuk kembali mengangkat nama Solok sebagai kabupaten terbaik di Sumatera Barat. Kabupaten Solok mesti bergerak cepat membenahi fasilitas dan infrastruktur sehingga iven berbujet besar itu lebih mengena, tidak sekadar pengisi kalender rutin. Pariwisata sebagai salah satu tonggak pembangunan benar-benar diseriusi. Banyak spot istimewa di Solok yang telah menjadi magnet wisatawan: Gunung Talang, Danau Kembar, Kebun Teh, Tugu Ayam Kukuak Balenggek, Puncak Gagoan, Janjang Saribu Sulik Aie, Angin Berhembus Aripan, Aie Angek Koto Anau, Rumah Pohon Laing Park, Pulau Belibis, Sarasah Aie Batimpo, dan masih banyak lagi yang lain. Kita tidak bisa memungkiri bahwa pariwisata mendatangkan rezeki untuk masyarakat dengan terbukanya peluang usaha dan lapangan kerja, juga kemajuan. Kesejahteraan sosial masyarakat pun akan lebih membaik. Ayo, ayo! Mari datang ke Solok, Solok yang sebenar elok! Solok! Solok! Solok!
Tidak cuma tempat, Solok juga punya banyak keunikan tradisi dan kesenian yang mengagumkan. Semuanya keren, luar biasa. Kekayaan alam dan budaya yang dapat dieksplorasi dalam tulisan. Bila semua itu ditulis, buku-bukunya bisa memenuhi 13 kontainer, Pak Bupati!
Terkait rencana pembangunan sektor pendidikan, Bupati Gusmal secara khusus telah mengeluarkan ide untuk menjadikan Kabupaten Solok sebagai daerah yang memunculkan banyak penulis. Tidak hanya dari kalangan tenaga pendidik, tetapi juga profesi lain. Menurutnya, kegiatan menulis dapat menginformasikan fakta dan data kepada khalayak pembaca sehingga masyarakat memperoleh pengetahuan dan pemahaman baru tentang berbagai hal yang terjadi.
Gagasan Bapak Bupati tersebut sangat penting untuk didukung karena meskipun digagas di Kabupaten Solok, menulis tidak hanya untuk Solok. Menulis dapat memelihara pengetahuan kita terhadap bahasa Indonesia untuk menguatkan rasa nasionalisme yang sering dikobarkan dalam materi Revolusi Mental. Salah satu wujud kesadaran nasionalisme itu adalah menggunakan bahasa Indonesia secara baik, penuh penghargaan karena bahasa tersebut mempersatukan bangsa Indonesia yang memiliki lebih dari 5.000 bahasa daerah dan dialek seperti hasil penelitian para linguis.
Untuk mewujudkan impian Bupati tersebut, perlu usaha keras membangkitkan kesadaran masyarakat untuk membaca dan menulis. Kita tidak akan bisa menulis apabila tidak membaca, tidak belajar. Imbauan Bupati Solok kepada segenap stake holder-nya untuk menulis berarti mengajak untuk tekun membaca dan kembali giat belajar. Bagaimana akan mencerdaskan masyarakat pembaca bila penulisnya belum cerdas?
Masyarakat yang cerdas adalah wujud dari masyarakat Sumbar yang madani dan sejahtera seperti visi Gubernur Sumatera Barat. Jadi, mari menulis, mari kembali belajar![]

Ade Efdira adalah Pekerja Sosial Pertama
pada Dinas Sosial Provinsi Sumatera Barat


