Sunday 22 August 2021

Lantak


cerpen Ragdi F. Daye


 

 

 

 

 

 

 

 

Kiyin ka mari mak, oi kadikaja mak

oi nan dek ulah nak kanduang gadang salero

oi nan dek ulah nak kanduang gadang salero

Kalau lah mato mak, talampau liya oi

lah kok di nan data oi badan tataruang juo*

 

Hari ini Tera sedang merah. Harapannya hancur sudah.

Rasa sedih dan marah mengamuk di dalam dadanya. Dia memperbaiki potongan handuk di selangkangan sebelum mengeratkan lilitan sarung di pinggang. Di rumah tidak ada persediaan pembalut dan dia tak punya waktu untuk sekadar berjalan beberapa langkah ke kedai Simar dekat pos kamling membeli tampon sintetis celaka itu. Orang-orang tambang sudah datang. Mereka membawa tentara dan polisi. Dia harus bergegas. Tera tak ingin dirinya tidak ikut bergabung bersama Niyas dan ibu-ibu lain memblokade jalan ke titik sumur di punggung Bukik Telang. Pertahanan terakhir mereka.

Mereka tak akan membiarkan satu mobil, truk, atau kendaraan apa pun ditumpangi orang-orang tambang itu untuk mencucuk tanah mereka dengan bor hingga ke dasar demi menemukan panas bumi yang akan digunakan sebagai pembangkit listrik. Sudah lebih dari tiga bulan mereka bertahan menjadi benteng hidup menolak didirikannya PLTP di negeri mereka. Mereka teramat lelah tapi tak akan menyerah.

 “Kalau sempat terjual negeri kami, ke mana anak-cucu kami akan tinggal?” begitu seru Niyas petang Kamis lalu kepada bapak-bapak pejabat yang datang untuk membujuk mereka. Kata orang-orang kampung, pegawai-pegawai itu disuruh atasan mereka menjinakkan warga. “Bapak-bapak jangan karena memikirkan komisi yang sedikit lalu menggadaikan tanah kami!”

“Tidak gampang mendatangkan investor, Ibu-ibu... jangan beri kesan tidak menyenangkan jika ingin negeri kita maju pula seperti negeri orang-orang!” tukas seorang pejabat kantor bupati sambil menyeka peluh. “Apa Ibu-ibu senang bila daerah kita selalu terbelakang?”

“Bagi kami biarlah dianggap terbelakang yang penting selama ini kami bisa makan tanpa meminta-minta dan anak-anak kami tetap sekolah, Pak,” sahut Niyas didukung para kaum perempuan.

“Terbelakang apa pula maksudnya ini, Pak?” Bujang Ladiang yang memakai kain sebo tebal membentak. “Jagalah muncung Bapak kalau bicara!” kata-katanya memicu gemuruh geram kaum laki-laki.

”Den kapiang kapalo tu beko baru tau!”

“Asa ka mangango se bibia buruak tu!”

“Tenang, Bapak-bapak, Ibu-ibu... Pembangunan di negeri kita masih kalah dibandingkan daerah-daerah lain. Itu karena sikap kita yang tidak mau terbuka. Terlalu mempersulit. Apa yang akan dibuat oleh proyek ini bagus untuk kita. Energi terbarukan. Ini yang dicari orang seluruh dunia sekarang. Harusnya kita senang ada yang mau membantu kita, memilih negeri kita...”

“Bukan kami tak mau dibantu, Pak. Tapi kalau seperti Belanda minta tanah kami tidak mau! Awalnya hanya membuat satu-dua lubang, lama-lama seluruh tanah di sini dirampas,” balas Tera disambut suara riuh ibu-ibu.

“Kami sudah dengar akibat yang terjadi di Muaro Taduah dan Rimbo Jati. Padi-padi menjadi rusak dan tanaman-tanaman mati!”

 “Kalau tanah ini gersang hanya ditumbuhi ilalang tak apa-apa, Pak. Kami tak akan menolak. Tapi ini tanah subur. Sumber kehidupan kami. Mau makan apa kami nanti yang hanya tahu berladang ini.”

“Kami tak mau dijajah, Pak! Cukuplah tiga setengah abad ditambah tiga setengah tahun yang dulu itu sebagai pelajaran!”

