Monday 30 August 2021

Story of Kale: 

Melihat Kebahagiaan dari Kacamata yang Retak


 

 

“Orang yang menyayangi tidak akan menyakiti.”

Film Story of Kale: When Someone’s in Love (SOK) merupakan spin off dari film Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini (NKCTHI) yang diangkat dari novel Marchella FP.  SOK disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko di bawah rumah produksi Visinema Pictures yang ditayangkan secara streaming Bioskop Online. Sebagai bagian dari semesta NKCHTI, SOK bercerita tentang Kale (masih diperankan oleh Ardhito Pramono), beberapa waktu sebelum bertemu dengan Awan. Di film ini, Kale menjalin hubungan dengan Dinda (diperankan oleh AurĂ©lie Moeremans), manajer ben Arah. Hubungan Kale dengan Dinda digambarkan begitu dinamis; berawal dengan Kale merebut (baca: menyelamatkan) Dinda dari Argo (diperankan oleh Arya Saloka), mereka tinggal bersama, mengerjakan proyek album mini, munculnya sifat posesif Kale, pertengkaran, Dinda berselingkuh, hingga puncaknya Dinda menyatakan ingin pergi meninggalkan Kale.

Pada malam ketika Dinda menyatakan ingin pergi meninggalkan Kale karena merasa sudah tidak nyaman lagi dengan hubungan mereka, Kale telah berencana untuk menunjukkan kepada Dinda bahwa proyek yang sedang mereka kerjakan telah rampung. Namun, apa boleh buat, nasi telah jadi bubur, Dinda ingin pergi dengan tiga alasan.

Alih-alih memberinya ruang dengan melepas tanpa mempertanyakan, Kale justru menuntut penjelasan lebih meski Dinda berulang kali memohon agar Kale cukup membiarkannya pergi saja.

 

Tiga Alasan Dinda yang Seharusnya Tak Perlu Didengar Kale

Pertama, Dinda sudah berselingkuh. Hal ini tentu sangat mengejutkan Kale, bagaimana bisa Dinda yang telah diselamatkannya dari kekerasan Argo justru berselingkuh dengan laki-laki lain. Apa yang laki-laki itu berikan kepada Dinda yang dia tidak punya, begitu tanya Kale dengan menahan marah. Bukankah dia telah berbuat sangat baik, tidak hanya melepaskan Dinda dari hubungan tidak sehat dengan Argo, tetapi juga menemukan bakat musik gadis itu sehingga Dinda tak cukup hanya berperan sebagai manajer; Dinda bisa menciptakan lagu dan bernyanyi. Dinda bisa memiliki album sendiri dan Kale akan membantu Dinda mencapainya.

Di mata Dinda, Kale hidup dalam imajinasinya sendiri tentang bahagia. Dia membayangkan bahagia itu adalah membuat Dinda melakukan apa yang dia anggap sebagai kebahagiaan Dinda, yaitu menyalurkan bakat musik dan lepas dari kekasih yang melakukan kekerasan. Padahal, hal itu adalah kebahagiaan versi Kale, bukan bagi Dinda. Dinda tak ingin menjadi orang lain yang dibayangkan Kale. Bagi Dinda kebahagiaan adalah tanggung jawab masing-masing. Kale tak perlu merasa bertanggung jawab membuatnya bahagia.


Kedua, Kale telah menjadi Argo versi lain. Kenyataan ini telah menghancurkan perasaan Dinda. Kale yang berkeras meyakinkan Dinda agar gadis itu keluar dari hubungan buruk dengan Argo dengan berkata, “Kamu bikin pengecualian untuk sesuatu yang tidak seharusnya ada. Kamu takut sama dia, bukan sayang,” justru melakukan kekerasan lain kepada Dinda. Kale memaksa Dinda melakukan apa yang dia inginkan tanpa minta pendapat Dinda. Ketika Dinda menjelaskan bahwa dia tidak menginginkan, Kale marah. Kemarahan Kale pun naik secara drastis, mulai dari mengomel, berteriak, membentak, akan memukul, hingga merusak barang. Evolusi emosi Kale yang awalnya begitu manis hingga menyerupai monster tak lagi berbeda dengan Argo.


Dinda menerima Kale agar lepas dari hubungan toksik dengan Argo. Meridai kekerasan dengan anggapan tak apa menanggung siksaan asal tetap bersama. Kebersamaan dijadikan ukuran untuk kebahagiaan. Racun gagasan ini didapatkan Dinda dari sikap ibunya yang rela dipukuli suami asal keluarga mereka tetap utuh. Sang ibu berkata, suatu saat sang ayah akan berhenti memukul, dan dia ingin ketika saat itu tiba, keluarga mereka tetap lengkap. Dinda mencoba menduplikasi pilihan ibunya. Namun, dia orang yang berbeda. Dia tidak sama dengan ibunya. Dia harus lepas dari orang yang menyiksa sambil mengatakan cinta. Dan Kale telah menjadi orang seperti itu. Tak ada alasan lagi bagi Dinda untuk bertahan.

