Friday 28 August 2015

Cemas Menolong




#PeksosJourney

Saya telah terlambat pulang. Istri mengirim pesan lewat telepon temannya; “jemputan sore ini tidak datang, tolong pesankan ojek, HP tertinggal di rumah.” Dia bekerja di sebuah sekolah fullday. Tiga orang anak kami bersamanya. Saya bekerja di luar kota, sekitar 50 kilometer dari rumah. Tugas membuat saya selalu pulang melewati jam kerja. Juga sore ini.

Langit mulai kelabu. Hawa dingin menyapa poripori. Tempat kerja saya berada di sebuah lereng gunung. Cuacanya sulit ditebak. Kadang cerah, kadang dingin basah. Saya rapatkan jaket dan eratkan scarf coklat di leher. Berangkat beriringan sepeda motor pulang ke kota bersama seorang kolega yang usianya 16 tahun di atas saya. Tak ada nomor telepon yang bisa dihubungi untuk pesan ojek atau taksi. Nomor  nomor itu tersimpan di HP lama yang kini rusak. Alamat istri saya akan menunggu di sekolah itu bersama anak anak hingga saya menjemput; bila dia tidak bisa berimprovisasi.

Sudah pukul 6 lewat. Apakah shalat magrib saja dulu supaya tenang? Tidak. Tidak. Tidak. Saya buru buru. Nanti saja sesampai di Padang. Ada banyak masjid dan mushala. Gerimis turun begitu lembut dan menjadi embun di kaca mata saya.

Pada sebuah kelokan, belum sampai sepertiga perjalanan, sebuah motor terbatuk batuk di pinggir jalan lalu mogok. Pak Ansori, teman seperjalanan saya menepi. Mau menolong. Saya pun ikut memelankan motor dan berhenti. Ternyata rantai motor itu putus; mungkin serupa itu; saya tidak terlalu paham soal otomotif, yang jelas motor itu tidak mau jalan walau mesinnya menyala.

“Mana tali, De? Kita tarik,” kata Pak Ansori. Saya memang selalu siaga dengan aneka perlengkapan di dalam jok. Tapi, menarik motor? Di jalan Sitinjau Lauik yang berbahaya ini? Oh, Tuhan! Saya baru pernah melihat mobil yang ditarik. Itu pun susah payah. “Duh, emang bisa gitu, Pak?” tanya saya galau.
“Dorong aja, Pak,” kata pengendara apes itu. Seorang lelaki yang usianya sepantaran saya.
“Dorong? Ehmm...” Saya langsung teringat waktu SMA jatuh terjerembab di jembatan dan lutut beserta celana saya robek sewaktu seorang teman membantu laju sepeda saya dengan cara menarik tangan saya dari atas sepeda motor. Oh, ide yang tidak pas buat saya yang bermasalah soal koordinasi fisik. “Ya, sudah. Biar saya yang bawa motor itu dan Uda dorong pakai motor saya.” Akhirnya begitu. Sebenarnya saya tidak yakin juga dengan ide itu. Meluncur dengan sepeda motor yang mesinnya tidak berfungsi di Sitinjau Lauik, rute paling berbahaya dari sekian banyak etape Tour de Singkarak. Belum bisa disebut sopir Sumbar apabila belum lewat lintasan ini tanpa celaka.

Jantung saya berdegupan. Tuhan, jangan biarkan saya lepas kendali dan terperosok ke jurang; Bukannya menolong malah saya yang jadinya ditolong orang. Tuhan, saya ingin pulang. Anak anak saya menunggu. Dan saya juga masih banyak rencana yang ingin saya kerjakan hari esok. Tolong jangan turunkan hujan, jangan biarkan ada macet di depan.... Saya tidak henti berdoa sambil menyelip di antara truk, bus, dan mobil mobil minibus yang tergesa. Gelap sudah menyungkup pohon pohon tinggi menjulang bersama kabut putih abu abu seperti selimut.

