Friday 23 March 2018

Dear Tuhan, Maafkan Aku yang Dulu (Izinkan Aku Berhenti Jadi Pelacur)

Oleh Ade Efdira


Dua-tiga tahun lalu aku memang menjual birahi untuk mendapatkan rezeki. Membungkus tubuh dengan selubung hasrat. Menjajakan kepuasan sesaat untuk jiwa-jiwa dahaga. Menanggalkan rasa malu dan menyembunyikannya di bawah kasur. Aku kacau dan khilaf, Tuhan. Itu dulu, dua-tiga tahun lalu. Tapi aku yang kini bukan lagi seorang pelacur.

[Ilustrasi imajinatif: Di sebelah kiri gambar seorang wanita berpakaian serba minim dengan dandanan menor mencolok, berpose menantang dengan mulut merah memonyong seperti paruh bebek dan posisi kaki sedikit mengangkang; Di sebelah kanan gambar seorang wanita dengan tubuh tertutup pakaian baik-baik, wajah tanpa polesan make up, dengan pandangan sedikit tertunduk dan sebulir air mata nyaris jatuh dari pelupuk. Tema foto yang sedang hits di media sosial Instagram, “Dear mantan...”]

Beberapa orang teman pernah bertanya kepada saya; Apakah setelah menjalani masa rehabilitasi di panti sosial selama beberapa bulan, para eks wanita tuna susila itu tidak kembali ke profesi yang lama?

Pertanyaan yang mudah-mudah sulit untuk dijawab. Bila ingin gampang, saya tinggal berujar begini: Sebagiannya kembali jadi pelacur, tidak mudah untuk menyulap ikan lele yang terbiasa bersarang di lumpur luluk untuk tinggal dalam aquarium. Jujur, fakta yang saya tahu memang seperti itu. Saya tidak melakukan tindak pidana pembohongan publik. Selesai? Tidak. Justru pertanyaan lain akan menyerang bertubi-tubi: Lalu, untuk apa Negara mengucurkan anggaran sekian-sekianrupiah bila hanya sia-sia? Apa gunanya mereka ditangkap lalu di kirim ke sana (maksud ‘sana’ dalam kalimat ini telah dijelaskan dalam tulisan pertama #Depeksosjournal berjudul “Masa Depan Pelacur”, Singgalang edisi Minggu, 27 Maret 2016)? Apa tidak sama dengan buang-buang uang yang sebenarnya bisa digunakan untuk membantu fakir miskin dan anak terlantar? Waduh!

Oleh karena itu, saya akan berikan jawaban diplomatis sebagaimana layaknya seorang pejabat pemerintah: Sejauh ini program yang kami laksanakan telah berhasil mengangkat perikehidupan para wanita tuna susila. Mereka tidak lagi menjual diri di pinggir jalan, taman kota, hotel dan wisma, atau warung-warung khamar jalan lintas provinsi. Mereka sekarang sudah bekerja yang pantas, berjualan, menjadi karyawan toko, menjahit, membuat kerajinan tangan, membuat kue lalu menitipkannya di toko-toko, jadi pengasuh bayi, atau sekadar menikah dan jadi ibu rumah tangga. Sebab, begitu mereka selesai mengikuti pembinaan, mereka kami bekali dengan bantuan usaha ekonomi produktif berupa mesin jahit dan modal berwirausaha. Sejauh ini program kami berhasil. Bila ada satu-dua yang kembali beroperasi dan tertangkap, itu mah biasa, pasti ada yang melenceng dari target, yaa, semacam proyek gagal gitu. Jawaban ini juga benar karena faktanya begitu.

