Catatan
Kecil atas buku “Berdiri di Persimpangan Jalan” karya Musriati
oleh Ragdi F. Daye
Sebuah karya tak
lepas dari duka cita penulisnya
dan memiliki
nasibnya sendiri.
Semangat
Menulis pada Usia Senja
Usia bukan penghalang untuk
menulis, penyair Rusli Marzuki Saria tetap menulis puisi dan menerbitkan buku pada usia delapan puluhan. “Menulis
dapat mencegah kepikunan,” begitu katanya. Masih banyak penulis berusia lanjut
lainnya, yang terus menulis pada usia senja, seperti Sapardi Djoko Damono, Budi
Darma, dan NH Dini.
Begitu pula dengan Ibu Musriati,
penulis berusia 79 tahun yang bukunya akan kita bicarakan ini. Ibu Mus berasal
dari Mungka, Payakumbuh. Setelah pensiun sebagai guru tahun 1955, beliau aktif
dalam kegiatan kesenian di Kabupaten Lima Puluh Kota hingga tahun 2016. Beliau
berhenti beraktivitas karena dilarang oleh keluarga, yang membuatnya kembali
tekun menulis. Sejak ‘dipingit di rumah’ itulah, ada empat novel yang berhasil
ditulisnya dengan mesin tik: Berdiri di
Persimpangan (Desember 2016), Dendam
Seorang Dara (Januari 2017), Tabir
Kasih Sayang (Februari 2017), dan Mama(Maret
2017). Keempatnya ditulis dengan mesin tik karena Bu Mus belum bisa menggunakan
komputer.
Bu Musriati tidak secara
tiba-tiba mampu menulis. Semasa gadis, beliau sudah biasa menulis cerpen dan
naskah drama. Bakat itu pun menurun pada putranya, Mahdi Syahputra, yang
terkenal sebagai penulis cerpen di Harian Haluan. Ketika Mahdi sakit tahun
1988, Bu Mus menggantikan anaknya menulis cerita bersambung hingga tahun 1992
dengan tetap menggunakan nama anaknya. Istilah sekarang menjadi ghostwriter.
Sedikit membandingkan Bu Mus, Ayah
saya berusia 78 tahun, ketika saya pulang ke rumah beberapa tahun lalu, beliau
meminta saya membelikan buku double folio
isi seratus lembar. Katanya untuk menulis cerita-cerita sejarah negeri yang
sering beliau ulang-ulang. Saya senang karena banyak kisah sejarah yang tidak
saya tahu. Begitu saya belikan, Ayah menyuruh, “Simak baik-baik, lalu tuliskan!”
Lho, jadi saya yang harus menulis? Saya menolak karena tak akan punya cukup
waktu untuk menyimak dan menyalin cerita sebab saya pulang kampung biasanya
untuk berlibur dan tidur. “Bukunya saya tinggal. Ayah tulis saja apa yang
terasa atau terlintas di kepala. Nanti saya koreksi. Ditik, kalau bagus nanti
diterbitkan.” Saya kembalikan buku beserta pena kepada Ayah. Bulan berikutnya
ketika saya pulang kampung lagi, buku sebesar catatan utang piutang itu berisi
tidak sampai satu halaman ditulisi tulisan tangan Ayah yang bagus. Menulis
memang tidak semudah bicara bagi orang yang lebih suka maota (mengobrol)!
Lalu bagaimana dengan Bu
Musriati? Tentu saja kita harus angkat topi. Salut! Bertolak belakang dengan
sebagian kita yang masih muda, sering bicara ingin jadi penulis terkenal, namun
belum juga mau berkarya. Belum juga mau mencoba menulis satu halaman demi satu
halaman. Cuma bermimpi tanpa kerja keras. Bila ingin menjadi penulis, ya
segeralah tuliskan idemu seperti yang dilakukan Bu Musriati,
tak peduli berapa pun usiamu!
Kisah
Cinta Terpisah Jarak
Bagi penggemar novel dengan
teknik narasi canggih yang menyuguhkan suspense
dan twist mengejutkan, Berdiri di Persimpangan Jalan (BdPJ)
barangkali terasa tawar. Cerita mengalir seperti kisah klasik yang diungkap
dengan untaian bahasa yang apik.
Romantika kehidupan tokoh-tokohnya akan membuat pembaca yang melankolis
menitikkan air mata. Ada kisah kasih tak sampai yang dapat mengaduk-aduk
perasaan.
