cerpen Ragdi F. Daye
Lelaki
tua itu, Gaek Rusin, tidak datang salat berjamaah ke masjid. Meski begitu, shaf
depan paling tepi selalu kosong satu,
sebab orang-orang tetap berpikiran bahwa Gaek pasti datang, mungkin saja dia
terlambat karena suatu halangan. Bila shaf pertama itu telah penuh—maksudnya
kecuali satu tempat kosong untuk Gaek, dan biasanya amat jarang
terjadi—orang-orang yang terlambat menjadi makmum lebih memilih membuat shaf
baru daripada mengambil alih tempat yang telah disediakan untuk Gaek Rusin.
Tetapi sampai imam mengucapkan salam, Gaek Rusin tak juga datang.
“Ada
apa?” Seseorang bertanya.
“Mungkin
Gaek sakit.” Sahut yang lain tidak yakin.
Beberapa
orang yang lain menyangkal sebab masih melihat Gaek bekerja di ladang.
“Biasanya
Gaek tak pernah absen.”
Orang-orang
kampung yang baru selesai menunaikan salat Isya berjamaah sama-sama heran
dengan kenyataan itu. Biasanya Gaek Rusin adalah jamaah tetap yang selalu
datang ke masjid bagaimanapun keadaannya; hujan, panas, mati lampu, air mati,
atau badannya demam, batuk-batuk, pilek... Tubuh tuanya yang masih kuat karena
selalu bekerja di ladang tak akan dilupakan orang. Bersarung bugis, baju
gunting cina warna putih, dan kopiah hitam pudar di kepala. Gaek Rusin
terpatah-patah bila bicara, tetapi bila bertahlil suaranya nyaring dan fasih,
merintih sedih membuat orang-orang terhanyut dalam zikir.
“Laa ilaaha illallah! Laa ilaaha illallah!
Laa ilaaha illallah!” Kepalanya akan bergoyang kiri-kanan yang akan diikuti
anak-anak dengan tergelak-gelak riang.
Gaek
Rusin tak datang-datang lagi ke masjid untuk salat, tepatnya setelah Haji Karim meninggal
dan disalatkan setelah shalat Jumat. Gaek ikut menjadi makmum, namun Magribnya
dia tak muncul, Isya juga tidak, Subuh esoknya pun tidak, juga Magrib esoknya,
Isya esoknya, Subuh lusanya... beberapa hari kemudian Gaek Rusin ditemukan
telah beku di ladang.
*
Tentu saja, Gaek
Rusin tidak secara tiba-tiba mati dan tercampak di ladang. Sebelumnya, dia telah sering
bercerita banyak dengan istrinya yang bagi orang perasa akan dianggap sebagai
isyarat kepergian. Istri Gaek memang ada mengira begitu, namun dia tak terlalu
mempersoalkan, sebab baginya keajaiban apalagi yang paling masuk akal terjadi
atas diri seseorang yang telah usang usia selain kematian?
“Aku
telah menanam durian sebatang lagi.” Beritahu Gaek suatu malam sepulang dari
masjid pada sang istri yang juga sudah tua. “Fauzi suka sekali buah durian. Kau
ingat ketika dulu dia pernah mendemam dua hari dua malam gara-gara kebanyakan
makan durian dengan ketan?” Gaek terkekeh-kekeh sampai tersedak. Giginya
tanggal hampir semua.
“Iya,
engkau terlalu memperturutkan maunya, sudah jelas dia habis makan rambutan
banyak-banyak. Tak tahulah aku kalau dia sampai makan buah manggis pula,
mungkin tak akan pernah dia menjadi pejabat...”
“Di
dekat banda garosong telah kutanam empat batang alpukat, itu buat Azra.”
“Ohya?
Dia memang berhantu benar pada alpukat, itu yang membuat otaknya pintar.”
“Tapi
alpukat membuat mata mengantuk.”
“Tapi
nyonya-nyonya sekarang dan anak-anak gadis menjadikannya lulur untuk
kecantikan.”
“Kau
dulu juga memakainya?”
Istri
Gaek menepuk pipi lelaki tua itu yang sudah lisut.
“Untuk Zulkifli
telah kutanam ampalam di dekat kolam. Dia suka sekali yang masam-masam.”
“Tapi ladang itu
sudah penuh.”
“Biar saja.”
“Tapi durian,
alpukat, dan palam-palam yang sebelumnya ditanam buahnya sudah melimpah tak
termakan.”
“Biar saja.”
“Lalu untuk
Imah?”
“Hahaha, dia
anak perempuan. Kutanam batang surian untuknya.”
“Batang surian?
Itu tak bisa dimakan.”
“Buat
bantu-bantu kayu api dan pembuat kasau rumahnya.”
Istri Gaek Rusin
tersenyum kecil. “Apa yang kautanam untukku?”
“Untukmu?”
“Ya.”
