Oleh Ade Efdira
Dua-tiga tahun lalu
aku memang menjual birahi untuk mendapatkan rezeki. Membungkus tubuh dengan selubung
hasrat. Menjajakan kepuasan sesaat untuk jiwa-jiwa dahaga. Menanggalkan rasa
malu dan menyembunyikannya di bawah kasur. Aku kacau dan khilaf, Tuhan. Itu
dulu, dua-tiga tahun lalu. Tapi aku yang kini bukan lagi seorang pelacur.
[Ilustrasi imajinatif: Di sebelah kiri gambar seorang wanita
berpakaian serba minim dengan dandanan menor mencolok, berpose menantang dengan
mulut merah memonyong seperti paruh bebek dan posisi kaki sedikit mengangkang;
Di sebelah kanan gambar seorang wanita dengan tubuh tertutup pakaian baik-baik,
wajah tanpa polesan make up, dengan pandangan
sedikit tertunduk dan sebulir air mata nyaris jatuh dari pelupuk. Tema foto yang
sedang hits di media sosial Instagram, “Dear mantan...”]
Beberapa orang teman pernah bertanya kepada saya; Apakah
setelah menjalani masa rehabilitasi di panti sosial selama beberapa bulan, para
eks wanita tuna susila itu tidak kembali ke profesi yang lama?
Pertanyaan yang mudah-mudah sulit untuk
dijawab. Bila ingin gampang, saya tinggal berujar begini: Sebagiannya kembali
jadi pelacur, tidak mudah untuk menyulap ikan lele yang terbiasa bersarang di
lumpur luluk untuk tinggal dalam aquarium. Jujur, fakta yang saya tahu memang
seperti itu. Saya tidak melakukan tindak pidana pembohongan publik. Selesai?
Tidak. Justru pertanyaan lain akan menyerang bertubi-tubi: Lalu, untuk apa
Negara mengucurkan anggaran sekian-sekianrupiah bila hanya sia-sia? Apa gunanya
mereka ditangkap lalu di kirim ke sana (maksud ‘sana’ dalam kalimat ini telah
dijelaskan dalam tulisan pertama #Depeksosjournal berjudul “Masa Depan
Pelacur”, Singgalang edisi Minggu, 27 Maret 2016)? Apa tidak sama dengan
buang-buang uang yang sebenarnya bisa digunakan untuk membantu fakir miskin dan
anak terlantar? Waduh!
Oleh karena itu, saya akan berikan jawaban diplomatis
sebagaimana layaknya seorang pejabat pemerintah: Sejauh ini program yang kami
laksanakan telah berhasil mengangkat perikehidupan para wanita tuna susila.
Mereka tidak lagi menjual diri di pinggir jalan, taman kota, hotel dan wisma,
atau warung-warung khamar jalan lintas provinsi. Mereka sekarang sudah bekerja
yang pantas, berjualan, menjadi karyawan toko, menjahit, membuat kerajinan
tangan, membuat kue lalu menitipkannya di toko-toko, jadi pengasuh bayi, atau
sekadar menikah dan jadi ibu rumah tangga. Sebab, begitu mereka selesai
mengikuti pembinaan, mereka kami bekali dengan bantuan usaha ekonomi produktif
berupa mesin jahit dan modal berwirausaha. Sejauh ini program kami berhasil.
Bila ada satu-dua yang kembali beroperasi dan tertangkap, itu mah biasa, pasti
ada yang melenceng dari target, yaa, semacam proyek gagal gitu. Jawaban ini
juga benar karena faktanya begitu.
Dari penelusuran terbatas saya terhadap alumni PSKW,
sebagiannya memang telah beralih profesi dengan berjualan, menjadi karyawan
toko, menjahit, membuat kerajinan tangan, membuat kue lalu menitipkannya di
toko-toko, jadi pengasuh bayi, atau sekadar menikah dan jadi ibu rumah tangga.
