Tuesday 22 May 2018

Maminangkan Urang Minang

Sore ko, Selasa 22 Mei 2018, Anak-anak Wikipedia Minang bakumpua di Bagan Resto, Jalan Mangunsarkoro Padang untuak basamo-masamo balatiah maedit tulisan artikel di Wikipedia. Dalam acara ko, turuik hadir, ahli bahasa dari Balai Bahasa Sumatera Barat nan bagi-bagi ilmu soal kaidah penulisan dalam bahaso Minang.



Walaupun sabagian besar nan hadir urang Minang asli, tapi bi kapayahan juo matuikkan kosa kato nan sasuai jo bahaso Minang.

Monday 14 May 2018

Tujuh Alasan Wantenga Tidak Jadi Menikahi Siti Garaso



Cerpen Ragdi F. Daye

 

Sudah empat setengah jam Tanpena duduk bersitungkin menghadap laptop Axioo di depan hidungnya, tapi belum satu paragraf pun yang berhasil dia tulis. Padahal deadline tulisannya nanti malam. Pada saat kusut begitu, Jangkisuik masuk ke dalam ruang kerjanya dan langsung mengobok-obok isi lemari.

            “Kopimu tidak ada lagi, Tan?”

            “Ada tuh dalam stoples. Kemarin baru kubeli. Tak tampak oleh matamu?”

            “Oh iya, ini...” Jangkisuik kasak-kusuk membuka plastik kopi bermerek Timbangan Bunga yang diikat dengan karet, lalu memasukkan bubuk hitam harum itu satu setengah sendok ke dalam mug putih hadiah susu, menambahkan dua setengah sendok gula pasir, menuangkan air panas dari termos, mengaduk-aduk, lalu duduk di sisi tempat tidur sambil menyeruput sedikit. Panas. “Wantenga tidak jadi menikahi Siti Garaso,” ujarnya.

            Tanpena bergeming. Apa pentingnya? Dia sedang berjibaku membuat opini sepanjang tiga-empat halaman tentang gagasan membangun kota sesuai pesanan kandidat pemimpin daerah yang memakai jasanya sebagai ghost writer. Kabar yang disampaikan Jangkisuik sama sekali tidak relevan dengan pekerjaannya.

            “Hei Tuan Pengarang! Kamu tidak mendengarku? Wantenga dan Siti Garaso tidak jadi menikah!”

            “Terus apa masalahnya? Biasa saja kan orang di sini tak jadi menikah.”

            “Jelas beda! Ini Wantenga. Kau tahu sendiri ‘kan bagaimana dia sudah berkoar ke mana-mana akan menikahi Siti Garaso. Tanggal dan hari juga sudah dapat. Undangan sudah disebar. Kenapa bisa tidak jadi?”

            “Memangnya kau tahu alasannya?”

            “Ada tujuh!”

            “Tujuh alasan? Seperti judul artikel di Google saja: Tujuh Alasan Wantenga tidak jadi menikahi Siti Garaso. Hahaha...!” Tanpena mengambil alih gelas kopi di tangan Jangkisuik. Meneguknya. “Coba ceritakan!”

***

            Pertama, Jangkisuik memulai, bulu ketiak Siti Garaso seperti ijuk di batang enau. Lebat. Hitam. Kasar.

            Tanpena tak bisa menahan tawa. Dia membayangkan Siti Garaso duduk di atas Astrea bulan warna merah sambil memeluk pinggang Wantenga. Rambut-rambut hitam kasar menjulur dari ketiaknya seperti ijuk di pelepah batang enau. Alangkah menggelikannya ada perempuan setidak bersih itu. Tapi eh tapi, bukankah Siti Garaso mengenakan kerudung? Bukankah Siti Garaso selalu menutup aurat? Mengapa Wantenga bisa tahu?

            Wantenga telah mengintip Siti Garaso sedang mandi, ya?

            Hahaha... Mengintip Siti mandi? Hmm, ya tidaklah. Mengintip memang iya. Lebih tepatnya stalking-stalking, kata anak muda sekarang. Wantenga telah sering mengintip akun Instagram @sitygara50 milik Siti Garaso. Galeri fotonya bagus-bagus dengan latar pemandangan  Sumatera Barat yang indah-indah. Ada foto Siti duduk termenung di Jembatan Kelok 9, foto selfie Siti di Jam Gadang, foto Siti dan kawan-kawan makan langkitang di taplaw, foto Siti mengantar uwak pergi naik haji di BIM, foto Siti ala-ala anak daro di Istano Basa Pagaruyuang, foto Siti di depan poster film yang sedang tayang di XXI, dan yang terakhir, yang membuat Wantenga patah selera, foto Siti sedang berbaring rebahan di Pulau Sirandah bak bule dari Eropa, berbusana minim hingga bulu ketiaknya terlihat menjulur seperti sulur-sulur rumput laut.

            Wantenga memang tidak rajin salat. Tapi dia ingin punya istri shalehah. Memajang foto yang mengumbar aurat adalah alasan kedua Wantenga tidak jadi menikahi Siti Garaso.

            “Alasan kedua ini aku sepakat,” tanggap Tanpena. “Aku juga begitu. Apabila keluar rumah, istriku nanti juga harus menutup tubuhnya rapat-rapat, kalau perlu pakai cadar. Tapi pas di rumah bolehlah seksi-seksi. Hahaa…”

            “Semua laki-laki pasti inginnya seperti itu…”

            “Ya iyalah… masak kecantikan istri jadi konsumsi umum.” Tanpena mengeluarkan kacang Surian dari laci meja. “Alasan ketiga apa?”

            “Ada susu?”

            “Sudah minum susu pula kau sekarang hah?”

