Tuesday 17 May 2016

Masa Depan Pelacur


Oleh Ade Efdira, SS*


Tuna Susila adalah seseorang yang melakukan hubungan seksual dangan sesama atau lawan jenis secara berulang-ulang dan bergantian di luar perkawinan yang sah dengan tujuan mendapatkan imbalan uang, materi, atau jasa (Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 8 Tahun 2012).

Aura (sebut saja begitu) kabur dari rumah setelah keperawanannya dicuri oleh sang pacar di sebuah hotel murah meriah di pinggir kota. Dia takut aibnya ketahuan orang tua yang hidup terpisah. Aura lalu menumpang di rumah seorang teman yang hobi kongkow-kongkow seperti dirinya. Sehari dua hari menumpang tentu tidak apa. Kalau berminggu dan berbulan? Tentu sungkan juga. Akhirnya Aura pun berkata, “Carikanlah aku tamu.” kepada sang teman yang  tiap sebentar dapat uang banyak untuk kemudian dihamburkan buat makan-makan dan beli baju mahal. Tak perlu waktu lama, fotonya pun beredar melalui BC (broadcast) BBM (Blackberry  Messanger). Dijelalati mata-mata kelaparan pria-pria nakal. Lantas Ping! Aura pun menerima dan melayani tamu. Ada Short Time, ada Long Time. Berpindah dari hotel yang satu ke hotel yang lain. Hingga akhirnya dicakau pihak berwajib dan ‘dilemparkan’ ke Sukarami.
Kisah Cabelita (jangan ketawa, panggil saja begitu) lain lagi. Makan hati ditinggal suami yang kecantol perempuan lain yang lebih seksi, Cabelita harus banting tulang jadi buruh cuci untuk bisa mengais sesuap nasi penyumbat mulut dia dan dua anak yang masih kecil. Tak tahan mendapat rupiah cuma 300 ribu sebulan, Cabelita pun menitip kedua buah hatinya pada orang tua yang tak kalah miskin, kemudian merantau ke Pulau Andalas buat bekerja di rumah makan diajak seorang teman. Bekerja di rumah makan padang? Aih, boro-boro! Cabelita malah ditaruh di warung minum pinggir jalan Lintas Sumatera. Makan dan tidur gratis tapi kerja tak digaji, kecuali lewat tips dari pria-pria musafir yang kehausan bir dan tuak. Ingin dapat lebih agar bisa  ditransfer ke kampung? Boleh. Cabelita tinggal bimbing para tamu ke kamar di belakang warung. Uang yang tadinya di kampung didapat dengan perjuangan meregang nyawa sebulan, sekarang dapat dikantongi seperempat malam hanya dengan sedikit mengerang seperti truk-truk raksasa waktu mendaki tanjakan Lintas Sumatera. Ujung-ujungnya sama seperti Aura, Cabelita pun kena tangkok pihak berwajib dan ‘disukaramikan’!
Tak lengkap bila cuma Aura dan Cabelita yang diceritakan, ada lagi Nikita (ya, katanya dia lebih bahagia disapa begitu), senang berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lain. Entahlah, apakah dia memang memiliki impian jadi seorang traveller seperti anak-anak muda kekinian, penulis tidak tahu. Yang jelas, akibat kebiasaannya yang hilir-mudik lalu-lalang tak karu-karuan menempuh penurunan-pendakian, jalan ramai-jalan lengang, kota kecil-kota metropolitan, pakai sendal atau kaki ayam, berbaju lengkap atau sekadar kain nyangkut di badan... akhirnya pihak berwenang pun memungut Nikita dari jalanan dan dititipkan di Sukarami, daripada diperkosa atau dianiaya bianatang jalang!
Aura, Cabelita, dan Nikita hanya beberapa nama yang menjadi warga binaan Sukarami. Sukarami? Oh iya maaf, penulis lupa, Sukarami di sini mengacu pada sebuah panti rehabilitasi, yakni Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) “Andam Dewi” Solok yang berlokasi di Sukarami, bukan mengacu pada negeri. Saking terkenalnya panti milik Dinas Sosial Provinsi Sumatera Barat tersebut sebagai pusat rehabilitasi eks wanita tuna susila (WTS), masyarakat pun memiliki referensi tersendiri terhadap nama itu. Dalam kasus-kasus serupa di atas, Sukarami berasosiasi langsung dengan Panti Andam Dewi.