Dimuat Harian Singgalang edisi Minggu, 15 Mei 2015

Mendengarkan, Menguatkan; Konseling dalam Rehabilitasi Tuna Susila

Oleh Ade Efdira



“Saya tidak pernah berniat jadi pelacur. Kalau boleh memilih, saya ingin jadi wanita baik-baik seperti wanita lain; bersuami, mengurus anak-anak, mendapatkan uang yang halal... Saya juga takut kena HIV, sakit-sakit, lalu mati.”
Seperti dalam drama telenovela, sepasang mata perempuan di seberang saya berkerjap-kerjap sedih, lalu ada air merebak turun dari kelopak yang telah berbilang hari tak mendapat sapuan eye shadow. Dia terisak pelan dan saya diam membiarkan; memelihara suasana tenang yang mengalirkan rasa percaya. Klien saya sedang menyuarakan masa lalunya yang suram. Sebagai pekerja sosial, saya di sana hadir untuk membantunya memandang diri sendiri, mengevaluasi, dan membangkitkan kesadaran untuk berubah. Bukan untuk menghakimi, tapi membantunya memilih langkah baru untuk hari esok yang masih terbentang, panjang. Kami sedang berkomunikasi.
Komunikasi yang berasal dari bahasa Latin communicatio, sesungguhnya berarti kesamaan pemahaman antara orang-orang yang saling berhubungan. Kesepahaman makna tersebut dapat terwujud dalam bentuk jawaban, respons, atau proses interaksi oleh orang-orang yang saling berkomunikasi. Komunikasi sangat penting dalam kehidupan manusia karena dapat menimbulkan sense of identity, yakni identitas personal yang terbentuk dari tanggapan orang lain terhadap diri dan menjadi refleksi. Komunikasi dapat meningkatkan kualitas kesehatan fisik dan psikologis. Sebaliknya, isolasi sosial dapat menyebabkan stres, kejenuhan, gangguan tidur, depresi, dan kematian awal (dalam Enjang, 2009:13-30). Komunikasi, dalam situasi rehabilitasi sosial seperti di atas, sangat penting untuk menjemput kesadaran spiritual dan sosial para klien saya yang merupakan eks wanita tuna susila untuk memahamkan bahwa perbuatan mereka salah karena melanggar norma-norma, dan mereka harus mendengar hati nurani yang mengharapkan mereka menjadi manusia baik-baik.
Kegiatan pengungkapan masalah klien tersebut dalam rangkaian tugas pekerja sosial disebut asesmen atau pengungkapan masalah. Secara prinsip, asesmen sama dengan konseling, berkomunikasi untuk menggali persoalan klien dan mencarikan jalan keluar untuk memperbaiki masa depan. Pada proses konseling, seorang konselor berkomunikasi untuk mengumpulkan informasi terkait dengan permasalahan klien, kemudian menyampaikan solusi untuk memecahkan permasalahan tersebut. Tanpa komunikasi, sangat riskan bagi konselor dapat mengetahui dan memahami permasalahan yang dihadapi kliennya, begitu juga memberikan nasihat untuk menyelesaikan masalah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konseling adalah (1) pemberian bimbingan oleh yang ahli kepada seseorang dengan menggunakan metode psikologis dan sebagainya; pengarahan; (2) pemberian bantuan oleh konselor kepada konseli sedemikian rupa sehingga pemahaman terhadap kemampuan diri sendiri meningkat dalam memecahkan berbagai masalah; penyuluhan. Konseling berasal dari bahasa Inggris, yaitu counseling, yang berarti nasihat (to abtain counsel), anjuran (to give counsel), dan pembicaraan (to take counsel). Dari istilah tersebut, konseling diartikan sebagai pemberian nasihat, anjuran, dan pembicaraan bertukar pikiran untuk memahami keadaan diri serta kemampuan dan potensi yang dimiliki (dalam Enjang, hal. 33). Meskipun dalam proses konseling terjadi komunikasi antara konselor dengan klien, namun segala tindakan yang kemudian dilakukan oleh klien sepenuhnya berdasarkan kesadaran dan prakarsa klien karena hal tersebut merupakan haknya untuk membuat pilihan. Konselor berfungsi sebagai fasilitator yang membantu menciptakan suasana yang nyaman bagi klien untuk memecahkan masalahnya.
