by Ragd!@RagdiFDaye
Apakah kebahagiaanku membuatmu tidak bahagia? (Agni)
Kamu murung sekali. Lebih banyak diam dan melamun daripada tertawa riang seperti biasa. Canda yang kulontarkan menjadi tidak lucu karena hanya aku yang tertawa sendiri. Sajian bebek bengil yang crispy di depan kita nyaris tak kausentuh, padahal biasanya kita selalu berebut untuk menjadi yang pertama menikmati daging tipis yang melekat di tulang sayap yang renyah.
“Aku tak akan berubah, Zach. Aku
akan tetap jadi temanmu. Kita akan tetap seperti biasa.” Kulayangkan pandang ke lampu-lampu hias di
dekat pantai. Cahaya lembut berlatar laut yang berkilau. Suara empasan ombak
seperti alunan musik. Semilir angin beraroma wangi kamboja, asin laut,
rempah-rempah, dan eternity-mu. Malam
yang sangat indah, bukan?
Aku telah pamit pada Krishna
untuk bersamamu malam ini. Malam perpisahan kita. Setelah pernikahan kami Sabtu
depan, Krish akan membawaku ke Darwin, dan mungkin kita tak akan bertemu lagi
hingga waktu yang lama. Tapi kita akan tetap bisa bertukar kabar lewat telepon
dan skype. Tak ada yang perlu
dicemaskan. Hubungan kita akan baik-baik saja. Sahabat selamanya. Meski aku
telah berstatus istri orang, aku akan tetap menjadi sahabatmu yang setia.
Atau, atau adakah sesuatu yang
lain? Suatu perasaan asing yang kadang menyusup tanpa sengaja ke dalam hati
orang yang telah kita anggap sebagai saudara, misalnya?
“Apakah… Apakah kamu keberatan
dengan, ehm, dengan pernikahanku ini, Zach?” tanyaku gugup. Aku benar-benar takut cerita drama itu terjadi di
antara kita: kamu diam-diam mencintaiku!
Kamu tertawa kecil membuat dadaku
berdebar. Kupandangi wajahmu. Malam ini kamu begitu tampan, tapi sangat rapuh.
Hatiku menjadi berat untuk meninggalkamu.
“Aku senang. Percayalah.” Kau
meneguk kopi hitammu. “Aku turut bahagia, tentu saja.”
“Tapi wajahmu tidak mengatakan
itu. Kamu sedih.” Kusentuh tanganmu. Jari-jarimu terasa tegang. Kamu tidak
sedang baik-baik saja.
“Aku gembira, Agni. Aku bahagia
temanku akan membuka hidup baru. Tak ada yang patut kusedihkan, kecuali sedikit
melankoli bahwa aku tak akan bisa lagi mengajakmu menemaniku seperti ini.”
“Tentu saja bisa. Krish telah
berjanji untuk tidak membatasiku. Terutama untuk selalu menjadi sahabatmu. Kita
sudah lama berteman, Zach, dan pernikahan ini tak akan mengakhirinya.”
“Yeah, benar. Aku percaya.” Kamu
tersenyum. Namun aku dapat merasakan ada sesuatu yang kausembunyikan.
“Jujur saja, Zach, apabila ada
yang mengganggu di hatimu. Katakanlah. Walaupun pahit aku akan dengar, termasuk
jika kaukatakan bahwa Krishna bukan orang yang tepat untukku.”
“Tidak. Tidak, Agni.” Kamu
cepat-cepat menggenggam tanganku dan mendekatkan wajah ke depanku. Kamu
berbisik, “Krishna adalah yang terbaik daripada semua yang pernah yang
kautunjukkan kepadaku. Aku dapat melihat tulusnya dia mencintaimu.”
Lalu apa? Bila Krishna adalah
pria yang tepat untuk kutumpangkan hidup, kau tak perlu mengkhawatirkan aku,
bukan? Dia tak akan mengkhianatiku seperti para pendusta yang dulu.
“Terus apa yang membuatmu
bersedih?”
Kamu menarik napas berat. “Dad
mengajakku pindah ke Inggris.”
***
Bukankah
bila dia bahagia aku juga bahagia? (Zach)
Dad membawaku berlibur ke pulau ini.
Meninggalkan Bekasi selama lima hari. “Kamu penat. Kamu butuh liburan. Tutuplah
toko bukumu untuk sementara. Kita ke Bali.” kata Dad membangunkanku tiga hari
lalu. “Mandinya di hotel saja nanti, kita check
in pukul 06.00.”