Hampir setiap hari, berita tentang razia dan penangkapan WTS di kota/kabupaten se-Sumatera Barat muncul di koran lokal. Apalagi setelah adanya komitmen Menteri Sosial RI untuk membebaskan Indonesia dari lokalisasi prostitusi pada tahun 2019, razia terhadap WTS semakin gencar dilakukan. Wanita-wanita yang terjaring oleh pihak berwenang biasanya diberi pembinaan oleh aparat yang menangkap dan membuat perjanjian untuk tidak mengulangi perbuatan serupa. Setelah itu dilepas. WTS yang nakal biasanya akan tertangkap lagi dan kembali membuat surat perjanjian untuk kemudian terciduk lagi dan berjanji lagi. Pada akhirnya dikirim ke Sukarami.
Mengapa mereka harus disukaramikan? Sebagai pusat rehabilitasi wanita tuna susila, PSKW “Andam Dewi” memiliki tugas pokok dan fungsi melaksanakan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi wanita tuna susila agar dapat kembali menjalankan fungsi sosialnya di masyarakat. Oleh karena itu, di panti ini, para eks WTS akan mendapat pembinaan (bimbingan) agama dan ibadah, mental psikologis, fisik, sosial, dan keterampilan. Mereka disentuh dengan nilai-nilai agama seperti shalat dan mengaji, serta menutup aurat. Mereka juga diberikan bimbingan keterampilan menjahit, membordir, menyulam, bercocok tanam, membuat olahan pangan (memasak), dan membuat handy craft (kerajinan tangan) dari barang bekas. Selain itu mereka juga diberi penyuluhan sosial, kesehatan/klinis, dan konseling psikologi. Agar fisik tetap sehat, mereka diberikan makanan bergizi dan diruntinkan olah raga.
Untuk apa itu semua? Tak lain adalah supaya eks WTS yang dikirim ke PSKW dapat lepas dari profesi sebelumnya. Sebagian besar wanita yang terjerumus ke dunia prostitusi disebabkan oleh faktor keretakan rumah tangga dan kesulitan ekonomi, disusul oleh faktor pergaulan bebas dan gaya hidup hedonis yang ingin bersenang-senang dengan gampang dan instan. Semua itu berpangkal pada mental yang goyah.
Penguatan mental, terutama dalam hal mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan menuntun mereka menunaikan ibadah shalat lima waktu dan membaca Al Quran adalah misi utama PSKW “Andam Dewi” Solok, sebab apa pun pilihan hidup eks WTS di kemudian hari, akan berpijak pada cara mereka memandang kehidupan. Apabila mereka berkeyakinan kuat bahwa kehidupan di dunia bersifat sementara, apa yang gemerlap akan padam, kecantikan akan memburuk, yang hidup akan mati, mereka pun dapat memperbaiki masa depannya. Mereka akan termotivasi untuk membekali diri dengan keterampilan (life skill) agar mendapatkan pekerjaan yang baik, serta berani meninggalkan kepelacuran untuk menjadi wanita baik-baik, sekalipun harus bakureh menyunggingi langit dengan kerja kasar berpenghasilan kecil. Demi meraih surga dan ridha-Nya, mengapa tidak?
Sebenarnya, para wanita eks WTS yang dikirim ke PSKW pantas bersyukur karena mereka dapat keluar dari lingkaran setan lumpur prostitusi, paling tidak mereka dapat menghirup udara kebaikan selama masa rehabilitasi. Mereka dapat hidup tenang dengan makanan dan pakaian layak serta hari-hari penuh dengan kegiatan positif, yakni belajar mengaji, shalat, menghafal ayat, belajar keterampilan menjahit, bordir, sulaman, pertanian, dan lainnya. Kesehatan mereka pun mendapat pemeliharaan.
Jadi, amat disayangkan bila ada kalangan yang menghalangi para eks WTS masuk ke PSKW padahal rehabilitasi sosial terhadap para penyandang masalah tuna susila tersebut dapat memutus mereka dari mata rantai pelacuran. Menyelamatkan mereka sebenarnya juga menyelamatkan masyarakat luas dari jeratan prostitusi yang sekarang ini memiliki teknik canggih, tidak cuma dengan cara menjajakan diri di pinggir jalan, tetapi dengan ‘mempromosikan jualan’ lewat media sosial seperti BBM. Mirisnya, yang terjerat masalah prostitusi tidak hanya orang dewasa, tapi sudah menjangkau remaja dan anak-anak sekolah.
Rehabilitasi sosial terhadap wanita tuna susila di PSKW adalah upaya untuk menyelamatkan masa depan para WTS yang notabene adalah kaum perempuan, ibu bagi para generasi mendatang. Menyelamatkan masa depan mereka, berarti juga menyelamatkan masa depan bangsa.[]
*Ade Efdira, SS adalah Pekerja Sosial Pertama pada
Dinas Sosial Provinsi Sumatera Barat


 Dimuat Harian Singgalang edisi Minggu, 27 Maret 2016






No comments:

Post a Comment