Suasana kondusif diciptakan konselor melalui komunikasi dalam membuka dan mengawali proses konseling; mengumpulkan, merangkum, dan membantu mencari solusi atas persoalan psikologis yang sedang dihadapi klien; menunjukkan respons positif sehingga klien merasa aman dan nyaman serta merasa diterima dengan baik; mengembangkan kualitas kesehatan mental klien; mengembangkan perilaku lebih efektif pada diri klien terhdap lingkungannya; dan membangun rasa percaya diri dalam menanggulangi problem hidup klien sehingga pada akhirnya bisa mandiri.
Sekalipun, misalnya, klien tidak memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, seorang konselor harus mahir untuk melancarkan arus komunikasi antara dirinya dengan klien karena dalam konseling terjadi komunikasi interpersonal (antarpribadi). Hal yang dapat dilakukan konselor adalah berupaya menciptakan suasana yang hangat dan menumbuhkan rasa percaya pada diri klien sehingga dia tidak merasa kesepian dan diasingkan dari kehidupan. Apabila klien telah memiliki kepercayaan terhadap dirinya dan konselor, maka dengan bantuan konselor dia akan dapat mengungkapkan beban psikologisnya secara konkret.
Pada saat klien mengungkapkan permasalahan dirinya, seorang pekerja sosial mendengarkan. Tujuan mendengarkan adalah untuk mencari tahu persoalan, menunjukkan dukungan atau bantuan, memberikan penilaian, dan sebagai aktivitas terapi. “Mendengarkan berarti menerima kuatnya sisi kepentingan manusia yang diceritakan kepada kita. Kita dapat mendengar seperti dinding kosong atau seperti auditorium yang bagus, yang setiap suara memantul lebih penuh dan lebih kaya,” demikian tutur penulis Alice Duer Miller (dalam Enjang, 2009:156).
Demikian juga dengan proses asesmen dalam tahapan rehabilitasi sosial, seorang pekerja sosial melakukan wawancara dengan kliennya yang merupakan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Boleh disebut, PMKS adalah residu masyarakat, kaum yang terbuang, tersisih, tercela, termarginalkan, atau sampah masyarakat. Mereka di antaranya adalah anak jalanan, pengemis, orang terlantar, residivis, orang gila, penderita cacat mental, penderita HIV/Aids, pecandu narkoba, dan tuna susila. Seorang pekerja sosial yang ditugaskan untuk mengembalikan kompetensi sosial para PMKS, mau tak mau harus menjalin komunikasi dengan warga binaannya, kliennya, agar dapat memulihkan mereka sebagai makhluk sosial yang dapat kembali menyatu dengan masyarakat.
Sebagai residu, tidak mudah bagi para klien untuk memulihkan diri sendiri yang diawali dengan berbicara kepada pekerja sosial tentang siapa dirinya, apa yang telah dia lakukan, mengapa dia berbuat demikian, bagaimana pandangannya terhadap perbuatannya, tahukah dia dengan norma-norma, bila telah tahu maukah dia berhenti melakukan kesalahannya, apa hal yang menjadi hambatan dia berubah, pekerjaan apa yang dapat dia lakukan agar tidak mengulang lagi perbuatan buruknya di masa lalu, siapa orang yang bisa mendukungnya, sudah adakah niat di dalam hatinya untuk berubah.... Sulit memang, namun pekerja sosial akan membantunya untuk menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan itu dan membuat keputusan untuk memperbaiki diri, sebab dia hidup di dalam kehidupannya. Pilihan ada di tangannya, bukan di tangan orang lain.