Setelah menuruni Bukit Barisan sekitar 15 atau 20 kilometer, akhirnya kami pun sampai di Indarung, tempat pabrik semen terbesar berada. Kedatangan malam membuat bengkel bengkel tutup. Apakah saya harus membantu antar orang ini hingga sampai ke rumahnya? Menolong tidak boleh setengah setengah.
Ada bengkel yang masih buka, tapi tidak mau melayani lagi karena jam operasinya sudah habis. Ada bengkel lain yang masih buka tapi teknisinya sudah pergi. Ada bengkel yang lainnya lagi masih buka tapi alat untuk memperbaiki motor jenis itu tidak ada. Di depan SPBU akhirnya motor itu bisa diservis. Saya dan si pengendara bertukar kendaraan kembali. Saya dan Pak Ansori pamit.

“Tunggu dulu, Pak. Kita minum dulu...” kata lelaki itu yang kemudian memberitahu namanya Mahendra atau Marendra atau Darmendra. Saya lupa. Tidak fokus karena masih tidak percaya saya bisa sampai ke Indarung dengan selamat.

“Tidak usah. Kami belum shalat,” tolak Pak Ansori. Sepertinya orang itu ingin mengucapkan terima kasih. Saya starter motor. Orang itu memutar kunci kontak  saya dan mencabutnya. Oh! Drama apa lagi?
“Saya belum pernah mengalami hal seperti ini. Belum ada orang yang menolong seperti ini. Kalau Bapak tidak mau minum...” dia mengambil uang dari saku.

“Tidak usah. Kami hanya menolong...” tolak Pak Ansori lalu cepat cepat melajukan motornya.
“Iya, kami tiap hari pulang balik Solok Padang, “sahut saya sambil meminta kunci motor. “Sini kuncinya.”
“Jangan begitu, Uda. Terimalah. Saya tidak mau berhutang budi,” dia menyodorkan selembar uang seratus ribu. Oh! Saya langsung teringat rupiah yang terjun bebas. Uang seratus ribu bisa untuk beli susu anak, sabun cuci, dan segantang beras. Hari ini ketiga barang tersebut tidak ada di rumah. Tapi...
“Tidak, Uda.. Tidak usah,” saya rebut kunci motor dari tangannya dan menyalakan motor.
“Kalau begitu beri tahu saya nama, alamat, atau nomor telepon.. siapa tahu kita bertemu dua tahun lagi,” kata lelaki kurus itu. 

Terlalu repot mencari kertas dan pena. Saya buka dompet dan keluarkan kartu nama. “Oke, Uda. Semoga motornya segera baik...” Tanpa menunggu responsnya, saya majukan motor hitam kecintaan saya yang lampunya nyala nyala hidup. Menyusul Pak Ansori untuk mencari masjid atau mushala terdekat. Sudah pukul 7 lewat. Kami belum shalat Magrib. 

HP saya menjerit... [] 

*Pagi tadi sebelum sampai di kantor, dalam perjalanan saya melihat sebuah truk merah pengangkut gula pasir teronggok di batu batu sungai Lubuk Paraku, sebuah truk hijau tertelentang di Ladang Padi, dan satu truk kuning berisi kayu rompak setelah menanduk tebing bukit. 

Tuesday 25 August 2015

Celah Sunyi




















Aku suka kesunyian, katamu.
Aku pun begitu, kataku. Tapi aku tidak suka kesepian.
Memangnya ada beda antara kesunyian dengan kesepian?
Kesunyian adalah ketika tidak ada suara berisik yang mengganggu kenyamananmu. Kesunyian adalah ketenangan, keheningan, ketika kita bisa mendengar suara jiwa sendiri. Sedangkan kesepian adalah sakit, ketika kita tertinggal sendirian, tanpa teman, tanpa ada satu orang pun yang bisa kita ajak bicara dan saling mendengarkan.
Apakah kamu kesepian, tanyamu.
Tidak bisakah kamu mendengar rintihan jiwaku dalam sunyi senyeri
ini?