Balas berbalas kata yang telah berubah menjadi perdebatan sengit bertambah gaduh ketika ada yang berseru-seru ‘Bakar! Bakar! Bakar!’ dan tiba-tiba dalam sekejap mobil dobel gardan yang membawa orang PT dan pejabat dari kantor bupati mengobarkan api. Satu mobil. Dua mobil. Tiga mobil.

Lalu terdengar suara tembakan menggegar menggemparkan Bukik Telang.

 

*

 

Penyakit Dapian bertambah parah sehingga Tera tak bisa berangkat cepat.  Terlebih dahulu dia harus menyiapkan makanan dan obat suaminya. Membantu mantan perantau itu membersihkan badan dan ganti pakaian. Berkali-kali Pik Rani menelepon menyuruhnya bergegas.

“Keadaan tambah gawat. Sudah belasan yang ditangkap. Niyas...”

Tera memacu sepeda motor di jalan Bandes yang berkelok-kelok membelah sawah dan ladang. Hamparan kebun bawang, seledri, lobak, kentang, stroberi, wortel, tomat, cabai, ubi, dan aneka macam sayuran lain. Tak terbayangkan olehnya bila tanaman-tanaman itu berganti gurun tandus yang ditumbuhi perdu ilalang.

Perempuan tiga puluh dua tahun itu menyesali kondisi yang di luar kendali. Masyarakat sekitar memang telah diimbau untuk ikut menolak rencana didirikannya pembangkit listrik. Namun dengan cara-cara yang baik. Selama ini mereka telah menyampaikan aspirasi seperti yang ada di berita televisi. Aksi protes tanpa kekerasan. Jika mau, masyarakat bisa saja angkat senjata mengusir orang-orang tambang. Tapi itu tentu melanggar hukum. Mereka tak mau dicap anarkis. Sebab itulah mereka memilih jalan membuat blokade manusia yang menutup akses perusahaan tambang ke lokasi eksplorasi.

Pikir Tera mungkin karena masyarakat telah lelah sehingga peristiwa buruk itu terjadi. Mereka cuma kaum petani yang hanya kenal tanah dan musim tanaman. Tiba-tiba harus mengambil peran jadi pengunjuk rasa seperti orang-orang di kota. Mereka tak bisa meninggalkan ladang, namun mereka juga harus melanjutkan penolakan. Mereka merasa seperti berada di zaman penjajahan ketika apa yang mereka miliki teramcam dirampas paksa. Hewan yang teritorialnya terancam pun pasti akan mempertahankan diri. Dilema itu benar-benar menguji kesabaran. Memperuncing emosi. Keadaan diperburuk oleh para aparat pemerintah yang seperti tidak berpihak kepada mereka. Seolah-olah telah terbangun dua kubu yang bertentangan siap untuk menggebuk genderang perang.

“Hei, mau ke mana kau, Ra?” seorang laki-laki menghentikan sepeda motor Tera. Ajilatang.

“Galadie!” Tera nyaris terlempar dari motor karena harus mengerem mendadak di jalanan melereng berkerikil. Spontan mulutnya mengumpat-umpat. Ajilatang berdiri di tengah jalan yang terlindung naungan batang asam kandis. Badannya semakin besar seperti beruang Bukit Barisan. Tangannya mencengkram setang motor Tera.

“Coba kutebak, kau baru selesai mengurus lakimu yang sakit-sakitan itu sehingga ketinggalan oleh gerombolan cigak berukmu! Iya, bukan? Hahahah...!”

Perut Tera perih. Ada darah merembes dari sobekan handuk di sela pahanya. HP di saku celana panjang di balik sarungnya berbunyi-bunyi. Pasti kawan-kawannya telah resah menunggu. “Urus saja ternak-ternakmu yang beranak pinak di setiap kampung itu jika tak akan membantu! Awaslah! Aku tergegas!”

Ajilatang bergeming.

“Mengapa kau selalu memusuhiku? Seperti ada dendam yang tidak tuntas...”

“Jangan bawa-bawa masa lalu! Ini soal masa depan.”

“Masa depan apa, Kentut? Punya anak satu pun kau tidak!”

Tera geram. Tiap kali mereka berseteru, Ajilatang selalu mengungkit-ungkit masa lalu mereka. Lebih kurang ajar lagi, lelaki berkumis tebal itu selalu mengulang kalimat yang membuat Tera ingin muntah, “Coba dulu kau menikah denganku, sudah tujuh kukasih kau anak!”

“Awaslah, Bingkarung...!”