Proses tersebut dapat terlaksana apabila dalam komunikasi dengan kliennya, pekerja sosial memiliki empati. Menurut Hodges, S.D., & Klein, K.J. (2001) dalam  artikel “Regulating The Costs Of Empathy: The Price Of Being Human”, empati adalah kemampuan dengan berbagai definisi yang berbeda yang mencakup spektrum yang luas, berkisar pada orang lain yang menciptakan keinginan untuk menolong sesama, mengalami emosi yang serupa dengan emosi orang lain, mengetahui apa yang orang lain rasakan dan pikirkan, mengaburkan garis antara diri dan orang lain. Adanya empati membuat seseorang dapat merasakan emosi orang lain dan turut membantu menyelesaikan permasalahan.
Para ahli mengidentifikasi tiga pendekatan dalam empati, yakni empathic rensponsiveness, perspective taking, dan sympathetic  responsiveness. Pendekatan pertama, empathic rensponsiveness, memberikan respons emosional yang sama dengan orang lain seolah ikut mengalami yang biasanya tercipta apabila memiliki kedekatan personal dengan orang tersebut. Pendekatan perspective taking berusaha membayangkan diri sendiri berada pada posisi atau kondisi yang dialami orang lain. Sedangkan pendekatan ketiga, sympathetic  responsiveness, berupa ikut sedih, prihatin, dan menyesal atas apa yang dialami oleh orang lain. Kecenderungan karakter yang berorientasi pada diri sendiri (egosentrisme) menghambat kemampuan empati seorang pekerja sosial. Untuk dapat memahami perasaan orang lain, selain mencerna pesan verbalnya, kita perlu menangkap pesan-pesan nonverbalnya, yakni nada bicara, gerak-gerik, dan ekspresi wajah sebab dalam komunikasi, pesan emosional 90% disampaikan oleh tubuh (secara nonverbal), bukan melalui kata-kata.
Ada beberapa cara untuk meningkatkan kemampuan empati, yakni memandang orang lain sebagai manusia, bukan sebagai obyek; pusatkan perhatian untuk menangkap pesan verbal dan nonverbal; perhatikan isyarat perilaku untuk mengetahui keadaan emosinya; coba rasakan apa yang dirasakan orang lain; coba ingat atau bayangkan perasaan kita bila berada dalam situasi yang sama; dan biarkan diri mengalami perasaan sedih, prihatin, atau menyesal seperti yang dialami orang tersebut.
Pada kasus klien eks wanita tuna susila di atas, sebagai seorang pekerja sosial, saya dengan empati menyediakan suasana nyaman untuk konseling sehingga warga binaan tersebut dapat dengan leluasa mengungkapkan persoalan yang membelitnya hingga terjerumus ke lumpur prostitusi, lalu membangkitkan kesadaran normatifnya, untuk kemudian memberinya kesempatan untuk memotivasi diri sendiri bahwa rehabilitasi sosial yang sekarang dijalaninya bukanlah sebuah hukuman, melainkan kesempatan untuk terlahir kembali sebagai manusia baru yang lebih baik.
“Tidak. Saya tidak mau lagi kerja di kafe itu lagi, meski bayarannya tinggi, dan saya tahu saya sangat butuh uang untuk membiayai ibu saya yang sakit jantung. Tapi saya akan kembali bekerja di pabrik roti... Biarlah. Mungkin saya tidak bisa menikah dulu. Biarlah saya mengobati ibu untuk menebus dosa saya. Itu bila ibu mau menerima saya pulang...”
Klien saya menyeka matanya dengan ujung jilbab. Proses rehabilitasi sosialnya masih lama. Namun saya percaya, dia bisa kembali fitrah, bila dia punya niat dan mau berusaha.[]
Ade Efdira adalah Pekerja Sosial Pertama
pada Dinas Sosial Provinsi Sumatera Barat

