Cerpen Ragdi F. Daye
/1/
Dia tidak mengerti, kenapa air
matanya tiba-tiba ingin menitik dan dadanya terasa sesak seakan-akan oksigen
dalam kabin mobil itu telah habis. Diusap-diusapnya dada. Ditariknya napas
berulang-ulang, namun hatinya masih juga terasa ngilu seperti telah dihantam
kehilangan yang benar-benar pilu.
Dia baru balik dari sekolah anaknya,
sebuah Sekolah Dasar Islam Terpadu. Di sekolah anaknya ada pengumpulan
sumbangan untuk Palestina, dan anaknya tadi menelepon dengan suara
terengah-engah;
“Ma, tolong antarkan uang ke
sekolah, ya. Uang Suci tidak cukup. Suci mau nyumbang tuk Palestina.”
“Uang jajan Suci kan ada. Pakai itu
aja, ya, Sayang.”
“Eh, itu nggak cukup, Ma.
Orang-orang di sana butuh uang banyak. Antarkan ya, Ma. Suci tidak mau jadi anak
pelit.”
Bukannya dia tidak tahu soal perang
di tanah yang jauh itu. Di antara acara infotainmen yang ditontonnya, dia juga
sempat menyaksikan kilasan-kilasan berita tentang Gaza. Tapi perang ‘kan sudah
biasa, kenapa harus ditanggapi serius?
“Bisa ya, Ma? Suci mohon..”
Dia pun menemui putrinya dan menyerahkan
selembar uang lima puluh ribu. Dengan terharu bocah itu memasukkan ke dalam
kotak sumbangan yang dipegang gurunya. Anak-anak lain juga melakukan hal yang
sama. Mereka berdoa sampai menangis.
Dia pergi. Pergi sambil membenahi
kerudung hitam yang selalu tersedia di mobilnya. Kerudung yang akan dia kenakan
setiap berurusan dengan sekolah anaknya. Di bibirnya masih terkembang senyum
kaku.
Bagaimana anak itu bisa demikian
pedulinya?
Sedang dia?
Ooooough...! Kenapa dia tidak
punya rasa simpati pada orang-orang yang menderita itu, padahal agamanya sama
dengan mereka. Jantungnya rasa tertohok mengingat jemari mungil anaknya
memasukkan sumbangan tadi. Mata anaknya begitu tulus. Padahal dia hanyalah anak
yang lahir dari sebuah hubungan tidak halal..
“Seharusnya aku juga membantu!”
sesal hati kecilnya.
Di dompetnya masih ada uang untuk
mandi sauna, dia bisa memakainya. Dia juga punya berbagai perhiasan, cincin,
gelang, dan anting emas. Dia bisa menyerahkannya.
Tapi... tapi, tadi ‘kan anakku sudah memberi.
Itu kan anakmu!
Apa bedanya? Uangnya juga dariku.
‘Kan cuma lima puluh ribu.
Lima puluh ribu itu uang...!
Pikirannya masih melayang-layang ketika dua buah sepeda motor bertabrakan.
Seseorang terlempar ke depan mobilnya, tapi dia tidak bisa menghindar.
Jeritan dan seruan. Lalu di kaca spion dilihatnya seorang perempuan tergeletak
di aspal sambil melolong memegang sepasang kakinya yang remuk.
Orang-orang...
Tidak! Dia tak mau berurusan dengan polisi.
Mobil hitamnya berkelebat cepat meninggalkan seruas jalan yang menjadi
ramai.
/2/
Perbatasan itu senyap meski di kejauhan masih
terdengar suara ledakan bom sesekali. Dia berjalan di depan dalam kelam. Laki-laki
itu mengikuti di belakang. Sebuah anfaq, itu yang akan dia tunjukkan kepada
jurnalis dari Indonesia itu. Mereka melangkah tanpa suara di antara
batang-batang pohon kurma di ladang yang kering.