Ketiga, Dinda ingin menikah dan melanjutkan studi di Jerman. Selama berhubungan dengan Kale ternyata dia keliru. Kale hanya terobsesi untuk menjadikannya kekasih sesuai impiannya. Ibarat utopia, begitulah ruang percintaan Dinda dengan Kale. Maka, Dinda mesti bertindak rasional, mengemas barang-barang untuk menikah dengan lelaki lain yang bisa menerima dirinya apa adanya sebagai manusia yang punya pikiran, perasaan, harapan, dan cita-cita, salah satunya adalah melanjutkan pendidikan. Sibuk bercinta di studio musik tentu tidak realistis!

 

Antara Rasa Nyaman dan Pengorbanan

Setiap hubungan ada harganya. (Dinda)

Harga komitmen tidak murah. (Kale)

Film ini benar-benar bikin gemay (istilah anak sekarang). Kale ingin melindungi Dinda dari kekerasan Argo, manipulasi Argo, tetapi di sisi lain, Kale telah menjelma Argo yang lain dengan sifat posesif dan over protective. Kale ingin Dinda tidak lagi menjadi manajer Arah dan mengembangkarn kariernya sendiri dengan bernyanyi, menciptakan lagu, dan membuat minialbum sendiri. Niat Kale membantu Dinda jika dilihat dari sudut lain, adalah sebuah bentuk egoismenya untuk menjadikan Dinda sebagai miliknya, sebagai properti yang dapat dia kontrol. Kale ingin menjadi satu-satunya orang istimewa di dalam kehidupan Dinda, memberi perhatian khusus, prioritas, utuh, sekaligus punya kontrol absolut atas kehidupan sang kekasih. Bayangkan saja, Dinda harus melaporkan aktivitasnya 1x24 jam agar Kale tidak marah.

Kenyamanan adalah suatu kontinum perasaan dari perasaan paling nyaman sampai dengan paling tidak nyaman, dan dinilai berdasar persepsi masing-masing individu. Konsep tentang kenyamanan (comfort) sangat sulit untuk didefinisikan karena lebih merupakan penilaian responsif individu (Oborne, 1995). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nyaman adalah segar; sehat, sedangkan kenyamanan adalah keadaan nyaman; kesegaran; kesejukan (Kolcaba, 2003). Beberapa bahasa asing menerjemahkan kenyamanan sebagai suatu kondisi rileks, di mana tidak dirasakan sakit di antara seluruh anggota tubuh.

Katherine Kolcaba, dengan latar belakang keperawatan dan psikologi menjelaskan bahwa kenyamanan sebagai suatu keadaan telah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang bersifat individual dan holistik. Terpenuhinya kenyamanan dapat menyebabkan perasaan sejahtera pada diri individu tersebut. Menurut Kolcaba (2003), aspek kenyamanan terdiri atas empat jenis, yaitu kenyamanan fisik, berkenaan dengan sensasi tubuh yang dirasakan oleh individu itu sendiri, kenyamanan psikospiritual, berkenaan dengan kesadaran internal diri, yang meliputi konsep diri, harga diri, makna kehidupan, seksualitas hingga hubungan yang sangat dekat dan lebih tinggi; kenyamanan lingkungan, berkenaan dengan lingkungan, kondisi dan pengaruh dari luar kepada manusia seperti temperatur, warna, pencahayaan, kebisingan, dan lain-lain; dan kenyamanan sosiokultural, yang berkenaan dengan hubungan antar personal, keluarga, dan sosial atau masyarakat (keuangan, perawatan kesehatan, kegiatan religius, tradisi keluarga/masyarakat dan sebagainya).

Kolcaba juga menjelaskan tiga tingkatan kenyamanan, yaitu relief yang merupakan level kenyamanan paling dasar, dimana tubuh dalam kondisi bebas dari rasa sakit apa pun; kemudian ease yang merupakan tingkatan kenyamanan yang lebih tinggi, di mana tidak hanya tubuh yang merasakan kenyamanan, tetapi juga kenyamanan secara pikiran atau psikologis. Terakhir, transcendence, adalah kenyamanan tertinggi, di mana kenyamanan dirasakan sampai pada tingkat spiritual atau rohani.