 Dimuat di Harian Singgalang edisi Minggu, 24 April 2016

Masa Depan Pelacur


Oleh Ade Efdira, SS*


Tuna Susila adalah seseorang yang melakukan hubungan seksual dangan sesama atau lawan jenis secara berulang-ulang dan bergantian di luar perkawinan yang sah dengan tujuan mendapatkan imbalan uang, materi, atau jasa (Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 8 Tahun 2012).

Aura (sebut saja begitu) kabur dari rumah setelah keperawanannya dicuri oleh sang pacar di sebuah hotel murah meriah di pinggir kota. Dia takut aibnya ketahuan orang tua yang hidup terpisah. Aura lalu menumpang di rumah seorang teman yang hobi kongkow-kongkow seperti dirinya. Sehari dua hari menumpang tentu tidak apa. Kalau berminggu dan berbulan? Tentu sungkan juga. Akhirnya Aura pun berkata, “Carikanlah aku tamu.” kepada sang teman yang  tiap sebentar dapat uang banyak untuk kemudian dihamburkan buat makan-makan dan beli baju mahal. Tak perlu waktu lama, fotonya pun beredar melalui BC (broadcast) BBM (Blackberry  Messanger). Dijelalati mata-mata kelaparan pria-pria nakal. Lantas Ping! Aura pun menerima dan melayani tamu. Ada Short Time, ada Long Time. Berpindah dari hotel yang satu ke hotel yang lain. Hingga akhirnya dicakau pihak berwajib dan ‘dilemparkan’ ke Sukarami.
Kisah Cabelita (jangan ketawa, panggil saja begitu) lain lagi. Makan hati ditinggal suami yang kecantol perempuan lain yang lebih seksi, Cabelita harus banting tulang jadi buruh cuci untuk bisa mengais sesuap nasi penyumbat mulut dia dan dua anak yang masih kecil. Tak tahan mendapat rupiah cuma 300 ribu sebulan, Cabelita pun menitip kedua buah hatinya pada orang tua yang tak kalah miskin, kemudian merantau ke Pulau Andalas buat bekerja di rumah makan diajak seorang teman. Bekerja di rumah makan padang? Aih, boro-boro! Cabelita malah ditaruh di warung minum pinggir jalan Lintas Sumatera. Makan dan tidur gratis tapi kerja tak digaji, kecuali lewat tips dari pria-pria musafir yang kehausan bir dan tuak. Ingin dapat lebih agar bisa  ditransfer ke kampung? Boleh. Cabelita tinggal bimbing para tamu ke kamar di belakang warung. Uang yang tadinya di kampung didapat dengan perjuangan meregang nyawa sebulan, sekarang dapat dikantongi seperempat malam hanya dengan sedikit mengerang seperti truk-truk raksasa waktu mendaki tanjakan Lintas Sumatera. Ujung-ujungnya sama seperti Aura, Cabelita pun kena tangkok pihak berwajib dan ‘disukaramikan’!
Tak lengkap bila cuma Aura dan Cabelita yang diceritakan, ada lagi Nikita (ya, katanya dia lebih bahagia disapa begitu), senang berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lain. Entahlah, apakah dia memang memiliki impian jadi seorang traveller seperti anak-anak muda kekinian, penulis tidak tahu. Yang jelas, akibat kebiasaannya yang hilir-mudik lalu-lalang tak karu-karuan menempuh penurunan-pendakian, jalan ramai-jalan lengang, kota kecil-kota metropolitan, pakai sendal atau kaki ayam, berbaju lengkap atau sekadar kain nyangkut di badan... akhirnya pihak berwenang pun memungut Nikita dari jalanan dan dititipkan di Sukarami, daripada diperkosa atau dianiaya bianatang jalang!
Aura, Cabelita, dan Nikita hanya beberapa nama yang menjadi warga binaan Sukarami. Sukarami? Oh iya maaf, penulis lupa, Sukarami di sini mengacu pada sebuah panti rehabilitasi, yakni Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) “Andam Dewi” Solok yang berlokasi di Sukarami, bukan mengacu pada negeri. Saking terkenalnya panti milik Dinas Sosial Provinsi Sumatera Barat tersebut sebagai pusat rehabilitasi eks wanita tuna susila (WTS), masyarakat pun memiliki referensi tersendiri terhadap nama itu. Dalam kasus-kasus serupa di atas, Sukarami berasosiasi langsung dengan Panti Andam Dewi.