Dari penelusuran terbatas saya terhadap alumni PSKW, sebagiannya memang telah beralih profesi dengan berjualan, menjadi karyawan toko, menjahit, membuat kerajinan tangan, membuat kue lalu menitipkannya di toko-toko, jadi pengasuh bayi, atau sekadar menikah dan jadi ibu rumah tangga. Di beberapa tempat di Kota Padang—yang tidak perlu disebutkan—ada mantan warga binaan yang telah mempunyai kehidupan baru dengan berjualan jagung dan pisang bakar, benjualan sayuran di pasar, menjadi pelayan toko kelontong, mengumpulkan barang bekas untuk dijual pada pengepul, menjual lontong sayur, dan menjadi tukang parkir. Ada juga yang menikah lalu fokus mengurus anak dan suami. Dalam jurnal berjudul “Aktivitas Ekonomi Mantan Pekerja Seks Komersial Pasca Rehabilitasi di Kota Padang”, Ria Purnamasari, mahasiswa sosiologi STKIP PGRI Sumbar yang telah melakukan penelitian pada tahun 2014 menyebutkan bahwa ada  3  orang mantan warga binaan PSKW Andam Dewi yang tinggal di Padang telah bekerja sebagai penjual pisang bakar dan jagung bakar, serta 2 orang bekerja sebagai penjahit pakaian. Penghasilan mereka rata-rata  Rp1,8 juta per bulan.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, rehabilitasi sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Rehabilitasi sosial merupakan satu bagian dari penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

Penyelenggaraan kesejahteraan sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Sedangkan kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Kembali ke rehabilitasi sosial, tujuan rehabilitasi sosial adalah untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar, yakni secara fisik, mental, dan sosial, serta memberikan dan meningkatkan keterampilan.Rehabilitasi Sosial dapat dilaksanakan secara persuasif, motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun panti sosial. Rehabilitasi sosial yang dilaksanakan secara persuasif berupa ajakan, anjuran, dan bujukan dengan maksud untuk meyakinkan seseorang agar bersedia direhabilitasi sosial. Rehabilitasi sosial yang dilaksanakan secara motivatif berupa dorongan, pemberian semangat, pujian, dan/atau penghargaan agar seseorang tergerak secara sadar untuk direhabilitasi sosial. Rehabilitasi Sosial yang dilaksanakan secara koersif berupa tindakan pemaksaan terhadap seseorang dalam proses Rehabilitasi Sosial.

Dalam Pasal 6 Ayat (1) diatur bahwa rehabilitasi sosial ditujukan kepada seseorang yang mengalami kondisi kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, serta yang memerlukan perlindungan khusus yang meliputi: (a) penyandang cacat fisik; (b) penyandang cacat mental; (c) penyandang cacat fisik dan mental; (d) tuna susila; (e) gelandangan; (f) pengemis; (g) eks penderita penyakit kronis; (h) eks narapidana; (i) eks pencandu narkotika; (j) eks psikotik; (k) pengguna psikotropika sindroma ketergantungan; (l) orang dengan Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immuno Deficiency Syndrome (HIV/AIDS); (m) korban tindak kekerasan; (n) korban bencana; (o) korban perdagangan orang; (p) anak terlantar; dan (q) anak dengan kebutuhan khusus.

Rehabilitasi sosial diberikan dalam bentuk motivasi dan diagnosis psikososial, perawatan dan pengasuhan, pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan, bimbingan mental spiritual, bimbingan fisik, bimbingan sosial dan konseling psikososial, pelayanan aksesibilitas, bantuan dan asistensi sosial, bimbingan resosialisasi, bimbingan lanjut, dan/atau rujukan. Bentuk rehabilitasi sosial dilaksanakan dengan tahapan (1) pendekatan awal; (2) pengungkapan dan pemahaman masalah; (3) penyusunan rencana pemecahan masalah; (4) pemecahan masalah; (5) resosialisasi; (6) terminasi; dan (7) bimbingan lanjut.

Nah, Negara, dalam ini PSKW Andam Dewi Solok telah menjalankan tugas dan fungsi dalam memulihkan eks wanita tuna susila sehingga dapat kembali ke masyarakat. Pembinaan yang diberikan 60% fokus pada perbaikan mental spiritual dan kepribadian, serta 40% kemampuan skill keterampilan. Penguatan mental spiritual diberikan dalam bentuk ceramah agama oleh pemuka agama di Kabupaten Solok dan KUA Kecamatan Gunung Talang. Di samping itu juga ditambah dengan bimbingan membaca Al Quran dan ibadah. Warga binaan yang belum mampu mengaji diajarkan mulai dari Iqra’/ Juz Amma. Sedangkan untuk ibadah, diajarkan mulai dari cara berwudhuk, bacaan shalat, gerakan shalat, doa dan zikir, serta selalu dipantau dalam melaksanakan shalat lima waktu. Di bidang keterampilan, diberikan bimbingan keterampilan menjahit dan bordir, serta handycraft. Di samping itu juga ada keterampilan olahan pangan, pertanian, bimbingan sosial, kesegaran jasmani, pemeriksaan dan perawatan kesehatan, serta penyuluhan HIV/AIDS, IMS, bahaya narkoba, serta konseling psikologis. Dalam proses pembinaan tersebut, PSKW bekerja sama dengan berbagai pihak, seperti guru, dosen, mahasiswa, konselor, tenaga medis, aparat keamanan, ulama, dan instansi terkait di Sumatera Barat.

