Oleh Ade Efdira
“Saya tidak pernah berniat jadi
pelacur. Kalau boleh memilih, saya ingin jadi wanita baik-baik seperti wanita
lain; bersuami, mengurus anak-anak, mendapatkan uang yang halal... Saya juga
takut kena HIV, sakit-sakit, lalu mati.”
Seperti
dalam drama telenovela, sepasang mata perempuan di seberang saya
berkerjap-kerjap sedih, lalu ada air merebak turun dari kelopak yang telah
berbilang hari tak mendapat sapuan eye
shadow. Dia terisak pelan dan saya diam membiarkan; memelihara suasana
tenang yang mengalirkan rasa percaya. Klien saya sedang menyuarakan masa
lalunya yang suram. Sebagai pekerja sosial, saya di sana hadir untuk
membantunya memandang diri sendiri, mengevaluasi, dan membangkitkan kesadaran
untuk berubah. Bukan untuk menghakimi, tapi membantunya memilih langkah baru
untuk hari esok yang masih terbentang, panjang. Kami sedang berkomunikasi.
Komunikasi
yang berasal dari bahasa Latin communicatio,
sesungguhnya berarti kesamaan pemahaman antara orang-orang yang saling
berhubungan. Kesepahaman makna tersebut dapat terwujud dalam bentuk jawaban,
respons, atau proses interaksi oleh orang-orang yang saling berkomunikasi. Komunikasi
sangat penting dalam kehidupan manusia karena dapat menimbulkan sense of identity, yakni identitas
personal yang terbentuk dari tanggapan orang lain terhadap diri dan menjadi
refleksi. Komunikasi dapat meningkatkan kualitas kesehatan fisik dan
psikologis. Sebaliknya, isolasi sosial dapat menyebabkan stres, kejenuhan,
gangguan tidur, depresi, dan kematian awal (dalam Enjang, 2009:13-30).
Komunikasi, dalam situasi rehabilitasi sosial seperti di atas, sangat penting
untuk menjemput kesadaran spiritual dan sosial para klien saya yang merupakan
eks wanita tuna susila untuk memahamkan bahwa perbuatan mereka salah karena
melanggar norma-norma, dan mereka harus mendengar hati nurani yang mengharapkan
mereka menjadi manusia baik-baik.
Kegiatan
pengungkapan masalah klien tersebut dalam rangkaian tugas pekerja sosial
disebut asesmen atau pengungkapan masalah. Secara prinsip, asesmen sama dengan
konseling, berkomunikasi untuk menggali persoalan klien dan mencarikan jalan
keluar untuk memperbaiki masa depan. Pada proses konseling, seorang konselor
berkomunikasi untuk mengumpulkan informasi terkait dengan permasalahan klien,
kemudian menyampaikan solusi untuk memecahkan permasalahan tersebut. Tanpa
komunikasi, sangat riskan bagi konselor dapat mengetahui dan memahami
permasalahan yang dihadapi kliennya, begitu juga memberikan nasihat untuk
menyelesaikan masalah.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, konseling adalah (1) pemberian bimbingan oleh yang
ahli kepada seseorang dengan menggunakan metode psikologis dan sebagainya;
pengarahan; (2) pemberian bantuan oleh konselor kepada konseli sedemikian rupa
sehingga pemahaman terhadap kemampuan diri sendiri meningkat dalam memecahkan
berbagai masalah; penyuluhan. Konseling berasal dari bahasa Inggris, yaitu counseling, yang berarti nasihat (to abtain counsel), anjuran (to give counsel), dan pembicaraan (to take counsel). Dari istilah
tersebut, konseling diartikan sebagai pemberian nasihat, anjuran, dan
pembicaraan bertukar pikiran untuk memahami keadaan diri serta kemampuan dan
potensi yang dimiliki (dalam Enjang, hal. 33). Meskipun dalam proses konseling
terjadi komunikasi antara konselor dengan klien, namun segala tindakan yang
kemudian dilakukan oleh klien sepenuhnya berdasarkan kesadaran dan prakarsa
klien karena hal tersebut merupakan haknya untuk membuat pilihan. Konselor
berfungsi sebagai fasilitator yang membantu menciptakan suasana yang nyaman
bagi klien untuk memecahkan masalahnya.
