Tuesday 17 May 2016

Mendengarkan, Menguatkan; Konseling dalam Rehabilitasi Tuna Susila

Oleh Ade Efdira



“Saya tidak pernah berniat jadi pelacur. Kalau boleh memilih, saya ingin jadi wanita baik-baik seperti wanita lain; bersuami, mengurus anak-anak, mendapatkan uang yang halal... Saya juga takut kena HIV, sakit-sakit, lalu mati.”
Seperti dalam drama telenovela, sepasang mata perempuan di seberang saya berkerjap-kerjap sedih, lalu ada air merebak turun dari kelopak yang telah berbilang hari tak mendapat sapuan eye shadow. Dia terisak pelan dan saya diam membiarkan; memelihara suasana tenang yang mengalirkan rasa percaya. Klien saya sedang menyuarakan masa lalunya yang suram. Sebagai pekerja sosial, saya di sana hadir untuk membantunya memandang diri sendiri, mengevaluasi, dan membangkitkan kesadaran untuk berubah. Bukan untuk menghakimi, tapi membantunya memilih langkah baru untuk hari esok yang masih terbentang, panjang. Kami sedang berkomunikasi.
Komunikasi yang berasal dari bahasa Latin communicatio, sesungguhnya berarti kesamaan pemahaman antara orang-orang yang saling berhubungan. Kesepahaman makna tersebut dapat terwujud dalam bentuk jawaban, respons, atau proses interaksi oleh orang-orang yang saling berkomunikasi. Komunikasi sangat penting dalam kehidupan manusia karena dapat menimbulkan sense of identity, yakni identitas personal yang terbentuk dari tanggapan orang lain terhadap diri dan menjadi refleksi. Komunikasi dapat meningkatkan kualitas kesehatan fisik dan psikologis. Sebaliknya, isolasi sosial dapat menyebabkan stres, kejenuhan, gangguan tidur, depresi, dan kematian awal (dalam Enjang, 2009:13-30). Komunikasi, dalam situasi rehabilitasi sosial seperti di atas, sangat penting untuk menjemput kesadaran spiritual dan sosial para klien saya yang merupakan eks wanita tuna susila untuk memahamkan bahwa perbuatan mereka salah karena melanggar norma-norma, dan mereka harus mendengar hati nurani yang mengharapkan mereka menjadi manusia baik-baik.
Kegiatan pengungkapan masalah klien tersebut dalam rangkaian tugas pekerja sosial disebut asesmen atau pengungkapan masalah. Secara prinsip, asesmen sama dengan konseling, berkomunikasi untuk menggali persoalan klien dan mencarikan jalan keluar untuk memperbaiki masa depan. Pada proses konseling, seorang konselor berkomunikasi untuk mengumpulkan informasi terkait dengan permasalahan klien, kemudian menyampaikan solusi untuk memecahkan permasalahan tersebut. Tanpa komunikasi, sangat riskan bagi konselor dapat mengetahui dan memahami permasalahan yang dihadapi kliennya, begitu juga memberikan nasihat untuk menyelesaikan masalah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konseling adalah (1) pemberian bimbingan oleh yang ahli kepada seseorang dengan menggunakan metode psikologis dan sebagainya; pengarahan; (2) pemberian bantuan oleh konselor kepada konseli sedemikian rupa sehingga pemahaman terhadap kemampuan diri sendiri meningkat dalam memecahkan berbagai masalah; penyuluhan. Konseling berasal dari bahasa Inggris, yaitu counseling, yang berarti nasihat (to abtain counsel), anjuran (to give counsel), dan pembicaraan (to take counsel). Dari istilah tersebut, konseling diartikan sebagai pemberian nasihat, anjuran, dan pembicaraan bertukar pikiran untuk memahami keadaan diri serta kemampuan dan potensi yang dimiliki (dalam Enjang, hal. 33). Meskipun dalam proses konseling terjadi komunikasi antara konselor dengan klien, namun segala tindakan yang kemudian dilakukan oleh klien sepenuhnya berdasarkan kesadaran dan prakarsa klien karena hal tersebut merupakan haknya untuk membuat pilihan. Konselor berfungsi sebagai fasilitator yang membantu menciptakan suasana yang nyaman bagi klien untuk memecahkan masalahnya.