Kehadiran Kale menggantikan posisi Argo mulanya memberikan rasa nyaman bagi Dinda. Gadis itu memperoleh pemaknaan baru atas hubungan laki-laki dan perempuan yang saling mendukungn dan tidak ada pemaksaan bagi satu pihak untuk mengalah untuk mempertahankan kelangsungan relasi. Namun, lambat laut sifat Kale yang obsesif menyebabkan Dinda merasa kehilangan rasa nyaman dari hubungan mereka.

Relasi Kale dan Dinda awalnya memberi Dinda rasa nyaman karena pribadi Kale yang begitu care dan fun. Namun lambat laun ketika Kale semakin terobsesi membuat Dinda bahagia sesuai keinginannya, kenyamanan yang dirasakan Dinda pun menghilang. Dinda mencoba mengorbankan perasaannya, tetapi lama-kelamaan dia menyadari bukan kehidupan seperti itu yang dia harapkan dari hubungannya dengan Kale.

 

Ini Trauma Siapa?

Jika film ini mengusung misi untuk menjelaskan penyebab perlakuan Kale kepada Awan di dalam NKCTHI yang tak ingin terikat status karena trauma dengan hubungan sebelumnya, SOK gagal membersihkan image Kale. Dinda tidak cukup jahat untuk membuat Kale mengalami trauma. Jika sosok Dinda ingin dijadikan kambing hitam atas kepengecutanan Kale, yang terjadi justru sebaliknya, Dinda adalah korban Kale sebelum Awan. Film ini terasa lebih sebagai kisah Dinda, seseorang yang pernah masuk ke dalam kehidupan Kale, dan memberikan preferensi negatif untuk hubungan Kale dan Awan, sekiranya mereka menjalin hubungan serius.

 

“Hubungan ini tidak akan berhasil dengan cara seperti itu. Kamu tidak bisa membiarkan orang yang kamu cintai menyakitimu dan bertahan dengan alasan kamu merasa bahagia,” kata-kata Kale kepada Dinda sebagai kritik atas hubungannya dengan Argo, pada kemudian hari menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.

Dinda bertahun-tahun bertahan disakiti Argo karena dia melihat contoh faktual dalam keluarganya; dia melihat ibunya dipukuli ayahnya. Dinda pun mencoba melakukan pengecualian terhadap Argo seperti yang dilakukan sang ibu, tetapi ternyata dia tidak bisa. Begitu pula terhadap Kale. AurĂ©lie Moeremans sangat berhasil menampilkan kehancuran hati seorang Dinda yang menghadapi kekerasan demi kekerasan (fisik ataupun psikis) dari lelaki-lelaki yang dia kira mencintainya, terutama pada scene Dinda menyeret tubuh beringsut di lantai  menjauh dari Kale yang mengamuk.

 


Semesta Cerita tentang Definisi Bahagia

Terlepas dari racun psikologis di dalam narasi hubungan Kale dan Dinda, film SOK tetap enak untuk ditonton. Dukungan para pemeran yang tampil begitu pas, baik sebagai pemeran utama maupun pendukung, membuat film berdurasi 77 menit ini bisa dinikmati. Apalagi dukungan soundtrack yang diisi oleh Ardhito Pramono dan ben Arah membuat prekuel ini seperti paket komplit yang sayang untuk dilewatkan. Skenario yang ditulis oleh M. Irfan Ramly juga kokoh membangun interakasi dua tokoh dengan dialog-dialog yang memancing keingintahuan penonton.

 

SOK adalah bagian dari pengembangan kreatif Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini (NKCTHI) karya Marchella FP. Buku dengan format bergambar ini mulanya ditargetkan untuk pasar remaja hingga dewasa yang setia mengikuti akun Instagram NKCTHI. Kata-kata yang dirangkai Marchella, visual yang menarik, dan playlist yang bisa diakses oleh para pembaca yang aktif di Spotify. Hal ini merupakan strategi marketing yang sangat jitu memadukan seni dengan konten kreatif bercita rasa kekinian.

 

Marchella sigap menanggapi respons pasar yang sangat positif dengan memutuskan untuk memperluas semesta “Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini” menjadi kolaborasi musik dengan musisi Indonesia bernama Kunto Aji melalui video klip musik pada lagu “Rehat.” Karya ini juga dikembangkan menjadi berbagai merchandise kreatif yang dipromosikan melalui akun Instagram @proudtopostit. Pada tahun 2020, semesta “Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini” semakin berkembang dalam bentuk  kerja sama penggarapan buku berjudul “Nanti Kita Cerita tentang Driver Gojek” dan di tanggal 2 Januari 2020, semesta “Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini" meluas hingga diadaptasi dalam industri film Indonesia yang disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko. Menyusul kemudian serial YouTube berjudul “Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini” dan yang sedang dibahas ini, Story of Kale. Sebuah kesuksesan menjadi semacam garansi untuk menangguk kesuksesan lain, paling tidak untuk memperlama umur perbincangannya.