Dikisahkan sepasang muda-mudi kampung
Malalo di tepi Danau Singkarak, Aida dan Isral, yang tengah menjalin cinta
harus berpisah karena ayah Aida yang bekerja sebagai pegawai Kantor Pos
dipindahkan ke Balikpapan. Sebelum berpisah, Aida memberikan seuntai kalung kepada Isral, kalung
pemberian neneknya sepulang menunaikan
ibadah haji. Kalung itu ada sepasang, satu dibawa Aida, satu lagi yang
ditinggalkan untuk Isral sebagai penanda ikatan cinta mereka. Aida mengatakan,
bila kalung itu rusak atau putus, berarti hubungan mereka akan demikian juga.
Perpisahan tanpa kepastian kapan
akan bertemu lagi seperti digantung tak bertali. Itulah yang terjadi. Aida ragu
dengan kelanjutan hubungannya dengan Isral. Isral yang mengaku cinta mati pada
Aida pun
tak dapat terus menerus menentang kehendak orang tua agar dia segera beristri.
Kedua sejoli itu berada di persimpangan
jalan: antara setia pada janji atau bersikap realistis menghadapi kenyataan.
“Jalan ini sudah bersimpang, Bang
Is. Aku berada di persimpangan itu. Ke mana aku akan pergi? Entahlah, Bang.
Pulang kampung menemui Bang Is, entah kapan waktunya. Akan kutambatkan hati
untuk pemuda itu? Entahlah, Bang.” (hal.57) Keluh Aida setelah bertemu dengan
seorang pemuda baik hati yang tertarik kepadanya.
Ketika kita sedang berada di
persimpangan jalan, pilihan yang benar akan mendatangkan rasa syukur dan
sebaliknya, pilihan keliru akan berujung pada penyesalan yang menyakitkan.
Perhitungan yang matang sangat diperlukan sebelum membuat keputusan.
Pada akhirnya, Aida memilih untuk
menerima Bambang dan mengingkari janji kepada Isral: “Bukankah sudah kukatakan berulang kali, kalau
Singkarak masih berair berarti aku masih setia.” (hal. 9). Campur tangan orang tuanya yang
ingin Aida melupakan Isral ikut berperan dalam peristiwa ini. Ibu Aida lebih
suka Bambang dengan harapan kehidupan Aida akan lebih mapan. Ayah
Aida secara sengaja tidak menyampaikan surat Aida kepada Isral maupun surat
Isral kepada Aida. Gadis campuran Minang-Jawa itu pun menikah dan tinggal di rumah
keluarga Bambang yang kaya raya di kota Malang. Di situlah Aida menjadi galau
sebab dia seolah menjadi burung di dalam sangkar emas, bergelimang kemewahan
namun jiwa terpenjara.
Sementara, nun jauh di tepi Danau Singkarak,
Isral telah kehilangan gairah hidup membuat orang tuanya khawatir. Dia tak mau
menikah. Sepanjang hari hanya memikirkan Aida. Tak ada perempuan lain yang bisa
membuka hatinya. Hingga kemudian Isral bertemu Linda, seorang bidan desa yang
tak pernah terlihat olehnya, namun Linda telah bertunangan, akibatnya mereka
mengatur cara agar diizinkan menikah. Di Malang, Aida yang menderita akhirnya
meninggal dunia sewaktu melahirkan seorang anak perempuan yang dinamai Wati.
Cerita bergerak cepat dan ringkas. Bambang menikah lagi dengan perempuan
bernama Wiwik lalu mendapat dua orang anak. Wati menjadi dewasa, mendapatkan
warisan dari kakeknya, lalu dia menikah dengan seorang laki-laki dari
Bukittinggi bernama Anton. Di dalam sebuah kasus hukum, Anton pergi ke Padang mengikuti
persidangan gugatan tanah. Lalu bertemulah semuanya: Wati anak almarhumah Aida
dan Isral bersama anak perempuannya, Silvi.
Keunikan
Budaya Minangkabau
Tema cerita dari zaman ke zaman
akan berulang itu ke itu juga, tentang pengorbanan, cinta, persahabatan,
pengkhianatan, perjuangan untuk mendapatkan pendidikan, konflik anak dengan
orang tua, dendam, kasih tak sampai, dan lainnya. Yang membedakan cerita-cerita
bertema serupa itu adalah pengemasannya, tokoh, latar, dan alur peristiwa yang
menjadi wadah penyampaian cerita tersebut. Tema yang klise pun dapat menjadi
cerita yang menarik apabila penulis mampu mengolahnya menjadi sesuatu yang
terasa baru; dapat dengan mengubah sudut pandang cerita atau mencoba memberikan
alternatif peristiwa yang berbeda daripada cerita yang
pernah ada sebelumnya.
Tema kasih tak sampai juga pernah
muncul dalam roman Siti Nurbaya karya
Marah Rusli, yang dibungkus dengan persoalan adat Minangkabau dan perjuangan
melawan penjajahan Belanda. Hal itulah yang memberi bobot lebih cerita
tersebut.