Di beberapa tempat di Kota Padang—yang tidak perlu disebutkan—ada mantan warga
binaan yang telah mempunyai kehidupan baru dengan berjualan jagung dan pisang
bakar, benjualan sayuran di pasar, menjadi pelayan toko kelontong, mengumpulkan
barang bekas untuk dijual pada pengepul, menjual lontong sayur, dan menjadi
tukang parkir. Ada juga yang menikah lalu fokus mengurus anak dan suami. Dalam
jurnal berjudul “Aktivitas Ekonomi Mantan Pekerja Seks Komersial Pasca
Rehabilitasi di Kota Padang”, Ria Purnamasari, mahasiswa sosiologi STKIP PGRI
Sumbar yang telah melakukan penelitian pada tahun 2014 menyebutkan bahwa
ada 3
orang mantan warga binaan PSKW Andam Dewi yang tinggal di Padang telah
bekerja sebagai penjual pisang bakar dan jagung bakar, serta 2 orang bekerja
sebagai penjahit pakaian. Penghasilan mereka rata-rata Rp1,8 juta per bulan.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, rehabilitasi sosial adalah proses
refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.
Rehabilitasi sosial merupakan satu bagian dari penyelenggaraan kesejahteraan
sosial.
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Sedangkan kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Sedangkan kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
Kembali ke rehabilitasi sosial, tujuan rehabilitasi sosial adalah
untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi
sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar, yakni secara
fisik, mental, dan sosial, serta memberikan dan meningkatkan keterampilan.Rehabilitasi
Sosial dapat dilaksanakan secara persuasif, motivatif, koersif, baik dalam
keluarga, masyarakat maupun panti sosial. Rehabilitasi sosial yang dilaksanakan
secara persuasif berupa ajakan, anjuran, dan bujukan dengan maksud untuk
meyakinkan seseorang agar bersedia direhabilitasi sosial. Rehabilitasi sosial
yang dilaksanakan secara motivatif berupa dorongan, pemberian semangat, pujian,
dan/atau penghargaan agar seseorang tergerak secara sadar untuk direhabilitasi
sosial. Rehabilitasi Sosial yang dilaksanakan secara koersif berupa tindakan
pemaksaan terhadap seseorang dalam proses Rehabilitasi Sosial.
Dalam Pasal 6 Ayat (1) diatur bahwa rehabilitasi sosial
ditujukan kepada seseorang yang mengalami kondisi kemiskinan, ketelantaran, kecacatan,
keterpencilan, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, serta yang memerlukan
perlindungan khusus yang meliputi: (a) penyandang cacat fisik; (b) penyandang
cacat mental; (c) penyandang cacat fisik dan mental; (d) tuna susila; (e) gelandangan; (f) pengemis; (g) eks penderita
penyakit kronis; (h) eks narapidana; (i) eks pencandu narkotika; (j) eks
psikotik; (k) pengguna psikotropika sindroma ketergantungan; (l) orang dengan Human Immunodeficiency Virus/ Acquired
Immuno Deficiency Syndrome (HIV/AIDS); (m) korban tindak kekerasan; (n)
korban bencana; (o) korban perdagangan orang; (p) anak terlantar; dan (q) anak
dengan kebutuhan khusus.
Rehabilitasi sosial diberikan dalam bentuk motivasi dan
diagnosis psikososial, perawatan dan pengasuhan, pelatihan vokasional dan
pembinaan kewirausahaan, bimbingan mental spiritual, bimbingan fisik, bimbingan
sosial dan konseling psikososial, pelayanan aksesibilitas, bantuan dan
asistensi sosial, bimbingan resosialisasi, bimbingan lanjut, dan/atau rujukan.
Bentuk rehabilitasi sosial dilaksanakan dengan tahapan (1) pendekatan awal; (2)
pengungkapan dan pemahaman masalah; (3) penyusunan rencana pemecahan masalah;
(4) pemecahan masalah; (5) resosialisasi; (6) terminasi; dan (7) bimbingan
lanjut.
