Wednesday 13 August 2014

Parese


Cerpen Ragdi F. Daye



            /1/
            Dia tidak mengerti, kenapa air matanya tiba-tiba ingin menitik dan dadanya terasa sesak seakan-akan oksigen dalam kabin mobil itu telah habis. Diusap-diusapnya dada. Ditariknya napas berulang-ulang, namun hatinya masih juga terasa ngilu seperti telah dihantam kehilangan yang benar-benar pilu.
            Dia baru balik dari sekolah anaknya, sebuah Sekolah Dasar Islam Terpadu. Di sekolah anaknya ada pengumpulan sumbangan untuk Palestina, dan anaknya tadi menelepon dengan suara terengah-engah;
            “Ma, tolong antarkan uang ke sekolah, ya. Uang Suci tidak cukup. Suci mau nyumbang tuk Palestina.”
            “Uang jajan Suci kan ada. Pakai itu aja, ya, Sayang.”
            “Eh, itu nggak cukup, Ma. Orang-orang di sana butuh uang banyak. Antarkan ya, Ma. Suci tidak mau jadi anak pelit.”
            Bukannya dia tidak tahu soal perang di tanah yang jauh itu. Di antara acara infotainmen yang ditontonnya, dia juga sempat menyaksikan kilasan-kilasan berita tentang Gaza. Tapi perang ‘kan sudah biasa, kenapa harus ditanggapi serius?
            “Bisa ya, Ma? Suci mohon..”
            Dia pun menemui putrinya dan menyerahkan selembar uang lima puluh ribu. Dengan terharu bocah itu memasukkan ke dalam kotak sumbangan yang dipegang gurunya. Anak-anak lain juga melakukan hal yang sama. Mereka berdoa sampai menangis.
            Dia pergi. Pergi sambil membenahi kerudung hitam yang selalu tersedia di mobilnya. Kerudung yang akan dia kenakan setiap berurusan dengan sekolah anaknya. Di bibirnya masih terkembang senyum kaku.
            Bagaimana anak itu bisa demikian pedulinya?
            Sedang dia?
            Ooooough...! Kenapa dia tidak punya rasa simpati pada orang-orang yang menderita itu, padahal agamanya sama dengan mereka. Jantungnya rasa tertohok mengingat jemari mungil anaknya memasukkan sumbangan tadi. Mata anaknya begitu tulus. Padahal dia hanyalah anak yang lahir dari sebuah hubungan tidak halal..
            “Seharusnya aku juga membantu!” sesal hati kecilnya.
            Di dompetnya masih ada uang untuk mandi sauna, dia bisa memakainya. Dia juga punya berbagai perhiasan, cincin, gelang, dan anting emas. Dia bisa menyerahkannya.
Tapi... tapi, tadi ‘kan anakku sudah memberi.
Itu kan anakmu!
Apa bedanya? Uangnya juga dariku.
‘Kan cuma lima puluh ribu.
Lima puluh ribu itu uang...!
Pikirannya masih melayang-layang ketika dua buah sepeda motor bertabrakan. Seseorang terlempar ke depan mobilnya, tapi dia tidak bisa menghindar.
Jeritan dan seruan. Lalu di kaca spion dilihatnya seorang perempuan tergeletak di aspal sambil melolong memegang sepasang kakinya yang remuk.
Orang-orang...
Tidak! Dia tak mau berurusan dengan polisi.
Mobil hitamnya berkelebat cepat meninggalkan seruas jalan yang menjadi ramai.