Suasana
kondusif diciptakan konselor melalui komunikasi dalam membuka dan mengawali
proses konseling; mengumpulkan, merangkum, dan membantu mencari solusi atas
persoalan psikologis yang sedang dihadapi klien; menunjukkan respons positif
sehingga klien merasa aman dan nyaman serta merasa diterima dengan baik;
mengembangkan kualitas kesehatan mental klien; mengembangkan perilaku lebih efektif
pada diri klien terhdap lingkungannya; dan membangun rasa percaya diri dalam
menanggulangi problem hidup klien sehingga pada akhirnya bisa mandiri.
Sekalipun,
misalnya, klien tidak memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, seorang
konselor harus mahir untuk melancarkan arus komunikasi antara dirinya dengan
klien karena dalam konseling terjadi komunikasi interpersonal (antarpribadi).
Hal yang dapat dilakukan konselor adalah berupaya menciptakan suasana yang
hangat dan menumbuhkan rasa percaya pada diri klien sehingga dia tidak merasa
kesepian dan diasingkan dari kehidupan. Apabila klien telah memiliki
kepercayaan terhadap dirinya dan konselor, maka dengan bantuan konselor dia
akan dapat mengungkapkan beban psikologisnya secara konkret.
Pada
saat klien mengungkapkan permasalahan dirinya, seorang pekerja sosial
mendengarkan. Tujuan mendengarkan adalah untuk mencari tahu persoalan,
menunjukkan dukungan atau bantuan, memberikan penilaian, dan sebagai aktivitas
terapi. “Mendengarkan berarti menerima kuatnya sisi kepentingan manusia yang
diceritakan kepada kita. Kita dapat mendengar seperti dinding kosong atau
seperti auditorium yang bagus, yang setiap suara memantul lebih penuh dan lebih
kaya,” demikian tutur penulis Alice Duer Miller (dalam Enjang, 2009:156).
Demikian
juga dengan proses asesmen dalam tahapan rehabilitasi sosial, seorang pekerja
sosial melakukan wawancara dengan kliennya yang merupakan penyandang masalah
kesejahteraan sosial (PMKS). Boleh disebut, PMKS adalah residu masyarakat, kaum
yang terbuang, tersisih, tercela, termarginalkan, atau sampah masyarakat.
Mereka di antaranya adalah anak jalanan, pengemis, orang terlantar, residivis,
orang gila, penderita cacat mental, penderita HIV/Aids, pecandu narkoba, dan
tuna susila. Seorang pekerja sosial yang ditugaskan untuk mengembalikan
kompetensi sosial para PMKS, mau tak mau harus menjalin komunikasi dengan warga
binaannya, kliennya, agar dapat memulihkan mereka sebagai makhluk sosial yang
dapat kembali menyatu dengan masyarakat.
Sebagai
residu, tidak mudah bagi para klien untuk memulihkan diri sendiri yang diawali
dengan berbicara kepada pekerja sosial tentang siapa dirinya, apa yang telah
dia lakukan, mengapa dia berbuat demikian, bagaimana pandangannya terhadap
perbuatannya, tahukah dia dengan norma-norma, bila telah tahu maukah dia
berhenti melakukan kesalahannya, apa hal yang menjadi hambatan dia berubah, pekerjaan
apa yang dapat dia lakukan agar tidak mengulang lagi perbuatan buruknya di masa
lalu, siapa orang yang bisa mendukungnya, sudah adakah niat di dalam hatinya
untuk berubah.... Sulit memang, namun pekerja sosial akan membantunya untuk
menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan itu dan membuat keputusan untuk
memperbaiki diri, sebab dia hidup di dalam kehidupannya. Pilihan ada di
tangannya, bukan di tangan orang lain.