Di media sosial, para penggemar NKCTHI banyak yang berkomentar bahwa mereka lebih menunggu pengembangan kisah Aurora, kakak perempuan Awan yang berkarakter dingin dan memendam luka sendiri, daripada Kale. Namun, sosok Ardhito sang pemeran Kale yang dikenal sebagai penyanyi solo pria idola generasi milenial adalah peluang pasar yang sangat menjanjikan untuk ekspansi semesta NKCTHI. Film adalah bagian dari bisnis hiburan. Visinema sangat cerdik dengan sigap mengeksekusinya, meskipun masih di tengah pandemi.[]

 

Sumber foto: https://www.instagram.com/visinemaid

 

 

Sunday 22 August 2021

Lantak


cerpen Ragdi F. Daye


 

 

 

 

 

 

 

 

Kiyin ka mari mak, oi kadikaja mak

oi nan dek ulah nak kanduang gadang salero

oi nan dek ulah nak kanduang gadang salero

Kalau lah mato mak, talampau liya oi

lah kok di nan data oi badan tataruang juo*

 

Hari ini Tera sedang merah. Harapannya hancur sudah.

Rasa sedih dan marah mengamuk di dalam dadanya. Dia memperbaiki potongan handuk di selangkangan sebelum mengeratkan lilitan sarung di pinggang. Di rumah tidak ada persediaan pembalut dan dia tak punya waktu untuk sekadar berjalan beberapa langkah ke kedai Simar dekat pos kamling membeli tampon sintetis celaka itu. Orang-orang tambang sudah datang. Mereka membawa tentara dan polisi. Dia harus bergegas. Tera tak ingin dirinya tidak ikut bergabung bersama Niyas dan ibu-ibu lain memblokade jalan ke titik sumur di punggung Bukik Telang. Pertahanan terakhir mereka.

Mereka tak akan membiarkan satu mobil, truk, atau kendaraan apa pun ditumpangi orang-orang tambang itu untuk mencucuk tanah mereka dengan bor hingga ke dasar demi menemukan panas bumi yang akan digunakan sebagai pembangkit listrik. Sudah lebih dari tiga bulan mereka bertahan menjadi benteng hidup menolak didirikannya PLTP di negeri mereka. Mereka teramat lelah tapi tak akan menyerah.

 “Kalau sempat terjual negeri kami, ke mana anak-cucu kami akan tinggal?” begitu seru Niyas petang Kamis lalu kepada bapak-bapak pejabat yang datang untuk membujuk mereka. Kata orang-orang kampung, pegawai-pegawai itu disuruh atasan mereka menjinakkan warga. “Bapak-bapak jangan karena memikirkan komisi yang sedikit lalu menggadaikan tanah kami!”

“Tidak gampang mendatangkan investor, Ibu-ibu... jangan beri kesan tidak menyenangkan jika ingin negeri kita maju pula seperti negeri orang-orang!” tukas seorang pejabat kantor bupati sambil menyeka peluh. “Apa Ibu-ibu senang bila daerah kita selalu terbelakang?”

“Bagi kami biarlah dianggap terbelakang yang penting selama ini kami bisa makan tanpa meminta-minta dan anak-anak kami tetap sekolah, Pak,” sahut Niyas didukung para kaum perempuan.

“Terbelakang apa pula maksudnya ini, Pak?” Bujang Ladiang yang memakai kain sebo tebal membentak. “Jagalah muncung Bapak kalau bicara!” kata-katanya memicu gemuruh geram kaum laki-laki.

”Den kapiang kapalo tu beko baru tau!”

“Asa ka mangango se bibia buruak tu!”

“Tenang, Bapak-bapak, Ibu-ibu... Pembangunan di negeri kita masih kalah dibandingkan daerah-daerah lain. Itu karena sikap kita yang tidak mau terbuka. Terlalu mempersulit. Apa yang akan dibuat oleh proyek ini bagus untuk kita. Energi terbarukan. Ini yang dicari orang seluruh dunia sekarang. Harusnya kita senang ada yang mau membantu kita, memilih negeri kita...”

“Bukan kami tak mau dibantu, Pak. Tapi kalau seperti Belanda minta tanah kami tidak mau! Awalnya hanya membuat satu-dua lubang, lama-lama seluruh tanah di sini dirampas,” balas Tera disambut suara riuh ibu-ibu.

“Kami sudah dengar akibat yang terjadi di Muaro Taduah dan Rimbo Jati. Padi-padi menjadi rusak dan tanaman-tanaman mati!”

 “Kalau tanah ini gersang hanya ditumbuhi ilalang tak apa-apa, Pak. Kami tak akan menolak. Tapi ini tanah subur. Sumber kehidupan kami. Mau makan apa kami nanti yang hanya tahu berladang ini.”