Setelah beberapa lama, mereka pun sampai di tempat tujuan. Disibaknya
semak-semak dan terlihatlah mulut terowongan itu. Dibuhulnya tambang ke pangkal
batang tin lalu meluncur turun ke dalam lubang. “Ayolah!” serunya pada si
laki-laki bertubuh sedang yang masih tertegun.
Di langit ada sedikit bercak bintang. Laki-laki itu menggenggam tambang dan
menyusulnya. Tapak sepatu laki-laki itu mengenai pundaknya. Dia bergeser di
lantai tanah. “Inilah laring itu. Lubang pernapasan yang kecil.”
“Kau memasok barang-barang lewat sini?”
“Ya, begitulah! Butuh waktu berbulan-bulan untuk membangun ini semua.”
Diliriknya laki-laki itu yang sedang meraba-raba dinding terowongan. Sesekali
senter dinyalakannya. Hidup menjadi kurir memang sangat berisiko, tapi dia
dianggap hero.
“Tidakkah kau dan teman-temanmu risau tanah di atas bakal runtuh?”
“Itu sesuatu yang sangat mungkin terjadi, apalagi Israel masih sering
menjatuhkan bom-bomnya. Terowongan ini dapat runtuh kapan saja. Tapi peduli
apa? Kalau mati ya, mati juga.”
“Kau pernah terjebak di dalam sini?”
“Dulu pernah sekali. Polisi Mesir meledakkan mulut terowongan, tapi kami
berhasil menggali lagi sehingga bisa keluar.”
Udara yang dihirup terasa padat.
“Jadi kita ke ujungnya?”
“Tentu saja.”
“Kalau begitu cepatlah. Kita harus keluar sebelum pukul delapan. Kalau
tidak, intel-intel itu akan memergoki kita.”
Dia kembali berjalan. Terowongan itu cukup lapang dengan tinggi sekitar dua
meter dan lebar satu meter. Dia pernah beberapa kali menyelundupkan kambing
dengan harga 500 pounds. Yang paling sering adalah paket makanan berupa
roti dan kacang-kacangan yang nantinya akan diambil oleh orang Palestina di
Rafah bagian Gaza. Dari setiap paket itu dia mendapat sekitar 300 pounds
yang akan dibagi bersama tim. Sungguh, petualangan yang menerbitkan selera.
“Sayef, kau dan rekan-rekan senegaramu amat mulia dengan melakukan
pekerjaan berbahaya ini.”
Dia tercenung mendengar ucapan orang di belakangnya. Jurnalis bernama
Satriatmo itu telah bersedia memberinya tips sebesar 25 dolar untuk tour
singkat ke terowongan rahasia itu.
Kau tak mengerti. Ini kulakukan karena aku butuh uang untuk makan, untuk
hidup keluargaku. Kau bisa lihat bagaimana kehidupan kami orang-orang Rafah di
Mesir. Kami tak kalah miskinnya. Tapi orang-orang lebih peduli pada Palestina.
Padahal kami juga kacau balau dengan pemerintah yang tak becus..
“Kalau kau terkubur di terowongan ini, kau pun berhak atas gelar syahid.”
Syahid? Tahu apa kau, wahai Orang Indonesia? Ini semua masalah bisnis.
Uang! Aku tak peduli soal orang-orang di Gaza itu. Yang penting bagiku adalah
ada orang yang memanfaatkan jasaku. Aku dibayar!
“Kau pernah menyelundupkan senjata?”
“Kalashnikov.” Dia mengangkat bahu dengan acuh. “Sudahlah, tak perlu itu
dibahas. Kita sudah sampai.”
Mereka tiba di ujung lorong. Di depan mereka menganga sebuah lubang
vertikal yang nyaris tak kelihatan. Tak ada orang Palestina yang mengulurkan
tali karena menurut kabar yang beredar semua terowongan sudah ditutup.
“Orang-orang itu melemparkan uang. Bila cocok baru barangnya bisa
dinaikkan.” jelasnya.
Setelah jurnalis itu merasa cukup puas melihat-lihat, mereka pun berbalik
ke pangkal terowongan. Tapi tali yang tadi dia buhul ke batang tin sudah tak
ada lagi. Keringat dingin mulai terbit dari pori-pori kulitnya.