Di dalam BdPJ, kisah cinta Aida dan
Isral juga diberi bungkus tradisi Minangkabau. Hal ini terlihat pada munculnya
idiom-idiom Minangkabau di dalam narasi serta sejumlah kebiasaan yang hidup
di tengah masyarakat
Minangkabau. Misalnya:
“Badantuang
guruah durani/ Puti bajuntai ateh paneh./ Kalau untuang ka dek kami, / gajah
barantai mungkin lapeh.” Ungkapan
ini merupakan tanggapan mamak Isral
setelah dia menyampaikan maksud untuk menikahi Linda yang telah menjadi
tunangan orang. Makna ungkapan itu adalah apabila rezeki hal yang tak mungkin
pun dapat terjadi.
Sumbang
nan duo baleh; Bambang
mencium dahi Aida, “Bersamaan dengan mendaratnya ciuman itu, kalung di leher
Aida putus dan jatuh di pangkuannya. Aida kaget, air mata menetes di pipi.”
(hal. 64) Isral sangat merindukan Aida, namun ia gelisah karena kalungnya telah
putus. Ia takut ucapan Aida ketika perpisahan dulu benar-benar terjadi. Jika
kalung itu putus, maka putuslah hubungan mereka.” (hal. 65)
“Sumbang nan duo baleh” adalah peraturan tidak tertulis dalam adat Minang yang
berisi tentang tata krama dan nilai sopan santun, mencakup dua belas ketentuan
dan larangan yang mesti ditaati perempuan Minang; jika dilanggar yang mendapat
malu tidak hanya yang bersangkutan namun juga keluarganya. Salah satunya adalah
sumbang bagaua (tidak patut dalam
bergaul), yakni bergaul terlalu dekat dengan laki-laki yang bukan muhrim,
terlebih berdua-duaan melakukan hal yang terlarang.
Di dalam
masyarakat Minang, dikenal istilah malakok
yaitu pemberian suku kepada orang luar Minang yang ingin menjadi orang
Minang, seperti urang sumando dari luar Minang, pendatang yang sudah lama
menetap di daerah Minang, atau anak yang lahir tak bersuku karena ibunya bukan
orang Minang. Adat malakok ini
memiliki persyaratan yang cukup berat agar si anak dapat menumpang ke suku
ayahnya, bisa dengan memberikan upeti emas, bisa juga dengan menyemblih kerbau
untuk makan bersama orang senagari. Di dalam BdPJ, ayah Aida, Kusno, malakok ke suku Caniago.
Di buku ini
juga disinggung tradisi membawa makanan ke keluarga calon pengantin yang
mempunyai makna tertentu. “Itu
ketiding atau keranjang yang penuh berisi nasi. Nantinya, nasi itu kita makan
bersama. Ketiding kita isi kembali dengan beras. Hal itu sebagai symbol bahwa
kita memakai timbal balik. Ada lagi singgang ayam, ayam gulai yang kuahnya
sedikit, tidak dipotong dan tidak dicampur dengan apa pu njuga. Saat mereka
pulang nanti, ayam itu kita ambil tiga perempat dan mereka bawa kembali
seperempat. Hal ini sebagai symbol bahwa mereka berkehendak meminta anak kita
menjadi milik mereka seutuhnya. Sementara itu, pengembalian seperempat ayam
sebagai symbol bahwa si lelaki tetap dalam kuasa saudaranya walaupun hanya
seperempatnya. Ada lagi talam penjemput. Semua isinya disalin seperempat. Hal
ini sebagai simbol
kalau pencarian si lelaki nanti berlebih dari kebutuhan istri dan anak-anak, ia
harus memberikan kepada saudara, terutama kepada kemenakan atau anak-anak dari
saudara perempuannya. Begitulah
kira-kira.” (hal. 82-83)
Ada lagi
petuah-petuah yang mengandung filosofi hidup:
“Mak Datuk berkata tegas, ‘Ya,
begitu kalau laki-laki, Buyung. Benang terentang dalam tenun, perlu disudahi
hingga menjadi kain yang bagus. Ingatkah kau cerita Cindua
Mato menjemput
tunangan Dang Tuanku untuk dibawa ke rumah si Bundo Kanduang? Bundo Kanduang
bicara, “Barangkeklah, oi Buyuang, si Cindua Mato. Japuik tabao tunangan Tuan
ang. Kalau manjapuik tak tabao, waang manjadi ayam gadang, dadak mananti di
tampuruang.” Begitu kalau kau benar-benar laki-laki, Buyung.” (hal. 104)
“Ada baiknya adat dipakai,
limbago dituang, hilang
kita cari, hanyut kita pintas.” (hal.115)
Buku
terbitan Erka setebal 187 halaman ini
layak diapresiasi. Tidak mudah menulis novel dengan alur yang berkelok-kelok
dan panjang, namun Bu Musriati yang sudah berusia menjelang delapan puluh tahun
mampu menulisnya dengan apik. Lengkap dengan pemilihan tokoh cerita yang cukup
banyak, latar yang mengambil beberapa daerah di Indonesia, dan jalinan cerita
yang dramatis. Barangkali akan mengingatkan kita pada cerita rabab semalam
suntuk. Buku ini layak untuk memperkaya koleksi perpustakaan.