“Kami tak mau dijajah, Pak! Cukuplah tiga setengah abad ditambah tiga setengah tahun yang dulu itu sebagai pelajaran!”

Balas berbalas kata yang telah berubah menjadi perdebatan sengit bertambah gaduh ketika ada yang berseru-seru ‘Bakar! Bakar! Bakar!’ dan tiba-tiba dalam sekejap mobil dobel gardan yang membawa orang PT dan pejabat dari kantor bupati mengobarkan api. Satu mobil. Dua mobil. Tiga mobil.

Lalu terdengar suara tembakan menggegar menggemparkan Bukik Telang.

 

*

 

Penyakit Dapian bertambah parah sehingga Tera tak bisa berangkat cepat.  Terlebih dahulu dia harus menyiapkan makanan dan obat suaminya. Membantu mantan perantau itu membersihkan badan dan ganti pakaian. Berkali-kali Pik Rani menelepon menyuruhnya bergegas.

“Keadaan tambah gawat. Sudah belasan yang ditangkap. Niyas...”

Tera memacu sepeda motor di jalan Bandes yang berkelok-kelok membelah sawah dan ladang. Hamparan kebun bawang, seledri, lobak, kentang, stroberi, wortel, tomat, cabai, ubi, dan aneka macam sayuran lain. Tak terbayangkan olehnya bila tanaman-tanaman itu berganti gurun tandus yang ditumbuhi perdu ilalang.

Perempuan tiga puluh dua tahun itu menyesali kondisi yang di luar kendali. Masyarakat sekitar memang telah diimbau untuk ikut menolak rencana didirikannya pembangkit listrik. Namun dengan cara-cara yang baik. Selama ini mereka telah menyampaikan aspirasi seperti yang ada di berita televisi. Aksi protes tanpa kekerasan. Jika mau, masyarakat bisa saja angkat senjata mengusir orang-orang tambang. Tapi itu tentu melanggar hukum. Mereka tak mau dicap anarkis. Sebab itulah mereka memilih jalan membuat blokade manusia yang menutup akses perusahaan tambang ke lokasi eksplorasi.

Pikir Tera mungkin karena masyarakat telah lelah sehingga peristiwa buruk itu terjadi. Mereka cuma kaum petani yang hanya kenal tanah dan musim tanaman. Tiba-tiba harus mengambil peran jadi pengunjuk rasa seperti orang-orang di kota. Mereka tak bisa meninggalkan ladang, namun mereka juga harus melanjutkan penolakan. Mereka merasa seperti berada di zaman penjajahan ketika apa yang mereka miliki teramcam dirampas paksa. Hewan yang teritorialnya terancam pun pasti akan mempertahankan diri. Dilema itu benar-benar menguji kesabaran. Memperuncing emosi. Keadaan diperburuk oleh para aparat pemerintah yang seperti tidak berpihak kepada mereka. Seolah-olah telah terbangun dua kubu yang bertentangan siap untuk menggebuk genderang perang.

“Hei, mau ke mana kau, Ra?” seorang laki-laki menghentikan sepeda motor Tera. Ajilatang.

“Galadie!” Tera nyaris terlempar dari motor karena harus mengerem mendadak di jalanan melereng berkerikil. Spontan mulutnya mengumpat-umpat. Ajilatang berdiri di tengah jalan yang terlindung naungan batang asam kandis. Badannya semakin besar seperti beruang Bukit Barisan. Tangannya mencengkram setang motor Tera.

“Coba kutebak, kau baru selesai mengurus lakimu yang sakit-sakitan itu sehingga ketinggalan oleh gerombolan cigak berukmu! Iya, bukan? Hahahah...!”

Perut Tera perih. Ada darah merembes dari sobekan handuk di sela pahanya. HP di saku celana panjang di balik sarungnya berbunyi-bunyi. Pasti kawan-kawannya telah resah menunggu. “Urus saja ternak-ternakmu yang beranak pinak di setiap kampung itu jika tak akan membantu! Awaslah! Aku tergegas!”

Ajilatang bergeming.

“Mengapa kau selalu memusuhiku? Seperti ada dendam yang tidak tuntas...”

“Jangan bawa-bawa masa lalu! Ini soal masa depan.”

“Masa depan apa, Kentut? Punya anak satu pun kau tidak!”

Tera geram. Tiap kali mereka berseteru, Ajilatang selalu mengungkit-ungkit masa lalu mereka. Lebih kurang ajar lagi, lelaki berkumis tebal itu selalu mengulang kalimat yang membuat Tera ingin muntah, “Coba dulu kau menikah denganku, sudah tujuh kukasih kau anak!”

“Awaslah, Bingkarung...!”