Perempuan itu memilih-milih rimah nasi yang tercecer di lapik pandan. “Kunyit, sipadeh, langkuweh, serai,
ruku-ruku, dan daun salam lagi untuk masak sambal buatmu?”
“Ya,
ya, tentu. Kau sudah lama tak membuatkanku sampadeh limbek.. ceps...ceps.. ceps..” Gaek
berdecap-decap. “Nanti akan kucoba menahan lukah di bawah titian, untung-untung
masih ada ikan limbek di sana.”
“Jadi
benar, hanya itu yang kautanam untukku?”
“Tentulah,
Rubana Sayang, Anak Rang Kayo Gadang dari Parak Gadang.” Gaek Rusin
terkekeh-kekeh. Istrinya merajuk. Cemberut. Gaek Rusin menyungkupkan kain lap
tangan ke kepala istrinya, membuat perempuan gemuk keriput itu merentak-rentak
dan Gaek tertawa makin riang. “Oho, tenang! Aku telah menyiapkan sepetak tanah
di ladang. Telah kutanami sekelilingnya bunga tanjung dan batang-batang jarak
serta puring emas. Untuk kita.”
Air
mata istrinya seketika berderai. “Tapi Zulkifli tak pulang-pulang. Juga Fauzi
dan Azra. Halimah pun tak pernah mencogok.”
Gaek
Rusin kontan termenung.
“Kalau
aku yang mati dulu, syukurlah, ada engkau yang akan mengurus. Tapi bila engkau
yang dulu, siapa yang akan menyalatkan?”
*
Dan
kemudian, di wajah Gaek Rusin
hanya ditemukan mendung. Tak terdengar lagi dia bertutur dengan bersemangat
tentang kisah-kisah dalam Tambo atau pengalaman serunya di masa Bagolak. Gaek
jadi sering tercenung. Bisu mematung. Setiap akan berangkat ke ladang, sikapnya
seperti orang yang akan pergi tak kembali. Raut risau dan tertekan. Bila pulang
dari ladang dia begitu jerih seperti baru selesai kerja rodi.
Puncaknya
adalah Jumat itu sepulang mengantar jenazah Haji Karim ke pandam pekuburan.
Mukanya pias berkabung. Dia tak ke ladang sore harinya. Hanya termenung di
belakang rumah. Menatap kosong batang-batang jambu paraweh dan sawo yang buahnya
berjatuhan terbuang. Tak ada lagi anak-anak yang bergelayut berebut buah-buah
ranum. Di seruas dahan jambu ada seutas tali sisa ayunan puluhan tahun silam.
Gaek
Rusin terkenang lengking tawa anak-anaknya. Ayunan yang berkelebat. Bedil-bedil
pelepah pisang. Semburan biji jambu paraweh. Ribut pertengkaran. Cekikik
Halimah dan Azra mandi hujan. Fauzi yang suka bernyanyi dendang sambil memanjat
dari cabang ke cabang. Zulkifli yang pernah diikatnya di pangkal batang sawo karena ketahuan
mencuri uang...
Istri Gaek Rusin
telah berdiri di belakang lelaki tua itu dengan tak kalah murung. Gaek Rusin tahu tapi tetap menatap ke depan.
“Tadi anak Haji Karim yang menjadi imam.”
Istrinya
menghela napas. “Aku telah
minta tolong pada Roby anak Si Tini untuk menulis surat pada Fauzi, Azra, dan
Zulkifli, juga Halimah. Aku menyuruh mereka pulang.”
*
Bukankah
telah belasan atau berpuluh kali mereka mengirim surat dengan bantuan anak-cucu
tetangga? Hasilnya nihil. Jangankan batang hidung mereka, surat balasan pun tak
tiba. Mereka telah pergi seperti batu jatuh ke lubuk. Hilang.
Setelah
salat Subuh yang begitu lama di lantai rumah disertai air mata, Gaek Rusin
pamit pada istrinya pergi ke ladang. Istrinya memasukkan botol air minum ke
dalam tas pandan rajutan beserta pisang rebus, tetapi Gaek menolak.
“Hari
ini aku puasa,” katanya.
Pagi
remang-remang. Dua orang tua saling memandang.
“Jadi
kau antarkan beras dan uang zakat kepada garin masjid?”
Istri
Gaek Rusin mengangguk.
“Durian
Fauzi yang dekat pagar telah berbunga kembali...”
Istri
Gaek Rusin menekur.
“Di
dahan ampalam telah bisa dipasang buaian...”
Istri
Gaek Rusin menyusut ingusnya yang meleleh dari hidung.
“Ladang
kita begitu subur dan indah.”
“Aku
akan membuatkan sampadeh untukmu.”
Istrinya berbalik ke dapur. “Janganlah pulang terlalu petang.”
*
Menjelang
petang, seorang penjerat burung menemukan Gaek Rusin telah beku di dekat sebuah
lubang di ladang yang dikelilingi pohon bunga tanjung, batang jarak, dan
puring-puring emas yang belum lama ditanam.[]