Setelah selesai menjalani masa rehabilitasi di panti, eks wanita tuna susila akan kembali ke masyarakat. Mereka dipulangkan kepada orang tua, suami atau keluarga, dinikahkan, atau disalurkan ke tempat usaha. Ujian baru menghadang di hadapan mereka, yakni stigma negatif dari masyarakat dan godaan dari teman-teman profesi sebelumnya. Memang, semuanya berpulang pada iman di dada. Bila pembekalan agama dan mental yang telah mereka dapatkan selama masa rehab mengakar kuat dalam jiwa, sebesar apa pun rintangannya, mereka tetap akan berhenti jadi pelacur.

Tapi oh tapi, realita tak seindah itu. Banyak di antara eks warga binaan yang tidak diterima keluarga atau warga. Bila mau bekerja, orang juga sulit untuk percaya. Bila yang akan mempekerjakan seorang wanita, dia takut suaminya bakal tergoda. Bila yang mempekerjakan seorang pria, dia takut akan minta digoda. Citra yang melekat telah terlanjur bahwa para eks warga binaan adalah pelacur yang dapat dibayar untuk kesenangan seksual sesaat. Orang-orang masih sulit untuk melupakan masa lalu mereka. Sementara tuntutan ekonomi tak bisa diabaikan. Mereka butuh uang untuk melanjutkan hidup. Maka, ketika tidak mendapatkan tempat di keluarga dan masyarakat, mereka pun kembali ke pelukan teman-teman lama: para pelacur dan mucikari. Ibarat selesai mandi pakai sabun wangi, mereka menceburkan diri ke kubangan lagi!

Ya, artinya mereka gagal. Namun kita tidak patut menyalahkan mereka sendiri. Sebab, ada faktor luar yang ‘memaksa’ mereka kembali ke ranjang prostitusi. Apabila kita memang berkehendak pelacuran habis dari negeri ini, paling tidak berkurang, kita perlu mendukung mereka untuk berhenti jadi pelacur. Caranya dengan membantu melanjutkan pembinaan dengan menerima mereka sebagai manusia, mempercayai mereka untuk bekerja, membimbing dan menguatkan untuk tetap istiqamah di jalan yang benar, dan menjadi teman yang percaya bahwa mereka telah berubah dan berhak untuk menjadi orang baik. Bukankah Tuhan pun mau mengampuni penjahat keji yang telah membunuh seratus orang yang  lantas bertobat dan menghadiahinya surga?

Tuan dan Nyonya, maafkanlah mereka yang dulu dan izinkan mereka berhenti jadi pelacur![]

Ade Efdira adalah ASN Dinas Sosial Provinsi Sumatera Barat
UPTD Panti Sosial Karya Wanita Andam Dewi Solok

Sunday 18 March 2018

Sore Tanjakan Indarung




Aroma bakso bakar pecah dalam irama tartil Albayyinah; engkau gundah diombang rasa bersalah pulang ke rumah tanpa susu dan ayam goreng yang ditunggu anak-anakmu. Pelajaran bersabar masih belum tuntas.

Di timur, bukit kapur yang terkelupas itu telah mati ditinggalkan. Hanya kera-kera yang berebut sisa pentol di tangkai lidi. Kera-kera yang diamati dan dipotret seolah selebriti.

Hujan mungkin tidak turun sore ini, debu pabrik semen tetap mengapung kelabu seperti harimu. Perjalanan pulang harus dilanjutkan karena engkau tak mungkin mengubah arah tujuanmu: rumah.