Hampir setiap hari, berita tentang razia dan penangkapan WTS di kota/kabupaten se-Sumatera Barat muncul di koran lokal. Apalagi setelah adanya komitmen Menteri Sosial RI untuk membebaskan Indonesia dari lokalisasi prostitusi pada tahun 2019, razia terhadap WTS semakin gencar dilakukan. Wanita-wanita yang terjaring oleh pihak berwenang biasanya diberi pembinaan oleh aparat yang menangkap dan membuat perjanjian untuk tidak mengulangi perbuatan serupa. Setelah itu dilepas. WTS yang nakal biasanya akan tertangkap lagi dan kembali membuat surat perjanjian untuk kemudian terciduk lagi dan berjanji lagi. Pada akhirnya dikirim ke Sukarami.
Mengapa mereka harus disukaramikan? Sebagai pusat rehabilitasi wanita tuna susila, PSKW “Andam Dewi” memiliki tugas pokok dan fungsi melaksanakan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi wanita tuna susila agar dapat kembali menjalankan fungsi sosialnya di masyarakat. Oleh karena itu, di panti ini, para eks WTS akan mendapat pembinaan (bimbingan) agama dan ibadah, mental psikologis, fisik, sosial, dan keterampilan. Mereka disentuh dengan nilai-nilai agama seperti shalat dan mengaji, serta menutup aurat. Mereka juga diberikan bimbingan keterampilan menjahit, membordir, menyulam, bercocok tanam, membuat olahan pangan (memasak), dan membuat handy craft (kerajinan tangan) dari barang bekas. Selain itu mereka juga diberi penyuluhan sosial, kesehatan/klinis, dan konseling psikologi. Agar fisik tetap sehat, mereka diberikan makanan bergizi dan diruntinkan olah raga.
Untuk apa itu semua? Tak lain adalah supaya eks WTS yang dikirim ke PSKW dapat lepas dari profesi sebelumnya. Sebagian besar wanita yang terjerumus ke dunia prostitusi disebabkan oleh faktor keretakan rumah tangga dan kesulitan ekonomi, disusul oleh faktor pergaulan bebas dan gaya hidup hedonis yang ingin bersenang-senang dengan gampang dan instan. Semua itu berpangkal pada mental yang goyah.
Penguatan mental, terutama dalam hal mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan menuntun mereka menunaikan ibadah shalat lima waktu dan membaca Al Quran adalah misi utama PSKW “Andam Dewi” Solok, sebab apa pun pilihan hidup eks WTS di kemudian hari, akan berpijak pada cara mereka memandang kehidupan. Apabila mereka berkeyakinan kuat bahwa kehidupan di dunia bersifat sementara, apa yang gemerlap akan padam, kecantikan akan memburuk, yang hidup akan mati, mereka pun dapat memperbaiki masa depannya. Mereka akan termotivasi untuk membekali diri dengan keterampilan (life skill) agar mendapatkan pekerjaan yang baik, serta berani meninggalkan kepelacuran untuk menjadi wanita baik-baik, sekalipun harus bakureh menyunggingi langit dengan kerja kasar berpenghasilan kecil. Demi meraih surga dan ridha-Nya, mengapa tidak?
Sebenarnya, para wanita eks WTS yang dikirim ke PSKW pantas bersyukur karena mereka dapat keluar dari lingkaran setan lumpur prostitusi, paling tidak mereka dapat menghirup udara kebaikan selama masa rehabilitasi. Mereka dapat hidup tenang dengan makanan dan pakaian layak serta hari-hari penuh dengan kegiatan positif, yakni belajar mengaji, shalat, menghafal ayat, belajar keterampilan menjahit, bordir, sulaman, pertanian, dan lainnya. Kesehatan mereka pun mendapat pemeliharaan.
Jadi, amat disayangkan bila ada kalangan yang menghalangi para eks WTS masuk ke PSKW padahal rehabilitasi sosial terhadap para penyandang masalah tuna susila tersebut dapat memutus mereka dari mata rantai pelacuran. Menyelamatkan mereka sebenarnya juga menyelamatkan masyarakat luas dari jeratan prostitusi yang sekarang ini memiliki teknik canggih, tidak cuma dengan cara menjajakan diri di pinggir jalan, tetapi dengan ‘mempromosikan jualan’ lewat media sosial seperti BBM. Mirisnya, yang terjerat masalah prostitusi tidak hanya orang dewasa, tapi sudah menjangkau remaja dan anak-anak sekolah.
Rehabilitasi sosial terhadap wanita tuna susila di PSKW adalah upaya untuk menyelamatkan masa depan para WTS yang notabene adalah kaum perempuan, ibu bagi para generasi mendatang. Menyelamatkan masa depan mereka, berarti juga menyelamatkan masa depan bangsa.[]
*Ade Efdira, SS adalah Pekerja Sosial Pertama pada
Dinas Sosial Provinsi Sumatera Barat


 Dimuat Harian Singgalang edisi Minggu, 27 Maret 2016