“Kau jangan bertindak bodoh, Tera! Niyas gila itu sudah mengaku bahwa kalian telah menghasut orang orang-orang untuk menolak PT. Katanya kaulah yang menghubungi kelompok mahasiswa di kota untuk memasukkan berita di kampung ini ke internet. Menyebarkan foto-foto aksi protes kalian. Membuat video kalian menghalang jalan di pendakian. Taik sapi! Mau jadi artis kau?”

“Apa kata kau? Niyas tak mungkin berkata seperti itu!”

Ajilatang mengeluarkan telepon genggamnya lalu mendekatkan ke depan Tera. “Lihat ini!”

Sebuah rekaman singkat diputar Ajilatang.

Terlihat Niyas dengan mata dan hidung bengkak bicara terbata-bata. Kain songkok penutup kepalanya bertengger kacau tak karu-karuan.

“Ya, Allah! Apa yang terjadi pada Niyas? Dari mana kau dapat video itu?”

“Aku mendapat kiriman video itu sebentar ini. Mudah-mudahan gaek kareh angok itu masih hidup!”

Tera ingin menyangkal apa yang dilihatnya, namun dia hafal dengan baju yang dikenakan Niyas. Baju bekas lebaran itu telah berulang kali dipakainya menghadang orang proyek di pendakian ke pundak Bukik Telang.

            “Apa yang ada di otakmu, hah? Mau sok jadi pahlawan kau ya? Jangan kira karena kau perempuan maka kau akan dibiarkan terus berulah. Kalian mau menolak sampai kiamat pun, proyek itu akan tetap dibuka!”

 

*

 

            Bau kentang busuk.

            Tera merasakan nyeri di sekujur tubuhnya, terlebih di bagian kewanitaannya. Sobekan handuk penyumbat darah haidnya sudah tidak ada. Tangan dan kakinya terikat. Mulutnya penuh tersumpal kain. Kepalanya pening. Hampir dua jam dia pingsan. Dia tak mampu bergerak. Ratusan buah kentang seperti barikade yang memerangkap tubuhnya.

Tera ingin berteriak tapi tak bisa. Upaya memberontak untuk membebaskan diri juga sia-sia.

            Suasana di pendakian terbayang di matanya. Puluhan ibu-ibu petani dengan lipatan kain sarung atau tudung rotan penutup kepala duduk membentuk portal menutup jalan. Kaum laki-laki dengan baju-baju bau tanah berdiri di sekitar mereka sebagai pelindung. Sejumlah mahasiswa, jurnalis, dan aktivis lingkungan terus menguatkan perjuangan mereka. Berpanas mereka sama mandi peluh. Berhujan mereka sama kuyup.

            Samar-samar Tera ingat Ajilatang menyeretnya ke semak, memukulinya berkali-kali, mengikat tangannya, menyumpal mulutnya, menyumpah-nyumpah, menyudu kemaluannya, menghantam kepalanya...

            Sebuas itukah kebenciannya karena cinta yang tak dibalas, Tera membatin. Seiblis itukah dia untuk jadi pengkhianat?

            Angin Bukik Telang yang dingin meniup-niup karung goni yang membungkus tubuh Tera. Karung berwarna cokelat gelap itu diikat di jok belakang sepeda motor yang menderu menuju danau. Di jalan yang berliku-liku, sepeda motor itu berpapasan dengan kendaraan-kendaraan lain yang mengangkut karung-karung berisi hasil panen atau pupuk. Bau bawang dan kol begitu tajam diterbangkan angin.

            “Sebenarnya aku hanya disuruh membungkam perempuan celaka itu...,” sang pengendara berucap sambil menyentuh muatan di belakangnya.

            Lelaki itu membelokkan sepeda motor ke jalan setapak melewati bekas ladang yang ditinggalkan. Jalan berakhir di tubir jurang.

 

*

 

            Pondok di tepi pendakian jalan ke puncak itu lengang. Tungku batu di halaman yang pernah selalu berasap tinggal puntung-puntung kayu. Sisa robekan spanduk tergayut di kayu kasau, sendal jepit putus di depan pintu, mantel plastik, cangkir, botol minuman, kain telekung yang ketinggalan...

            Tak ada lagi kerumunan ibu-ibu bau bawang yang membuat blokade penghalang orang tambang. Mereka takut menjadi mayat terapung di dalam karung.[]

 

Padang, 2021

                       

Catatan:

* Potongan dendang yang maknanya tidak baik jika terlalu menurutkan hawa nafsu.

No comments:

Post a Comment