“Kau jangan bertindak bodoh, Tera! Niyas gila itu sudah mengaku bahwa kalian telah menghasut orang orang-orang untuk menolak PT. Katanya kaulah yang menghubungi kelompok mahasiswa di kota untuk memasukkan berita di kampung ini ke internet. Menyebarkan foto-foto aksi protes kalian. Membuat video kalian menghalang jalan di pendakian. Taik sapi! Mau jadi artis kau?”

“Apa kata kau? Niyas tak mungkin berkata seperti itu!”

Ajilatang mengeluarkan telepon genggamnya lalu mendekatkan ke depan Tera. “Lihat ini!”

Sebuah rekaman singkat diputar Ajilatang.

Terlihat Niyas dengan mata dan hidung bengkak bicara terbata-bata. Kain songkok penutup kepalanya bertengger kacau tak karu-karuan.

“Ya, Allah! Apa yang terjadi pada Niyas? Dari mana kau dapat video itu?”

“Aku mendapat kiriman video itu sebentar ini. Mudah-mudahan gaek kareh angok itu masih hidup!”

Tera ingin menyangkal apa yang dilihatnya, namun dia hafal dengan baju yang dikenakan Niyas. Baju bekas lebaran itu telah berulang kali dipakainya menghadang orang proyek di pendakian ke pundak Bukik Telang.

            “Apa yang ada di otakmu, hah? Mau sok jadi pahlawan kau ya? Jangan kira karena kau perempuan maka kau akan dibiarkan terus berulah. Kalian mau menolak sampai kiamat pun, proyek itu akan tetap dibuka!”

 

*

 

            Bau kentang busuk.

            Tera merasakan nyeri di sekujur tubuhnya, terlebih di bagian kewanitaannya. Sobekan handuk penyumbat darah haidnya sudah tidak ada. Tangan dan kakinya terikat. Mulutnya penuh tersumpal kain. Kepalanya pening. Hampir dua jam dia pingsan. Dia tak mampu bergerak. Ratusan buah kentang seperti barikade yang memerangkap tubuhnya.

Tera ingin berteriak tapi tak bisa. Upaya memberontak untuk membebaskan diri juga sia-sia.

            Suasana di pendakian terbayang di matanya. Puluhan ibu-ibu petani dengan lipatan kain sarung atau tudung rotan penutup kepala duduk membentuk portal menutup jalan. Kaum laki-laki dengan baju-baju bau tanah berdiri di sekitar mereka sebagai pelindung. Sejumlah mahasiswa, jurnalis, dan aktivis lingkungan terus menguatkan perjuangan mereka. Berpanas mereka sama mandi peluh. Berhujan mereka sama kuyup.

            Samar-samar Tera ingat Ajilatang menyeretnya ke semak, memukulinya berkali-kali, mengikat tangannya, menyumpal mulutnya, menyumpah-nyumpah, menyudu kemaluannya, menghantam kepalanya...

            Sebuas itukah kebenciannya karena cinta yang tak dibalas, Tera membatin. Seiblis itukah dia untuk jadi pengkhianat?

            Angin Bukik Telang yang dingin meniup-niup karung goni yang membungkus tubuh Tera. Karung berwarna cokelat gelap itu diikat di jok belakang sepeda motor yang menderu menuju danau. Di jalan yang berliku-liku, sepeda motor itu berpapasan dengan kendaraan-kendaraan lain yang mengangkut karung-karung berisi hasil panen atau pupuk. Bau bawang dan kol begitu tajam diterbangkan angin.

            “Sebenarnya aku hanya disuruh membungkam perempuan celaka itu...,” sang pengendara berucap sambil menyentuh muatan di belakangnya.

            Lelaki itu membelokkan sepeda motor ke jalan setapak melewati bekas ladang yang ditinggalkan. Jalan berakhir di tubir jurang.

 

*

 

            Pondok di tepi pendakian jalan ke puncak itu lengang. Tungku batu di halaman yang pernah selalu berasap tinggal puntung-puntung kayu. Sisa robekan spanduk tergayut di kayu kasau, sendal jepit putus di depan pintu, mantel plastik, cangkir, botol minuman, kain telekung yang ketinggalan...

            Tak ada lagi kerumunan ibu-ibu bau bawang yang membuat blokade penghalang orang tambang. Mereka takut menjadi mayat terapung di dalam karung.[]

 

Padang, 2021

                       

Catatan:

* Potongan dendang yang maknanya tidak baik jika terlalu menurutkan hawa nafsu.