Aku kaget, tapi Dad tak
membiarkanku ternganga di tempat tidur. Dia menepuk-nepuk pipiku sambil
memperlihatkan selembar kertas bukti transaksi dari sebuah maskapai
penerbangan. Oh, God! Aku berlari ke
kamar mandi sambil terbahak. Ini adalah kelakar Dad yang paling keterlaluan!
Aku sarapan di bandara dan Dad
mengenalkan orang itu padaku: Jen. “Panggil nama saja,” sambutnya manis ketika
aku membalas jabat tangannya. Telapak tangannya terlalu halus. Dad begitu
riang. Aku merasakan ada sesuatu di antara mereka. Pernahkah aku bertemu Jen
sebelumnya? Hmm, aku tidak begitu ingat.
Seperti kata Dad, aku mandi pagi
di bawah siraman shower kamar mandi
hotel yang segar. Aroma shampoo buah-buahan menguar dari rambutku. Tiga kelopak
kamboja warna gading menawarkan kedamaian. Oh, Bali selalu saja bisa membuatku
merasa pindah dari dunia! Sambil membilas rambut, kuperhatikan wajahku di kaca.
Ada raut Dad di situ. “Oh, Dad, terima kasih atas kejutanmu. Aku memang butuh pleasure.” ucapku lirih.
Dad di kamar sebelah. Berdua
dengan Jen. Ada apa di antara mereka? Aku akan menunggu kejutan Dad
selanjutnya. Dengan tidak sabar!
Tidak sampai duabelas jam
menunggu, Dad menjawab semuanya, tersendat-sendat. Saat itu Jen sedang
menikmati atraksi tarian api yang membuatnya terpesona. Aku dan Dad berbicara
serius di meja pojok dekat kolam berair mancur. Aku berusaha tenang meneguk
minumanku sambil pura-pura menikmati suara biduan montok yang melantunkan “Don’t you remember.” Kuntum bunga di
meja kami ikut bergetar oleh suara paraunya.
“Dad dan Jen tidak cuma
berteman,” terang orang tua tunggalku itu. “Kami menjalin hubungan…”
Hatiku terasa dicucuk dengan besi
panas. Ngilu. Akhirnya aku harus mendengar semua itu. Di sini. Di tanah yang
jauh dan asing. Semua praduga itu benar.
“Kamu sudah dewasa, Zach. Dad
yakin kamu bisa menerima.”
Aku diam sambil memutar-mutar
gelang-gelang es kristal di dalam gelas. Lalu?
“Sudah lama aku merahasiakannya
kepada siapapun. Ini sangat berat dan melelahkan. Aku tak kuat lagi. Aku harus
membukanya. Dan kamulah orang pertama yang kuberi tahu karena kamu adalah
anakku.”
“Dad menyakitiku!”
“Maafkan aku, Nak. Kamu sudah 23 tahun
dan dewasa.” Dia menyentuh lenganku.
Tiba-tiba aku merasa jijik dan
membencinya.
Di saat itulah teleponmu masuk
dan kamu langsung mencerocos, “Zach, kamu di Bali, ya? Kok nggak ngasih kabar?
Kan resepsiku juga di sini. Aku senang banget nih! Akhirnya kamu bisa hadir.
Hari Sabtu ya, Zach.. Kamu nginap di mana….”
Senyum Dad masih mengembang di
depanku begitu pembicaraan selesai.
“Dad yakin kamu bisa bersikap
bijak,” katanya ketika aku keluar dari De Opera dan termenung lama di bibir
pantai.
Sewaktu aku berdiri untuk pergi,
tadi, gelas minuman Dad tersenggol sikuku. Jatuh. Pecah. Seperti hatiku. Haruskah aku berkorban demi cintamu, Dad?
***
Apa
yang sesungguhnya kita pahami tentang kebahagiaan? (Eldan)
“Barangkali ini memang tidak adil
untuknya,” katamu ketika pemuda itu pergi dengan marah setelah aku menceritakan
semuanya. “Kita bisa mendiskusikannya lagi.”
“Tidak!” sahutku cepat. “Ini
hanya sebentar. Nanti-nanti dia juga akan terbiasa. Lagipula aku sudah mantap.”
Kau menatapku lurus. Matamu begitu
bening seperti telaga surga. Aku tak akan pernah bosan untuk melabuhkan pandang
di sana. Rasanya aku telah sangat lama mengenalmu, seolah jiwa kita sudah
dipasangkan sebelum raga ini ada.
“Kau sudah benar-benar siap
dengan risikonya?”
“Jangan tanyakan itu lagi. Aku
telah belajar banyak. Termasuk belajar untuk menjadi orang terbuang. Asal kau
selalu ada bersamaku.”