Bila harus
disampaikan juga kekurangannya (inilah tugas berat bagi saya yang penyegan ini),
inilah ia: yang paling terasa adalah jalan cerita yang tergesa. Penulis lebih fokus pada lika-liku alur sehingga
cerita jadi terkesan terburu-buru tanpa eksplorasi lebih dalam terhadap
karakter tokoh dan peristiwa. Seperti sinopsis. Mungkin penulis lelah. Deskripsi
latar juga belum maksimal. Pada saat awal membaca dan menemukan setting Danau Singkarak, saya langsung
terpikat, “Wow, Singkarak!” sebab Danau Singkarak adalah tempat yang sangat
indah dan kebetulan sering saya kunjungi. “Singkarak nan badangkang”, ungkapan
itu terngiang-nginang. Namun ternyata Singkarak hanya sekadar dijadikan tempat
berpijak tokoh cerita, belum dieksplore secara mendalam persoalan geografis
maupun kulturalnya, padahal Singkarak punya banyak cerita yang menggoda untuk
diolah, seperti ikan endemiknya (bilih), makanannya (pangek sasau, pensi,
rinuak), misterinya (konon dasar danau tak terukur, bila ada kendaraan jatuh
akan sulit untuk ditemukan lagi), dan lain-lain.
Contohnya
bagian yang mengisahkan Aida meninggal. Begitu singkat. Diawali dengan orang
tua Aida yang berkunjung ke Malang untuk membezuknya. Lalu dalam beberapa
paragraf, tokoh utaman cerita dimatikan: “Kusno
mendekap Aida dengan raungan panjang. Tak peduli semua mata tertuju kepadanya.
Aida diam, tapi semua mata tertuju kepadanya. Aida diam, tapi tetap menggenggam
tangan kedua orang tuanya. Antara terdengar dengan tiada Aida berkata pelan
sekali, ‘Bacakan aku surat yasin, Ma.’ Suci menuruti pinta anaknya dan
berdengunglah ayat-ayat suci di ruangan rumah sakit itu. Suara Suci sangat
merdu dalam pendengaran Aida. Ia sekali lagi memberikan senyuman. Kusno mengira
anaknya ada angsuran, tapi kenyataannya lain. Mata Aida yang tadinya terbuka,
kini secara pelan tertutup. Tertutup untuk tidak akan terbuka lagi.” (hal. 120)
Tidak digambarkan bagaimana Aida menanggung sakit batin yang merambat sampai ke
badan. Teknik bercerita “Show, don’t tell!” seolah tidak berlaku di novel ini.
Hanya dengan cerita yang dituturkan pengarang, pembaca sudah mendapatkan
kepiluan nasib para tokohnya.
Selanjutnya
eksplorasi tokoh juga belum maksimal. Barangkali disebabkan cerita yang
mengalir deras dengan cepat, penggambaran dan pengembangan karakter belum kuat,
kecuali sebatas narasi pengarang yang mengungkapkan kebagusan fisik tokohnya.
Tokoh antagonis yang biasanya muncul sebagaimana layaknya formula cerita, juga
menanggung hadirnya. Penghambat hubungan Aida dan Isral adalah orang tua Aida.
Eksplorasi yang masih tanggung ini menyebabkan simpati dan empati kepada para
tokoh juga tidak terlalu kuat.
Meski
begitu, saya mencoba memosisikan diri sebagai ‘pendengar’, bila kisah romantika
Aida dan Isral ini dilisankan, mungkin dengan iringan rabab, atau cukup
diceritakan malam-malam sambil batanggang,
pasti akan menarik sekali. Begitu dahsyatnya parasaian mereka. Namun, apabila
saya bersikukuh di posisi pembaca prosa, sementara kenikmatan sebuah prosa terletak
pada narasi yang membangkitkan imajinasi, maka saya perlu menyetel musik untuk teman
menikmatinya.
Sekali lagi
kita sampaikan tahniah kepada Ibu
Musriati yang sudah berhasil dengan pencapaiannya. Semoga suatu hari, novel ini
dialihwahanakan!