Proses
tersebut dapat terlaksana apabila dalam komunikasi dengan kliennya, pekerja
sosial memiliki empati. Menurut Hodges, S.D., & Klein, K.J. (2001) dalam artikel “Regulating
The Costs Of Empathy: The Price Of Being Human”, empati adalah kemampuan
dengan berbagai definisi yang berbeda yang mencakup spektrum yang luas,
berkisar pada orang lain yang menciptakan keinginan untuk menolong sesama,
mengalami emosi yang serupa dengan emosi orang lain, mengetahui apa yang orang
lain rasakan dan pikirkan, mengaburkan garis antara diri dan orang lain. Adanya
empati membuat seseorang dapat merasakan emosi orang lain dan turut membantu
menyelesaikan permasalahan.
Para
ahli mengidentifikasi tiga pendekatan dalam empati, yakni empathic rensponsiveness, perspective taking, dan sympathetic
responsiveness. Pendekatan pertama, empathic rensponsiveness, memberikan respons emosional yang sama
dengan orang lain seolah ikut mengalami yang biasanya tercipta apabila memiliki
kedekatan personal dengan orang tersebut. Pendekatan perspective taking berusaha membayangkan diri sendiri berada pada
posisi atau kondisi yang dialami orang lain. Sedangkan pendekatan ketiga, sympathetic
responsiveness, berupa ikut sedih,
prihatin, dan menyesal atas apa yang dialami oleh orang lain. Kecenderungan
karakter yang berorientasi pada diri sendiri (egosentrisme) menghambat kemampuan empati seorang pekerja sosial.
Untuk dapat memahami perasaan orang lain, selain mencerna pesan verbalnya, kita
perlu menangkap pesan-pesan nonverbalnya, yakni nada bicara, gerak-gerik, dan
ekspresi wajah sebab dalam komunikasi, pesan emosional 90% disampaikan oleh
tubuh (secara nonverbal), bukan melalui kata-kata.
Ada
beberapa cara untuk meningkatkan kemampuan empati, yakni memandang orang lain
sebagai manusia, bukan sebagai obyek; pusatkan perhatian untuk menangkap pesan
verbal dan nonverbal; perhatikan isyarat perilaku untuk mengetahui keadaan
emosinya; coba rasakan apa yang dirasakan orang lain; coba ingat atau bayangkan
perasaan kita bila berada dalam situasi yang sama; dan biarkan diri mengalami
perasaan sedih, prihatin, atau menyesal seperti yang dialami orang tersebut.
Pada
kasus klien eks wanita tuna susila di atas, sebagai seorang pekerja sosial, saya
dengan empati menyediakan suasana nyaman untuk konseling sehingga warga binaan tersebut
dapat dengan leluasa mengungkapkan persoalan yang membelitnya hingga terjerumus
ke lumpur prostitusi, lalu membangkitkan kesadaran normatifnya, untuk kemudian
memberinya kesempatan untuk memotivasi diri sendiri bahwa rehabilitasi sosial
yang sekarang dijalaninya bukanlah sebuah hukuman, melainkan kesempatan untuk
terlahir kembali sebagai manusia baru yang lebih baik.
“Tidak. Saya tidak mau
lagi kerja di kafe itu lagi, meski bayarannya tinggi, dan saya tahu saya sangat
butuh uang untuk membiayai ibu saya yang sakit jantung. Tapi saya akan kembali
bekerja di pabrik roti... Biarlah. Mungkin saya tidak bisa menikah dulu.
Biarlah saya mengobati ibu untuk menebus dosa saya. Itu bila ibu mau menerima
saya pulang...”
Klien
saya menyeka matanya dengan ujung jilbab. Proses rehabilitasi sosialnya masih
lama. Namun saya percaya, dia bisa kembali fitrah, bila dia punya niat dan mau
berusaha.[]
Ade Efdira adalah Pekerja Sosial
Pertama
pada Dinas Sosial Provinsi Sumatera
Barat
Dimuat di Harian Singgalang edisi Minggu, 24 April 2016
No comments:
Post a Comment