Oleh Ade Efdira, SS*
Tuna Susila adalah
seseorang yang melakukan hubungan seksual dangan sesama atau lawan jenis secara
berulang-ulang dan bergantian di luar perkawinan yang sah dengan tujuan
mendapatkan imbalan uang, materi, atau jasa (Peraturan Menteri Sosial RI Nomor
8 Tahun 2012).
Aura (sebut saja begitu) kabur dari rumah setelah
keperawanannya dicuri oleh sang pacar di sebuah hotel murah meriah di pinggir
kota. Dia takut aibnya ketahuan orang tua yang hidup terpisah. Aura lalu menumpang
di rumah seorang teman yang hobi kongkow-kongkow seperti dirinya. Sehari dua
hari menumpang tentu tidak apa. Kalau berminggu dan berbulan? Tentu sungkan
juga. Akhirnya Aura pun berkata, “Carikanlah aku tamu.” kepada sang teman yang tiap sebentar dapat uang banyak untuk kemudian
dihamburkan buat makan-makan dan beli baju mahal. Tak perlu waktu lama, fotonya
pun beredar melalui BC (broadcast)
BBM (Blackberry Messanger). Dijelalati mata-mata
kelaparan pria-pria nakal. Lantas Ping!
Aura pun menerima dan melayani tamu. Ada Short
Time, ada Long Time. Berpindah
dari hotel yang satu ke hotel yang lain. Hingga akhirnya dicakau pihak berwajib
dan ‘dilemparkan’ ke Sukarami.
Kisah Cabelita (jangan ketawa, panggil saja begitu) lain
lagi. Makan hati ditinggal suami yang kecantol perempuan lain yang lebih seksi,
Cabelita harus banting tulang jadi buruh cuci untuk bisa mengais sesuap nasi
penyumbat mulut dia dan dua anak yang masih kecil. Tak tahan mendapat rupiah
cuma 300 ribu sebulan, Cabelita pun menitip kedua buah hatinya pada orang tua
yang tak kalah miskin, kemudian merantau ke Pulau Andalas buat bekerja di rumah
makan diajak seorang teman. Bekerja di rumah makan padang? Aih, boro-boro! Cabelita
malah ditaruh di warung minum pinggir jalan Lintas Sumatera. Makan dan tidur
gratis tapi kerja tak digaji, kecuali lewat tips dari pria-pria musafir yang
kehausan bir dan tuak. Ingin dapat lebih agar bisa ditransfer ke kampung? Boleh. Cabelita tinggal
bimbing para tamu ke kamar di belakang warung. Uang yang tadinya di kampung
didapat dengan perjuangan meregang nyawa sebulan, sekarang dapat dikantongi seperempat
malam hanya dengan sedikit mengerang seperti truk-truk raksasa waktu mendaki
tanjakan Lintas Sumatera. Ujung-ujungnya sama seperti Aura, Cabelita pun kena tangkok pihak berwajib dan ‘disukaramikan’!
Tak lengkap bila cuma Aura dan Cabelita yang diceritakan,
ada lagi Nikita (ya, katanya dia lebih bahagia disapa begitu), senang berjalan kaki
dari satu tempat ke tempat lain. Entahlah, apakah dia memang memiliki impian
jadi seorang traveller seperti
anak-anak muda kekinian, penulis tidak tahu. Yang jelas, akibat kebiasaannya
yang hilir-mudik lalu-lalang tak karu-karuan menempuh penurunan-pendakian,
jalan ramai-jalan lengang, kota kecil-kota metropolitan, pakai sendal atau kaki
ayam, berbaju lengkap atau sekadar kain nyangkut di badan... akhirnya pihak
berwenang pun memungut Nikita dari jalanan dan dititipkan di Sukarami, daripada
diperkosa atau dianiaya bianatang jalang!
Aura, Cabelita, dan Nikita hanya beberapa nama yang menjadi
warga binaan Sukarami. Sukarami? Oh iya maaf, penulis lupa, Sukarami di sini
mengacu pada sebuah panti rehabilitasi, yakni Panti Sosial Karya Wanita (PSKW)
“Andam Dewi” Solok yang berlokasi di Sukarami, bukan mengacu pada negeri. Saking
terkenalnya panti milik Dinas Sosial Provinsi Sumatera Barat tersebut sebagai
pusat rehabilitasi eks wanita tuna susila (WTS), masyarakat pun memiliki
referensi tersendiri terhadap nama itu. Dalam kasus-kasus serupa di atas,
Sukarami berasosiasi langsung dengan Panti Andam Dewi.
Hampir setiap hari, berita tentang razia dan penangkapan WTS
di kota/kabupaten se-Sumatera Barat muncul di koran lokal. Apalagi setelah adanya
komitmen Menteri Sosial RI untuk membebaskan Indonesia dari lokalisasi
prostitusi pada tahun 2019, razia terhadap WTS semakin gencar dilakukan.