Tuesday 16 June 2020

Imam


cerpen Ragdi F. Daye


            Lelaki tua itu, Gaek Rusin, tidak datang salat berjamaah ke masjid. Meski begitu, shaf depan paling tepi selalu kosong satu, sebab orang-orang tetap berpikiran bahwa Gaek pasti datang, mungkin saja dia terlambat karena suatu halangan. Bila shaf pertama itu telah penuh—maksudnya kecuali satu tempat kosong untuk Gaek, dan biasanya amat jarang terjadi—orang-orang yang terlambat menjadi makmum lebih memilih membuat shaf baru daripada mengambil alih tempat yang telah disediakan untuk Gaek Rusin. Tetapi sampai imam mengucapkan salam, Gaek Rusin tak juga datang.
            “Ada apa?” Seseorang bertanya.
            “Mungkin Gaek sakit.” Sahut yang lain tidak yakin.
            Beberapa orang yang lain menyangkal sebab masih melihat Gaek bekerja di ladang.
            “Biasanya Gaek tak pernah absen.”
            Orang-orang kampung yang baru selesai menunaikan salat Isya berjamaah sama-sama heran dengan kenyataan itu. Biasanya Gaek Rusin adalah jamaah tetap yang selalu datang ke masjid bagaimanapun keadaannya; hujan, panas, mati lampu, air mati, atau badannya demam, batuk-batuk, pilek... Tubuh tuanya yang masih kuat karena selalu bekerja di ladang tak akan dilupakan orang. Bersarung bugis, baju gunting cina warna putih, dan kopiah hitam pudar di kepala. Gaek Rusin terpatah-patah bila bicara, tetapi bila bertahlil suaranya nyaring dan fasih, merintih sedih membuat orang-orang terhanyut dalam zikir.
            “Laa ilaaha illallah! Laa ilaaha illallah! Laa ilaaha illallah!” Kepalanya akan bergoyang kiri-kanan yang akan diikuti anak-anak dengan tergelak-gelak riang.
            Gaek Rusin tak datang-datang lagi ke masjid untuk salat, tepatnya setelah Haji Karim meninggal dan disalatkan setelah shalat Jumat. Gaek ikut menjadi makmum, namun Magribnya dia tak muncul, Isya juga tidak, Subuh esoknya pun tidak, juga Magrib esoknya, Isya esoknya, Subuh lusanya... beberapa hari kemudian Gaek Rusin ditemukan telah beku di ladang.
*
Tentu saja, Gaek Rusin tidak secara tiba-tiba mati dan tercampak di ladang. Sebelumnya, dia telah sering bercerita banyak dengan istrinya yang bagi orang perasa akan dianggap sebagai isyarat kepergian. Istri Gaek memang ada mengira begitu, namun dia tak terlalu mempersoalkan, sebab baginya keajaiban apalagi yang paling masuk akal terjadi atas diri seseorang yang telah usang usia selain kematian?
            “Aku telah menanam durian sebatang lagi.” Beritahu Gaek suatu malam sepulang dari masjid pada sang istri yang juga sudah tua. “Fauzi suka sekali buah durian. Kau ingat ketika dulu dia pernah mendemam dua hari dua malam gara-gara kebanyakan makan durian dengan ketan?” Gaek terkekeh-kekeh sampai tersedak. Giginya tanggal hampir semua.
            “Iya, engkau terlalu memperturutkan maunya, sudah jelas dia habis makan rambutan banyak-banyak. Tak tahulah aku kalau dia sampai makan buah manggis pula, mungkin tak akan pernah dia menjadi pejabat...”
            “Di dekat banda garosong telah kutanam empat batang alpukat, itu buat Azra.”
            “Ohya? Dia memang berhantu benar pada alpukat, itu yang membuat otaknya pintar.”
            “Tapi alpukat membuat mata mengantuk.”
            “Tapi nyonya-nyonya sekarang dan anak-anak gadis menjadikannya lulur untuk kecantikan.”
            “Kau dulu juga memakainya?”
            Istri Gaek menepuk pipi lelaki tua itu yang sudah lisut.
“Untuk Zulkifli telah kutanam ampalam di dekat kolam. Dia suka sekali yang masam-masam.”
“Tapi ladang itu sudah penuh.”
“Biar saja.”
“Tapi durian, alpukat, dan palam-palam yang sebelumnya ditanam buahnya sudah melimpah tak termakan.”
“Biar saja.”
“Lalu untuk Imah?”
“Hahaha, dia anak perempuan. Kutanam batang surian untuknya.”
“Batang surian? Itu tak bisa dimakan.”
“Buat bantu-bantu kayu api dan pembuat kasau rumahnya.”
Istri Gaek Rusin tersenyum kecil. “Apa yang kautanam untukku?”
            “Untukmu?”