“Oh, kau selalu pintar bicara.
Bagaimana kalau dia tidak mau ikut bersama kita? Apakah kau tega
meninggalkannya?” kau mengambil tangan kananku, mengelus telapaknya dengan
ujung telunjukmu. Hatiku berdesir-desir. Geli. Hangat.
“Ah.” Apakah aku harus selalu
membawa Masa Lalu itu ke mana-mana? Dia hanya pengingat pada seseorang yang
pernah kunikahi tanpa cinta. Sekadar penyelamat status. Bukankah sudah saatnya
aku melepaskannya?
“Apakah kau akan meninggalkan
anakmu demi aku?”
Kurangkul bahumu. Kudekap dengan lengan
lelahku. “Ya. Dia bagian dari masa lalu yang ingin kulupakan. Aku sudah bersiap
untuk hidup baru. Denganmu.”
“El, tiba-tiba aku merasa
bersalah.” Kau merenggangkan tubuhmu dariku. Merapikan kemejamu yang sedikit
kusut. “Aku tak membayangkan skenarionya akan seperti ini. Aku jadi perusak
hubungan ayah dengan anak. Oh, Eldan! Aku tak sampai hati menyakiti Zach.” Kau
menyapu rambut legammu dengan tangan. Tampak risau.
“Zach akan baik-baik saja! Dia
sudah besar, bukan anak SMA lagi. Dia juga sudah punya usaha. Jika dia tidak
mau ikut, aku masih bisa mengirimi dia uang setiap bulan. Tak ada yang perlu
dikhawatirnya, Jen. Semuanya akan baik-baik saja. Kita akan menikmati hidup
kita.”
“Aku tak bisa melupakan tatapan
mata terlukanya tadi. Aku sungguh merasa bersalah.”
“Jangan diperumit…”
“Aku tak memperumit!” Suaramu
meninggi. “Aku hanya ingin kamu ingat ceritaku dulu. Aku sampai begini karena
ayahku menelantarkan aku. Tidak mempedulikan aku hingga aku mendapat figur pengganti
pada teman kerjanya yang selalu datang mengantarkan segala
bingkisan-uang-pakaian-kendaraan dari ayahku yang tak lebih kuinginkan daripada
kehadirannya di rumah! Aku adalah korban. Aku tak mau Zach nantinya akan
menjadi korban serupa gara-gara aku merebutmu darinya!”
“Jen, kita bisa mengatur
semuanya…”
“Oh, tidak! Aku telah menjadi
pembuat masalah di sini…”
Mengapa ini jadi kacau? Padahal
aku sudah mencari momen yang tepat. Kusentuh lututmu untuk menenangkan. Biasanya kau
akan menaruh tanganmu di atas tanganku kemudian tangan kita saling menggenggam.
Kali ini kau menepis dan menggeser kursimu sedikit menjarak dariku.
“Aku perlu udara segar…” Kau
bangkit lalu pergi meninggalkanku yang terhenyak di kursi.
“Perlu tambah minum, Mister?”
seorang pelayan datang mendekatiku.
Aku menggeleng dengan frustasi.
Tinggal di apartemen dekat Sungai Medway, Kota Maidstone sepertinya akan
menjadi rencana paling tidak rasional lagi tahun ini!
***
Letter of Happiness (Agni)
“Aku telah menyiapkan sepucuk surat
untuknya,” ucap Zach sambil mengeluarkan sebuah amplop coklat tua dari tas iPad-nya. “Coba kamu baca dulu. Siapa
tahu tidak pantas.”
“Baiklah,” ujarku sembari menerima
kertas itu. “Surat memang dapat menggantikan lidah yang tidak bisa diajak
bekerja sama. It’s okay!”
Malam menanjak menuju puncak. Tadi saat
berangkat, aku berpesan kepada Krishna untuk menjemput pukul sebelas.
Sepertinya aku perlu minta tambahan waktu. Demi Zach, sahabat yang selama ini
selalu membuatku merasa bahagia.
“Sayang, jemput aku setengah jam
lagi, ya. Jangan sekarang. Perpisahan kami agak sedikit berat. Empat jam masih
belum cukup.” Bisikku pada Krish yang menelepon tepat sebelum aku mulai membaca
surat Zach. Surat yang ditulis di lembar notes yang disediakan hotel.
Dad,
aku tidak tahu bagaimana memulainya. Pertama, kuucapkan terima kasih atas
kejutanmu. The Bay Bali memang luar biasa. Kupikir lima hari di sini tidak akan
cukup. Aku ingin datang lagi ke sini. Tentu dengan suasana yang berbeda, tidak
seperti ini.
