#PeksosJourney
Saya telah terlambat pulang. Istri mengirim pesan lewat
telepon temannya; “jemputan sore ini tidak datang, tolong pesankan ojek, HP
tertinggal di rumah.” Dia bekerja di sebuah sekolah fullday. Tiga orang anak kami bersamanya. Saya bekerja di luar
kota, sekitar 50 kilometer dari rumah. Tugas membuat saya selalu pulang
melewati jam kerja. Juga sore ini.
Langit mulai kelabu. Hawa dingin menyapa poripori. Tempat
kerja saya berada di sebuah lereng gunung. Cuacanya sulit ditebak. Kadang
cerah, kadang dingin basah. Saya rapatkan jaket dan eratkan scarf coklat di leher. Berangkat
beriringan sepeda motor pulang ke kota bersama seorang kolega yang usianya 16
tahun di atas saya. Tak ada nomor telepon yang bisa dihubungi untuk pesan ojek atau
taksi. Nomor nomor itu tersimpan di HP
lama yang kini rusak. Alamat istri saya akan menunggu di sekolah itu bersama
anak anak hingga saya menjemput; bila dia tidak bisa berimprovisasi.
Sudah pukul 6 lewat. Apakah shalat magrib saja dulu supaya
tenang? Tidak. Tidak. Tidak. Saya buru buru. Nanti saja sesampai di Padang. Ada
banyak masjid dan mushala. Gerimis turun begitu lembut dan menjadi embun di
kaca mata saya.
Pada sebuah kelokan, belum sampai sepertiga perjalanan,
sebuah motor terbatuk batuk di pinggir jalan lalu mogok. Pak Ansori, teman
seperjalanan saya menepi. Mau menolong. Saya pun ikut memelankan motor dan
berhenti. Ternyata rantai motor itu putus; mungkin serupa itu; saya tidak
terlalu paham soal otomotif, yang jelas motor itu tidak mau jalan walau
mesinnya menyala.
“Mana tali, De? Kita tarik,” kata Pak Ansori. Saya memang
selalu siaga dengan aneka perlengkapan di dalam jok. Tapi, menarik motor? Di
jalan Sitinjau Lauik yang berbahaya ini? Oh, Tuhan! Saya baru pernah melihat
mobil yang ditarik. Itu pun susah payah. “Duh, emang bisa gitu, Pak?” tanya
saya galau.
“Dorong aja, Pak,” kata pengendara apes itu. Seorang lelaki
yang usianya sepantaran saya.
“Dorong? Ehmm...” Saya langsung teringat waktu SMA jatuh
terjerembab di jembatan dan lutut beserta celana saya robek sewaktu seorang teman
membantu laju sepeda saya dengan cara menarik tangan saya dari atas sepeda
motor. Oh, ide yang tidak pas buat saya yang bermasalah soal koordinasi fisik.
“Ya, sudah. Biar saya yang bawa motor itu dan Uda dorong pakai motor saya.”
Akhirnya begitu. Sebenarnya saya tidak yakin juga dengan ide itu. Meluncur
dengan sepeda motor yang mesinnya tidak berfungsi di Sitinjau Lauik, rute
paling berbahaya dari sekian banyak etape Tour de Singkarak. Belum bisa disebut
sopir Sumbar apabila belum lewat lintasan ini tanpa celaka.
Jantung saya berdegupan. Tuhan, jangan biarkan saya lepas
kendali dan terperosok ke jurang; Bukannya menolong malah saya yang jadinya
ditolong orang. Tuhan, saya ingin pulang. Anak anak saya menunggu. Dan saya juga
masih banyak rencana yang ingin saya kerjakan hari esok. Tolong jangan turunkan
hujan, jangan biarkan ada macet di depan.... Saya tidak henti berdoa sambil
menyelip di antara truk, bus, dan mobil mobil minibus yang tergesa. Gelap sudah
menyungkup pohon pohon tinggi menjulang bersama kabut putih abu abu seperti
selimut.
Setelah menuruni Bukit Barisan sekitar 15 atau 20 kilometer,
akhirnya kami pun sampai di Indarung, tempat pabrik semen terbesar berada.
Kedatangan malam membuat bengkel bengkel tutup. Apakah saya harus membantu antar
orang ini hingga sampai ke rumahnya? Menolong tidak boleh setengah setengah.
Ada bengkel yang masih buka, tapi tidak mau melayani lagi
karena jam operasinya sudah habis. Ada bengkel lain yang masih buka tapi
teknisinya sudah pergi. Ada bengkel yang lainnya lagi masih buka tapi alat
untuk memperbaiki motor jenis itu tidak ada. Di depan SPBU akhirnya motor itu
bisa diservis. Saya dan si pengendara bertukar kendaraan kembali. Saya dan Pak
Ansori pamit.
“Tunggu dulu, Pak. Kita minum dulu...” kata lelaki itu yang
kemudian memberitahu namanya Mahendra atau Marendra atau Darmendra. Saya lupa.
Tidak fokus karena masih tidak percaya saya bisa sampai ke Indarung dengan
selamat.
“Tidak usah. Kami belum shalat,” tolak Pak Ansori. Sepertinya
orang itu ingin mengucapkan terima kasih. Saya starter motor. Orang itu memutar
kunci kontak saya dan mencabutnya. Oh!
Drama apa lagi?
“Saya belum pernah mengalami hal seperti ini. Belum ada
orang yang menolong seperti ini. Kalau Bapak tidak mau minum...” dia mengambil
uang dari saku.
“Tidak usah. Kami hanya menolong...” tolak Pak Ansori lalu
cepat cepat melajukan motornya.
“Iya, kami tiap hari pulang balik Solok Padang, “sahut saya
sambil meminta kunci motor. “Sini kuncinya.”
“Jangan begitu, Uda. Terimalah. Saya tidak mau berhutang
budi,” dia menyodorkan selembar uang seratus ribu. Oh! Saya langsung teringat
rupiah yang terjun bebas. Uang seratus ribu bisa untuk beli susu anak, sabun
cuci, dan segantang beras. Hari ini ketiga barang tersebut tidak ada di rumah.
Tapi...
“Tidak, Uda.. Tidak usah,” saya rebut kunci motor dari
tangannya dan menyalakan motor.
“Kalau begitu beri tahu saya nama, alamat, atau nomor
telepon.. siapa tahu kita bertemu dua tahun lagi,” kata lelaki kurus itu.
Terlalu repot mencari kertas dan pena. Saya buka dompet dan
keluarkan kartu nama. “Oke, Uda. Semoga motornya segera baik...” Tanpa menunggu
responsnya, saya majukan motor hitam kecintaan saya yang lampunya nyala nyala
hidup. Menyusul Pak Ansori untuk mencari masjid atau mushala terdekat. Sudah
pukul 7 lewat. Kami belum shalat Magrib.
HP saya menjerit... []
*Pagi tadi sebelum sampai di kantor, dalam perjalanan saya melihat sebuah truk merah pengangkut gula pasir teronggok di batu batu sungai Lubuk Paraku, sebuah truk hijau tertelentang di Ladang Padi, dan satu truk kuning berisi kayu rompak setelah menanduk tebing bukit.