            “Ya.” Perempuan itu memilih-milih rimah nasi yang tercecer di lapik pandan.  “Kunyit, sipadeh, langkuweh, serai, ruku-ruku, dan daun salam lagi untuk masak sambal buatmu?”
            “Ya, ya, tentu. Kau sudah lama tak membuatkanku sampadeh limbek.. ceps...ceps.. ceps..” Gaek berdecap-decap. “Nanti akan kucoba menahan lukah di bawah titian, untung-untung masih ada ikan limbek di sana.”
            “Jadi benar, hanya itu yang kautanam untukku?”
            “Tentulah, Rubana Sayang, Anak Rang Kayo Gadang dari Parak Gadang.” Gaek Rusin terkekeh-kekeh. Istrinya merajuk. Cemberut. Gaek Rusin menyungkupkan kain lap tangan ke kepala istrinya, membuat perempuan gemuk keriput itu merentak-rentak dan Gaek tertawa makin riang. “Oho, tenang! Aku telah menyiapkan sepetak tanah di ladang. Telah kutanami sekelilingnya bunga tanjung dan batang-batang jarak serta puring emas. Untuk kita.”
            Air mata istrinya seketika berderai. “Tapi Zulkifli tak pulang-pulang. Juga Fauzi dan Azra. Halimah pun tak pernah mencogok.”
            Gaek Rusin kontan termenung.
            “Kalau aku yang mati dulu, syukurlah, ada engkau yang akan mengurus. Tapi bila engkau yang dulu, siapa yang akan menyalatkan?”
*
            Dan kemudian, di wajah Gaek Rusin hanya ditemukan mendung. Tak terdengar lagi dia bertutur dengan bersemangat tentang kisah-kisah dalam Tambo atau pengalaman serunya di masa Bagolak. Gaek jadi sering tercenung. Bisu mematung. Setiap akan berangkat ke ladang, sikapnya seperti orang yang akan pergi tak kembali. Raut risau dan tertekan. Bila pulang dari ladang dia begitu jerih seperti baru selesai kerja rodi.
            Puncaknya adalah Jumat itu sepulang mengantar jenazah Haji Karim ke pandam pekuburan. Mukanya pias berkabung. Dia tak ke ladang sore harinya. Hanya termenung di belakang rumah. Menatap kosong batang-batang jambu paraweh dan sawo yang buahnya berjatuhan terbuang. Tak ada lagi anak-anak yang bergelayut berebut buah-buah ranum. Di seruas dahan jambu ada seutas tali sisa ayunan puluhan tahun silam.
            Gaek Rusin terkenang lengking tawa anak-anaknya. Ayunan yang berkelebat. Bedil-bedil pelepah pisang. Semburan biji jambu paraweh. Ribut pertengkaran. Cekikik Halimah dan Azra mandi hujan. Fauzi yang suka bernyanyi dendang sambil memanjat dari cabang ke cabang. Zulkifli yang pernah diikatnya di pangkal batang sawo karena ketahuan mencuri uang...
Istri Gaek Rusin telah berdiri di belakang lelaki tua itu dengan tak kalah murung.   Gaek Rusin tahu tapi tetap menatap ke depan. “Tadi anak Haji Karim yang menjadi imam.”
            Istrinya menghela napas. “Aku telah minta tolong pada Roby anak Si Tini untuk menulis surat pada Fauzi, Azra, dan Zulkifli, juga Halimah. Aku menyuruh mereka pulang.”
*
            Bukankah telah belasan atau berpuluh kali mereka mengirim surat dengan bantuan anak-cucu tetangga? Hasilnya nihil. Jangankan batang hidung mereka, surat balasan pun tak tiba. Mereka telah pergi seperti batu jatuh ke lubuk. Hilang.
            Setelah salat Subuh yang begitu lama di lantai rumah disertai air mata, Gaek Rusin pamit pada istrinya pergi ke ladang. Istrinya memasukkan botol air minum ke dalam tas pandan rajutan beserta pisang rebus, tetapi Gaek menolak.
            “Hari ini aku puasa,” katanya.
            Pagi remang-remang. Dua orang tua saling memandang.
            “Jadi kau antarkan beras dan uang zakat kepada garin masjid?”
            Istri Gaek Rusin mengangguk.
            “Durian Fauzi yang dekat pagar telah berbunga kembali...”
            Istri Gaek Rusin menekur.
            “Di dahan ampalam telah bisa dipasang buaian...”
            Istri Gaek Rusin menyusut ingusnya yang meleleh dari hidung.
            “Ladang kita begitu subur dan indah.”
            “Aku akan membuatkan sampadeh untukmu.” Istrinya berbalik ke dapur. “Janganlah pulang terlalu petang.”
*
            Menjelang petang, seorang penjerat burung menemukan Gaek Rusin telah beku di dekat sebuah lubang di ladang yang dikelilingi pohon bunga tanjung, batang jarak, dan puring-puring emas yang belum lama ditanam.[]