Nah, Negara, dalam ini PSKW Andam Dewi Solok telah
menjalankan tugas dan fungsi dalam memulihkan eks wanita tuna susila sehingga
dapat kembali ke masyarakat. Pembinaan yang diberikan 60% fokus pada perbaikan
mental spiritual dan kepribadian, serta 40% kemampuan skill keterampilan. Penguatan
mental spiritual diberikan dalam bentuk ceramah agama oleh pemuka agama di Kabupaten
Solok dan KUA Kecamatan Gunung Talang. Di samping itu juga ditambah dengan
bimbingan membaca Al Quran dan ibadah. Warga binaan yang belum mampu mengaji
diajarkan mulai dari Iqra’/ Juz Amma. Sedangkan untuk ibadah, diajarkan mulai
dari cara berwudhuk, bacaan shalat, gerakan shalat, doa dan zikir, serta selalu
dipantau dalam melaksanakan shalat lima waktu. Di bidang keterampilan,
diberikan bimbingan keterampilan menjahit dan bordir, serta handycraft. Di
samping itu juga ada keterampilan olahan pangan, pertanian, bimbingan sosial,
kesegaran jasmani, pemeriksaan dan perawatan kesehatan, serta penyuluhan
HIV/AIDS, IMS, bahaya narkoba, serta konseling psikologis. Dalam proses
pembinaan tersebut, PSKW bekerja sama dengan berbagai pihak, seperti guru,
dosen, mahasiswa, konselor, tenaga medis, aparat keamanan, ulama, dan instansi
terkait di Sumatera Barat.
Setelah selesai menjalani masa rehabilitasi di panti, eks
wanita tuna susila akan kembali ke masyarakat. Mereka dipulangkan kepada orang
tua, suami atau keluarga, dinikahkan, atau disalurkan ke tempat usaha. Ujian
baru menghadang di hadapan mereka, yakni stigma negatif dari masyarakat dan
godaan dari teman-teman profesi sebelumnya. Memang, semuanya berpulang pada
iman di dada. Bila pembekalan agama dan mental yang telah mereka dapatkan
selama masa rehab mengakar kuat dalam jiwa, sebesar apa pun rintangannya,
mereka tetap akan berhenti jadi pelacur.
Tapi oh tapi, realita tak seindah itu. Banyak di antara eks
warga binaan yang tidak diterima keluarga atau warga. Bila mau bekerja, orang
juga sulit untuk percaya. Bila yang akan mempekerjakan seorang wanita, dia
takut suaminya bakal tergoda. Bila yang mempekerjakan seorang pria, dia takut
akan minta digoda. Citra yang melekat telah terlanjur bahwa para eks warga
binaan adalah pelacur yang dapat dibayar untuk kesenangan seksual sesaat.
Orang-orang masih sulit untuk melupakan masa lalu mereka. Sementara tuntutan
ekonomi tak bisa diabaikan. Mereka butuh uang untuk melanjutkan hidup. Maka,
ketika tidak mendapatkan tempat di keluarga dan masyarakat, mereka pun kembali
ke pelukan teman-teman lama: para pelacur dan mucikari. Ibarat selesai mandi
pakai sabun wangi, mereka menceburkan diri ke kubangan lagi!
Ya, artinya mereka gagal. Namun kita tidak patut menyalahkan
mereka sendiri. Sebab, ada faktor luar yang ‘memaksa’ mereka kembali ke ranjang
prostitusi. Apabila kita memang berkehendak pelacuran habis dari negeri ini,
paling tidak berkurang, kita perlu mendukung mereka untuk berhenti jadi
pelacur. Caranya dengan membantu melanjutkan pembinaan dengan menerima mereka
sebagai manusia, mempercayai mereka untuk bekerja, membimbing dan menguatkan
untuk tetap istiqamah di jalan yang benar, dan menjadi teman yang percaya bahwa
mereka telah berubah dan berhak untuk menjadi orang baik. Bukankah Tuhan pun
mau mengampuni penjahat keji yang telah membunuh seratus orang yang lantas bertobat dan menghadiahinya surga?
Tuan dan Nyonya, maafkanlah mereka yang dulu dan izinkan
mereka berhenti jadi pelacur![]
Ade Efdira adalah ASN Dinas Sosial Provinsi Sumatera Barat
UPTD Panti Sosial Karya Wanita Andam Dewi Solok