Suasana kondusif diciptakan konselor melalui komunikasi dalam membuka dan mengawali proses konseling; mengumpulkan, merangkum, dan membantu mencari solusi atas persoalan psikologis yang sedang dihadapi klien; menunjukkan respons positif sehingga klien merasa aman dan nyaman serta merasa diterima dengan baik; mengembangkan kualitas kesehatan mental klien; mengembangkan perilaku lebih efektif pada diri klien terhdap lingkungannya; dan membangun rasa percaya diri dalam menanggulangi problem hidup klien sehingga pada akhirnya bisa mandiri.
Sekalipun, misalnya, klien tidak memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, seorang konselor harus mahir untuk melancarkan arus komunikasi antara dirinya dengan klien karena dalam konseling terjadi komunikasi interpersonal (antarpribadi). Hal yang dapat dilakukan konselor adalah berupaya menciptakan suasana yang hangat dan menumbuhkan rasa percaya pada diri klien sehingga dia tidak merasa kesepian dan diasingkan dari kehidupan. Apabila klien telah memiliki kepercayaan terhadap dirinya dan konselor, maka dengan bantuan konselor dia akan dapat mengungkapkan beban psikologisnya secara konkret.
Pada saat klien mengungkapkan permasalahan dirinya, seorang pekerja sosial mendengarkan. Tujuan mendengarkan adalah untuk mencari tahu persoalan, menunjukkan dukungan atau bantuan, memberikan penilaian, dan sebagai aktivitas terapi. “Mendengarkan berarti menerima kuatnya sisi kepentingan manusia yang diceritakan kepada kita. Kita dapat mendengar seperti dinding kosong atau seperti auditorium yang bagus, yang setiap suara memantul lebih penuh dan lebih kaya,” demikian tutur penulis Alice Duer Miller (dalam Enjang, 2009:156).
Demikian juga dengan proses asesmen dalam tahapan rehabilitasi sosial, seorang pekerja sosial melakukan wawancara dengan kliennya yang merupakan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Boleh disebut, PMKS adalah residu masyarakat, kaum yang terbuang, tersisih, tercela, termarginalkan, atau sampah masyarakat. Mereka di antaranya adalah anak jalanan, pengemis, orang terlantar, residivis, orang gila, penderita cacat mental, penderita HIV/Aids, pecandu narkoba, dan tuna susila. Seorang pekerja sosial yang ditugaskan untuk mengembalikan kompetensi sosial para PMKS, mau tak mau harus menjalin komunikasi dengan warga binaannya, kliennya, agar dapat memulihkan mereka sebagai makhluk sosial yang dapat kembali menyatu dengan masyarakat.
Sebagai residu, tidak mudah bagi para klien untuk memulihkan diri sendiri yang diawali dengan berbicara kepada pekerja sosial tentang siapa dirinya, apa yang telah dia lakukan, mengapa dia berbuat demikian, bagaimana pandangannya terhadap perbuatannya, tahukah dia dengan norma-norma, bila telah tahu maukah dia berhenti melakukan kesalahannya, apa hal yang menjadi hambatan dia berubah, pekerjaan apa yang dapat dia lakukan agar tidak mengulang lagi perbuatan buruknya di masa lalu, siapa orang yang bisa mendukungnya, sudah adakah niat di dalam hatinya untuk berubah.... Sulit memang, namun pekerja sosial akan membantunya untuk menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan itu dan membuat keputusan untuk memperbaiki diri, sebab dia hidup di dalam kehidupannya. Pilihan ada di tangannya, bukan di tangan orang lain.