/2/
            Perbatasan itu senyap meski di kejauhan masih terdengar suara ledakan bom sesekali. Dia berjalan di depan dalam kelam. Laki-laki itu mengikuti di belakang. Sebuah anfaq, itu yang akan dia tunjukkan kepada jurnalis dari Indonesia itu. Mereka melangkah tanpa suara di antara batang-batang pohon kurma di ladang yang kering.
Setelah beberapa lama, mereka pun sampai di tempat tujuan. Disibaknya semak-semak dan terlihatlah mulut terowongan itu. Dibuhulnya tambang ke pangkal batang tin lalu meluncur turun ke dalam lubang. “Ayolah!” serunya pada si laki-laki bertubuh sedang yang masih tertegun.
Di langit ada sedikit bercak bintang. Laki-laki itu menggenggam tambang dan menyusulnya. Tapak sepatu laki-laki itu mengenai pundaknya. Dia bergeser di lantai tanah. “Inilah laring itu. Lubang pernapasan yang kecil.”
“Kau memasok barang-barang lewat sini?”
“Ya, begitulah! Butuh waktu berbulan-bulan untuk membangun ini semua.” Diliriknya laki-laki itu yang sedang meraba-raba dinding terowongan. Sesekali senter dinyalakannya. Hidup menjadi kurir memang sangat berisiko, tapi dia dianggap hero.  
“Tidakkah kau dan teman-temanmu risau tanah di atas bakal runtuh?”
“Itu sesuatu yang sangat mungkin terjadi, apalagi Israel masih sering menjatuhkan bom-bomnya. Terowongan ini dapat runtuh kapan saja. Tapi peduli apa? Kalau mati ya, mati juga.”
“Kau pernah terjebak di dalam sini?”
“Dulu pernah sekali. Polisi Mesir meledakkan mulut terowongan, tapi kami berhasil menggali lagi sehingga bisa keluar.”
Udara yang dihirup terasa padat.
“Jadi kita ke ujungnya?”
“Tentu saja.”
“Kalau begitu cepatlah. Kita harus keluar sebelum pukul delapan. Kalau tidak, intel-intel itu akan memergoki kita.”
Dia kembali berjalan. Terowongan itu cukup lapang dengan tinggi sekitar dua meter dan lebar satu meter. Dia pernah beberapa kali menyelundupkan kambing dengan harga 500 pounds. Yang paling sering adalah paket makanan berupa roti dan kacang-kacangan yang nantinya akan diambil oleh orang Palestina di Rafah bagian Gaza. Dari setiap paket itu dia mendapat sekitar 300 pounds yang akan dibagi bersama tim. Sungguh, petualangan yang menerbitkan selera.
“Sayef, kau dan rekan-rekan senegaramu amat mulia dengan melakukan pekerjaan berbahaya ini.”
Dia tercenung mendengar ucapan orang di belakangnya. Jurnalis bernama Satriatmo itu telah bersedia memberinya tips sebesar 25 dolar untuk tour singkat ke terowongan rahasia itu.
Kau tak mengerti. Ini kulakukan karena aku butuh uang untuk makan, untuk hidup keluargaku. Kau bisa lihat bagaimana kehidupan kami orang-orang Rafah di Mesir. Kami tak kalah miskinnya. Tapi orang-orang lebih peduli pada Palestina. Padahal kami juga kacau balau dengan pemerintah yang tak becus..
“Kalau kau terkubur di terowongan ini, kau pun berhak atas gelar syahid.”
Syahid? Tahu apa kau, wahai Orang Indonesia? Ini semua masalah bisnis. Uang! Aku tak peduli soal orang-orang di Gaza itu. Yang penting bagiku adalah ada orang yang memanfaatkan jasaku. Aku dibayar!
“Kau pernah menyelundupkan senjata?”
“Kalashnikov.” Dia mengangkat bahu dengan acuh. “Sudahlah, tak perlu itu dibahas. Kita sudah sampai.”
Mereka tiba di ujung lorong. Di depan mereka menganga sebuah lubang vertikal yang nyaris tak kelihatan. Tak ada orang Palestina yang mengulurkan tali karena menurut kabar yang beredar semua terowongan sudah ditutup.
“Orang-orang itu melemparkan uang. Bila cocok baru barangnya bisa dinaikkan.” jelasnya.
Setelah jurnalis itu merasa cukup puas melihat-lihat, mereka pun berbalik ke pangkal terowongan. Tapi tali yang tadi dia buhul ke batang tin sudah tak ada lagi. Keringat dingin mulai terbit dari pori-pori kulitnya.
“Masya Allah! Bagaimana cara kita keluar?” tanya jurnalis itu panik.
Dia sedang berpikir keras ketika sebuah botol jatuh ke dekat kakinya. Tercium bau gas yang tajam.