            Jangkisuik membuat kopi segelas lagi. Kali ini ditambah susu. Sebelum dia sempat menikmati, Tanpena mengambil jatah duluan. Seteguk.

***

            Kata Jangkisuik, Wantenga suka Siti Garoso sejak gadis itu pulang merantau dari Batam. Sebelumnya Siti tampak biasa-biasa saja dengan nilai rata-rata enam setengah. Tapi sepulang dari rantau yang gagal, dia bekerja di plaza dan wajahnya jadi lebih cantik karena setiap hari di-make up. Wantenga langsung terpesona. Tepat pula waktu itu dia baru ditinggal nikah oleh Pitkajai pacarnya yang menjadi artis orgen tunggal. Hati Wantenga langsung hinggap pada Siti Garoso yang dari menara Masjid Raya Sumbar terlihat mirip benar dengan Shireen Sungkar.

            Wantenga ingin menikahi gadis itu. Tapi, tapi oh tapi tidak jadi. Inilah alasan ketiga.

            Wantenga pernah membawa Siti Garoso duduk-duduk makan pisang bakar di Jembatan Siti Nurbaya sepulang dari tempat kerjanya. Riasan wajahnya belum dihapus sehingga tetap terlihat cantik. Mereka memesan pisang bakar dan teh botol. Lampu-lampu jembatan membuat suasana jadi sangat romantis. Mereka pun foto berdua. Bercanda mesra. Lalu makan, suap-suapan, dan …

            Puuut…!

            “Kentutnya keras sekali sampai-sampai uni tukang jual pisang bakar melihat dan cekikikan. Betapa malunya aku. Bau kentutnya juga tak tanggung-tanggung pula.” Sesal Wantenga pada Jangkisuik. “Aku tidak suka perempuan pengentut. Apalagi di tempat ramai. Bagaimana kalau dia terkentut sekeras itu lagi di tempat baralek?”

“Kentut ‘kan bisa ditahan, Wan, atau dikeluarkan pelan-pelan. Masak karena itu saja kau tak jadi menikahinya?”

“Terkentut di tempat ramai berarti tidak beradab. Jika di rumah sendiri tak apalah.” sungut Wantenga. “Masih ada yang lain. Dia terlalu kasar pada anak kecil dan suka angkek-angkek stang, suka membantah. Belum menikah saja dia sudah berani mengeluarkan kata-kata. Bisa-bisa bersarang sepatuku di mulutnya.”

“Itu artinya dia bersikap apa adanya, Wan, tidak munafik, tidak berpura-pura.”

“Tidak suka berpura-pura atau tidak punya etika?”

“Kau harus juga melihat dari sudut pandangnya; Mungkin dia tak sengaja kentut karena masuk angin dan sudah menahan-nahan sejak dari tempat kerja, coba kaubayangkan betapa tersiksanya menahan-nahan kentut sampai sakit perut. Terus dia kasar kepada anak kecil katamu; kalau anak kecil itu memang nakal kurang ajar bikin kesal bagaimana? Tentang angkek-angkek stang, ini zaman emansipasi, Bro, laki-laki dan perempuan sudah setara, kau tak bisa otoriter padanya, mengatur ini-itu dan dia harus patuh. Tentu dia melawan.”

“Ah! Pokoknya aku tidak suka. Satu lagi, dia pernah dilarikan orang halus!”

“Dilarikan orang halus?”

“Waktu SD dia pernah hilang dari rumah dan dua hari kemudian ditemukan di rumpun bambu dekat kuburan. Katanya, dia juga sering kesurupan. Artinya, ada yang tidak beres dalam dirinya.”

***

Tanpena melempar kulit kacang. “Alasannya terlalu dicari-cari. Tak ada orang yang sempurna. Harusnya kekurangan-kekurangan itu diperbaiki bersama. Itulah gunanya manusia diciptakan berpasang-pasangan agar saling melengkapi.”

“Tapi mau bagaimana lagi, Wantenga sudah memutuskan untuk tidak jadi menikahi Siti Garaso. Kita bisa apa?” tukas Jangkisuik. “Atau kau mau menggantikan Wantenga?”

“Menggantikan untuk menikahi Siti? Owayai, memangnya tak ada lagi perempuan lain sehingga aku harus menikah dengan Siti Garaso?”

“Hahaha! Masalahnya apa? Dia ‘kan cantik dan belum jadi istri orang.”

“Bukan itu..”

“Masalah kekurangan dia tadi? E, cimporong! Bukannya kau bilang tak ada manusia yang sempurna?”

“Aku belum siap untuk menikah. Pekerjaanku belum jelas. Penghasilanku belum tentu.” Tanpena meringis. “Soal tujuh keburukan Siti yang tidak bisa diterima Wantenga tadi, kalau bagiku pribadi masih bisa kompromi. Setahuku Siti itu baik. Eh, bukannya baru enam?”

“Benar kau mau kompromi?”

“Bila aku sudah siap untuk menikah, ya mengapa tidak.”

“Kau mau menerima apa adanya? Kasihan keluarganya, undangan sudah disebar…”

Tanpena mengangkat bahu sambil menaikkan alis. “Mungkin.”

“Alasan ketujuh Wantenga tidak jadi menikahi Siti Garaso adalah karena gendang sudah pecah.”[]

 

Padang—Solok, 2018

Ragdi F. Daye berasal dari Solok, Sumatera Barat. Buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu (2010) dan Rumah yang Menggigil (2016).

cerpen ini telah dimuat koran Singgalang edisi Minggu, 29 April 2018 (http://eroseutica.blogspot.co.id/2018/05/tujuh-alasan-wantenga-tidak-jadi.html