Proses tersebut dapat terlaksana apabila dalam komunikasi dengan kliennya, pekerja sosial memiliki empati. Menurut Hodges, S.D., & Klein, K.J. (2001) dalam  artikel “Regulating The Costs Of Empathy: The Price Of Being Human”, empati adalah kemampuan dengan berbagai definisi yang berbeda yang mencakup spektrum yang luas, berkisar pada orang lain yang menciptakan keinginan untuk menolong sesama, mengalami emosi yang serupa dengan emosi orang lain, mengetahui apa yang orang lain rasakan dan pikirkan, mengaburkan garis antara diri dan orang lain. Adanya empati membuat seseorang dapat merasakan emosi orang lain dan turut membantu menyelesaikan permasalahan.
Para ahli mengidentifikasi tiga pendekatan dalam empati, yakni empathic rensponsiveness, perspective taking, dan sympathetic  responsiveness. Pendekatan pertama, empathic rensponsiveness, memberikan respons emosional yang sama dengan orang lain seolah ikut mengalami yang biasanya tercipta apabila memiliki kedekatan personal dengan orang tersebut. Pendekatan perspective taking berusaha membayangkan diri sendiri berada pada posisi atau kondisi yang dialami orang lain. Sedangkan pendekatan ketiga, sympathetic  responsiveness, berupa ikut sedih, prihatin, dan menyesal atas apa yang dialami oleh orang lain. Kecenderungan karakter yang berorientasi pada diri sendiri (egosentrisme) menghambat kemampuan empati seorang pekerja sosial. Untuk dapat memahami perasaan orang lain, selain mencerna pesan verbalnya, kita perlu menangkap pesan-pesan nonverbalnya, yakni nada bicara, gerak-gerik, dan ekspresi wajah sebab dalam komunikasi, pesan emosional 90% disampaikan oleh tubuh (secara nonverbal), bukan melalui kata-kata.
Ada beberapa cara untuk meningkatkan kemampuan empati, yakni memandang orang lain sebagai manusia, bukan sebagai obyek; pusatkan perhatian untuk menangkap pesan verbal dan nonverbal; perhatikan isyarat perilaku untuk mengetahui keadaan emosinya; coba rasakan apa yang dirasakan orang lain; coba ingat atau bayangkan perasaan kita bila berada dalam situasi yang sama; dan biarkan diri mengalami perasaan sedih, prihatin, atau menyesal seperti yang dialami orang tersebut.
Pada kasus klien eks wanita tuna susila di atas, sebagai seorang pekerja sosial, saya dengan empati menyediakan suasana nyaman untuk konseling sehingga warga binaan tersebut dapat dengan leluasa mengungkapkan persoalan yang membelitnya hingga terjerumus ke lumpur prostitusi, lalu membangkitkan kesadaran normatifnya, untuk kemudian memberinya kesempatan untuk memotivasi diri sendiri bahwa rehabilitasi sosial yang sekarang dijalaninya bukanlah sebuah hukuman, melainkan kesempatan untuk terlahir kembali sebagai manusia baru yang lebih baik.
“Tidak. Saya tidak mau lagi kerja di kafe itu lagi, meski bayarannya tinggi, dan saya tahu saya sangat butuh uang untuk membiayai ibu saya yang sakit jantung. Tapi saya akan kembali bekerja di pabrik roti... Biarlah. Mungkin saya tidak bisa menikah dulu. Biarlah saya mengobati ibu untuk menebus dosa saya. Itu bila ibu mau menerima saya pulang...”
Klien saya menyeka matanya dengan ujung jilbab. Proses rehabilitasi sosialnya masih lama. Namun saya percaya, dia bisa kembali fitrah, bila dia punya niat dan mau berusaha.[]
Ade Efdira adalah Pekerja Sosial Pertama
pada Dinas Sosial Provinsi Sumatera Barat

 Dimuat di Harian Singgalang edisi Minggu, 24 April 2016

No comments:

Post a Comment