“Masya Allah! Bagaimana cara kita keluar?” tanya jurnalis itu panik.
Dia sedang berpikir keras ketika sebuah botol jatuh ke dekat kakinya.
Tercium bau gas yang tajam.
/3/
“Makanlah.” Laki-laki tua itu mengembangkan tangan mempersilakan tamunya
untuk mencicipi hidangan: roti is dengan cacahan ayam dan tuna yang diberi saos
tomat dan paprika.
Perempuan berkulit hitam manis itu tampak sungkan, sedang kedua orang
temannya—dua orang laki-laki empat puluhan tahun yang berprofesi sebagai dokter—telah
menyantap jamuan sederhana itu.
“Ini terlalu mewah, Syekh.” Perempuan relawan itu tampak berat hati. Matanya
beralih ke dinding rumah yang bolong dibobol bom yang memperlihatkan reruntuhan
bangunan di tepi jalan.
“Kami orang Palestina selalu memuliakan tamu. Makanlah, atau hatiku akan
terluka.” Dia mengucapkan itu sambil tersenyum. “Itu roti racikan istriku,
paling enak di Gaza.”
“Terima kasih.” Akhirnya perempuan itu menyentuh roti di depannya, membawa
sekerat ke mulut, memakannya. “Alhamdulillah...” ucapnya. Perutnya seketika
bereaksi, mengingatkannya bahwa dia belum makan dari pagi karena terlalu sibuk
menyalurkan sumbangan ke berbagai pihak yang telah jadi korban keganasan Israel.
“Aku sangat bangga dengan saudara-saudara di Indonesia. Meski jauh, tapi
kalian begitu peduli menantang maut mengantarkan bantuan untuk kami ke mari.”
“Insya Allah, Syekh. Kita sesama muslim bersaudara, bukankah begitu? Kami
turut merasakan penderitaan saudara-saudara di sini. Hanya sedikit inilah
bantuan yang bisa kami berikan.”
Rombongan kecil itu kemudian pamit karena harus menyelesaikan misi mereka.
Untuk Sekolah Tahfidzul Quran yang dibinanya, tim relawan itu meninggalkan
sumbangan sebesar 50.000 euro.
Dia mengantar tamu-tamunya ke pintu. Tak hentinya dia mengucapkan syukur
atas ikatan ukhuwah yang demikian kuat menembus batas-batas.
/4/
Hampir pukul sebelas malam, tapi dia masih tekun memeriksa latihan
siswa-siswanya. Dia menugasi mereka menulis puisi tentang Gaza. Tugas yang
cukup berat karena sastra hanya mendapat sedikit porsi dalam pelajaran Bahasa
Indonesia yang diajarkannya. Rata-rata puisi itu berisi doa untuk Palestina dan
kecaman atas Israel. Tetapi puisi yang terakhir itu cukup menusuk hatinya.
Peluru Batu
Di sini, aku hanya seorang pengecut
yang menonton penyemblihan atasmu
lewat televisi, sambil berlagak
menangis tersedu
Badai peluru membantai kemerdekaanmu
mencabik negerimu!
Aku hanya membaca di koran
di antara gosip selebriti
bualan politisi,
dan cerita-cerita korupsi yang basi
(koran itu lalu kubuang ke keranjang sampah
setelah menyeka bekas makananku)
Aku dan saudara-saudaraku bertengkar
tentang cara bersimpati
sebab kami telah biasa berpura-pura
Di sana, kau berjuang dengan batu
melawan gempur peluru
membela Allah dengan darah
Tak pantas aku menangis untukmu
dengan hati bernanah.
Ketika mengguratkan paraf di lembaran kanan bawah buku latihan itu, air
matanya tiba-tiba menitik.[]
Padang, 2009
cerpen ini telah diterbitkan dalam buku Gadis Kota Jerash
dan dipublikasi ulang di koran Metro Andalas
No comments:
Post a Comment