Wanita-wanita yang terjaring oleh pihak berwenang biasanya diberi pembinaan
oleh aparat yang menangkap dan membuat perjanjian untuk tidak mengulangi
perbuatan serupa. Setelah itu dilepas. WTS yang nakal biasanya akan tertangkap
lagi dan kembali membuat surat perjanjian untuk kemudian terciduk lagi dan
berjanji lagi. Pada akhirnya dikirim ke Sukarami.
Mengapa mereka harus disukaramikan? Sebagai pusat
rehabilitasi wanita tuna susila, PSKW “Andam Dewi” memiliki tugas pokok dan
fungsi melaksanakan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi wanita tuna susila
agar dapat kembali menjalankan fungsi sosialnya di masyarakat. Oleh karena itu,
di panti ini, para eks WTS akan mendapat pembinaan (bimbingan) agama dan
ibadah, mental psikologis, fisik, sosial, dan keterampilan. Mereka disentuh
dengan nilai-nilai agama seperti shalat dan mengaji, serta menutup aurat. Mereka
juga diberikan bimbingan keterampilan menjahit, membordir, menyulam, bercocok
tanam, membuat olahan pangan (memasak), dan membuat handy craft (kerajinan tangan) dari barang bekas. Selain itu mereka
juga diberi penyuluhan sosial, kesehatan/klinis, dan konseling psikologi. Agar
fisik tetap sehat, mereka diberikan makanan bergizi dan diruntinkan olah raga.
Untuk apa itu semua? Tak lain adalah supaya eks WTS yang
dikirim ke PSKW dapat lepas dari profesi sebelumnya. Sebagian besar wanita yang
terjerumus ke dunia prostitusi disebabkan oleh faktor keretakan rumah tangga
dan kesulitan ekonomi, disusul oleh faktor pergaulan bebas dan gaya hidup
hedonis yang ingin bersenang-senang dengan gampang dan instan. Semua itu
berpangkal pada mental yang goyah.
Penguatan mental, terutama dalam hal mendekatkan diri kepada
Sang Pencipta dengan menuntun mereka menunaikan ibadah shalat lima waktu dan
membaca Al Quran adalah misi utama PSKW “Andam Dewi” Solok, sebab apa pun
pilihan hidup eks WTS di kemudian hari, akan berpijak pada cara mereka
memandang kehidupan. Apabila mereka berkeyakinan kuat bahwa kehidupan di dunia
bersifat sementara, apa yang gemerlap akan padam, kecantikan akan memburuk,
yang hidup akan mati, mereka pun dapat memperbaiki masa depannya. Mereka akan
termotivasi untuk membekali diri dengan keterampilan (life skill) agar mendapatkan pekerjaan yang baik, serta berani meninggalkan
kepelacuran untuk menjadi wanita baik-baik, sekalipun harus bakureh menyunggingi langit dengan kerja
kasar berpenghasilan kecil. Demi meraih surga dan ridha-Nya, mengapa tidak?
Sebenarnya, para wanita eks WTS yang dikirim ke PSKW pantas
bersyukur karena mereka dapat keluar dari lingkaran setan lumpur prostitusi,
paling tidak mereka dapat menghirup udara kebaikan selama masa rehabilitasi.
Mereka dapat hidup tenang dengan makanan dan pakaian layak serta hari-hari
penuh dengan kegiatan positif, yakni belajar mengaji, shalat, menghafal ayat,
belajar keterampilan menjahit, bordir, sulaman, pertanian, dan lainnya.
Kesehatan mereka pun mendapat pemeliharaan.
Jadi, amat disayangkan bila ada kalangan yang menghalangi
para eks WTS masuk ke PSKW padahal rehabilitasi sosial terhadap para penyandang
masalah tuna susila tersebut dapat memutus mereka dari mata rantai pelacuran.
Menyelamatkan mereka sebenarnya juga menyelamatkan masyarakat luas dari jeratan
prostitusi yang sekarang ini memiliki teknik canggih, tidak cuma dengan cara
menjajakan diri di pinggir jalan, tetapi dengan ‘mempromosikan jualan’ lewat
media sosial seperti BBM. Mirisnya, yang terjerat masalah prostitusi tidak
hanya orang dewasa, tapi sudah menjangkau remaja dan anak-anak sekolah.
Rehabilitasi sosial terhadap wanita tuna susila di PSKW
adalah upaya untuk menyelamatkan masa depan para WTS yang notabene adalah kaum
perempuan, ibu bagi para generasi mendatang. Menyelamatkan masa depan mereka,
berarti juga menyelamatkan masa depan bangsa.[]
*Ade Efdira, SS adalah Pekerja
Sosial Pertama pada
Dinas Sosial Provinsi Sumatera
Barat
Dimuat Harian Singgalang edisi Minggu, 27 Maret 2016
No comments:
Post a Comment