Kejutan
ini sangat memukulku. Aku terombang-ambing oleh rasa senang sekaligus nyeri.
Aku senang melihat rona bahagia di wajahmu yang selama ini sepi. Aku melihat pancaran
semangat hidup lagi. Dad tidak akan lagi sendiri. Tapi dadaku juga nyeri.
Bukankah ini salah? Ini menentang kodrat. Pasangan seorang lelaki adalah
perempuan, bukan sesama lelaki. Aku mengerti mengapa Dad mengungkapkannya di
sini, di Bali. Di sini manusia memang bebas melakukan apa pun sesuai kata
hatinya. Namun, memberiku seorang ibu yang berjenis sama denganku terlalu
ganjil, bukan?
Dad
terlalu kejam memintaku menerima hubungan kalian. Aku tak akan sanggup. Aku
lebih senang seperti ini, menjadi anak yang ibunya ada di negeri antah berantah
daripada menjadi anak sepasang lelaki.
Ini
adalah isi hatiku, Dad. Apakah akan mengubah keputusanmu, atau tidak, terserah.
Setiap orang bebas mengikuti suara hatinya. Termasuk jika Dad tetap memilih pindah
ke negeri itu agar dapat menikahinya.
Aku
memilih untuk tetap di sini, sebagai anak kandung dari sepi.
“Apa aku terlalu kasar?” Zach
menatapku lekat-lekat begitu aku selesai membaca. Matanya tampak berkaca-kaca.
“Dad telah menyiapkan segalanya. Mereka akan ke London lusa. Bersama atau
tanpa aku.” Zach mulai tergugu di depanku. Dia tidak cengeng. Dia hanya
terpuruk, terluka, dan kacau oleh kenyataan yang begitu buruk. Ayahnya terlalu
kejam dan tidak manusiawi dengan rencana gila itu!
“Suratmu terlalu sopan, Zach!” Aku
meradang. “Harusnya kamu caci maki dia. Itu perbuatan setan!”
“Aku tidak sanggup, Agni. Dad
adalah orang yang paling berharga dalam hidupku selain kamu. Aku sangat
menyayanginya. Aku tidak ingin merusak kebahagiaannya.”
“Tapi itu gila! Perbuatan mereka
terkutuk.”
“Inggris telah membolehkannya.”
“Tapi tetap saja itu tidak boleh.
Kamu harus mencegahnya, Zach! Aku akan merombak suratmu agar lebih tegas.
Mereka harus dihentikan!” jeritku.
Zach diam. Hening. Lama. Kemudian
dia menarik napas. “Tidak usah, Agni. Aku telah berubah pikiran. Surat itu
tidak akan kuserahkan pada Dad.” Dia mengambil kertas di tanganku.
“Kamu akan ikut bersama mereka?!”
selidikku tidak rela.
“Tidak.” Zach meraih botol legam
di dekat kandil lilin merah. Menumpahkan isinya ke tanah pasir. “Ini suara
hatiku. Tapi Dad tidak harus tahu sekarang. Mungkin suatu saat nanti ketika dia
balik ke pantai ini.” Surat itu digulungnya dan dia masukkan ke dalam botol.
“Kau akan melarungkannya ke
laut?” tanyaku linglung.
Dia menggeleng lantas bangkit
dari kursi. “Sepertinya aku akan ke Lombok setelah resepsimu. Aku punya seorang
teman di Senggigi. Mungkin aku bisa buka toko buku dan asesoris di sana.”
Pundaknya agak layu. “Temani aku, Agni.”
Buru-buru aku mengikutinya
berjalan menuju ruangan manajer restoran. Kugenggam tangannya untuk berbagi
ketabahan. Tangannya sangat dingin.
Botol itu lalu diserahkannya
kepada sang manajer yang selalu tersenyum ramah.
“Bisakah Anda menyimpan botol ini
untuk saya?” tanyanya dengan suara serak.
“Oh, tentu.” Perempuan itu
menerima botol pemberian Zach dengan gerakan khidmat, seolah sedang menyambut
sesuatu yang sangat berharga. “Saya akan menaruhnya di lemari pajangan khusus yang
kami namai Galeri Cindrahati. Isinya aneka barang kenang-kenangan pengunjung
restoran ini. Sebagian besar souvenir patah hati. Kalau boleh saya tahu, apakah
isi di dalamnya?”
Zach mengerjapkan mata, “Selembar
cinta untuk ayahku.”[]
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali (www.thebaybali.com) & Get discovered!