/3/
“Makanlah.” Laki-laki tua itu mengembangkan tangan mempersilakan tamunya untuk mencicipi hidangan: roti is dengan cacahan ayam dan tuna yang diberi saos tomat dan paprika.
Perempuan berkulit hitam manis itu tampak sungkan, sedang kedua orang temannya—dua orang laki-laki empat puluhan tahun yang berprofesi sebagai dokter—telah menyantap jamuan sederhana itu.
“Ini terlalu mewah, Syekh.” Perempuan relawan itu tampak berat hati. Matanya beralih ke dinding rumah yang bolong dibobol bom yang memperlihatkan reruntuhan bangunan di tepi jalan.
“Kami orang Palestina selalu memuliakan tamu. Makanlah, atau hatiku akan terluka.” Dia mengucapkan itu sambil tersenyum. “Itu roti racikan istriku, paling enak di Gaza.”
“Terima kasih.” Akhirnya perempuan itu menyentuh roti di depannya, membawa sekerat ke mulut, memakannya. “Alhamdulillah...” ucapnya. Perutnya seketika bereaksi, mengingatkannya bahwa dia belum makan dari pagi karena terlalu sibuk menyalurkan sumbangan ke berbagai pihak yang telah jadi korban keganasan Israel.
“Aku sangat bangga dengan saudara-saudara di Indonesia. Meski jauh, tapi kalian begitu peduli menantang maut mengantarkan bantuan untuk kami ke mari.”
“Insya Allah, Syekh. Kita sesama muslim bersaudara, bukankah begitu? Kami turut merasakan penderitaan saudara-saudara di sini. Hanya sedikit inilah bantuan yang bisa kami berikan.”
Rombongan kecil itu kemudian pamit karena harus menyelesaikan misi mereka. Untuk Sekolah Tahfidzul Quran yang dibinanya, tim relawan itu meninggalkan sumbangan sebesar 50.000 euro.
Dia mengantar tamu-tamunya ke pintu. Tak hentinya dia mengucapkan syukur atas ikatan ukhuwah yang demikian kuat menembus batas-batas.

/4/
Hampir pukul sebelas malam, tapi dia masih tekun memeriksa latihan siswa-siswanya. Dia menugasi mereka menulis puisi tentang Gaza. Tugas yang cukup berat karena sastra hanya mendapat sedikit porsi dalam pelajaran Bahasa Indonesia yang diajarkannya. Rata-rata puisi itu berisi doa untuk Palestina dan kecaman atas Israel. Tetapi puisi yang terakhir itu cukup menusuk hatinya.

Peluru Batu

Di sini, aku hanya seorang pengecut
yang menonton penyemblihan atasmu
lewat televisi, sambil berlagak
menangis tersedu

Badai peluru membantai kemerdekaanmu
mencabik negerimu!

Aku hanya membaca di koran
di antara gosip selebriti
bualan politisi,
dan cerita-cerita korupsi yang basi
(koran itu lalu kubuang ke keranjang sampah
setelah menyeka bekas makananku)

Aku dan saudara-saudaraku bertengkar
tentang cara bersimpati
sebab kami telah biasa berpura-pura

Di sana, kau berjuang dengan batu
melawan gempur peluru
membela Allah dengan darah

Tak pantas aku menangis untukmu
dengan hati bernanah.

Ketika mengguratkan paraf di lembaran kanan bawah buku latihan itu, air matanya tiba-tiba menitik.[]
Padang, 2009

cerpen ini telah diterbitkan dalam buku Gadis Kota Jerash 
dan dipublikasi ulang di koran Metro Andalas





Friday 8 August 2014

Waktu yang Paling Tepat untuk Memikirkanmu adalah Pukul 1 Dini Hari

Ketika aku lebur dalam mimpi dan jaga
Ketika gelap redup telah menyatu dalam penglihatanku
Ketika segala suara telah jadi detak irama
Ketika semuanya jadi mungkin dan indah


Pukul 1 dini hari
adalah waktu yang paling tepat
untuk memikirkanmu


Melepaskan selimut hangat dan menyingkap kain jendela
Semoga kau ada di luar sana
Bermain dalam oranye cahaya malam
Melirik ke mari, ke kamar senyap ini
Masuk dan menari dalam pikiranku

Sebelum aku kembali menyatu dalam mimpi dan jaga
Sebelum sunyi dan puisi menjadi satu helaan napas
Sebelum pagi membangunkanku sebagai makhluk hampa yang sama

Pukul 1 dini hari
Apakah mataku benar-benar terbuka
Apakah telingaku benar-benar menangkap suara

"Cinta, ranumnya ada di rekah bibirku
Petiklah tanpa kata-kata."

Selamat tidur.

Nanggalo, Agustus 2014 | RAGD!