Wednesday 28 November 2018

Penulis 79 Tahun dan Roman Pilu dari Tepi Danau Singkarak;




Catatan Kecil atas buku “Berdiri di Persimpangan Jalan” karya Musriati
oleh Ragdi F. Daye


Sebuah karya tak lepas dari duka cita penulisnya
dan memiliki nasibnya sendiri.

Semangat Menulis pada Usia Senja
Usia bukan penghalang untuk menulis, penyair Rusli Marzuki Saria tetap menulis puisi dan menerbitkan  buku pada usia delapan puluhan. “Menulis dapat mencegah kepikunan,” begitu katanya. Masih banyak penulis berusia lanjut lainnya, yang terus menulis pada usia senja, seperti Sapardi Djoko Damono, Budi Darma, dan NH Dini.
Begitu pula dengan Ibu Musriati, penulis berusia 79 tahun yang bukunya akan kita bicarakan ini. Ibu Mus berasal dari Mungka, Payakumbuh. Setelah pensiun sebagai guru tahun 1955, beliau aktif dalam kegiatan kesenian di Kabupaten Lima Puluh Kota hingga tahun 2016. Beliau berhenti beraktivitas karena dilarang oleh keluarga, yang membuatnya kembali tekun menulis. Sejak ‘dipingit di rumah’ itulah, ada empat novel yang berhasil ditulisnya dengan mesin tik: Berdiri di Persimpangan (Desember 2016), Dendam Seorang Dara (Januari 2017), Tabir Kasih Sayang (Februari 2017), dan Mama(Maret 2017). Keempatnya ditulis dengan mesin tik karena Bu Mus belum bisa menggunakan komputer.
Bu Musriati tidak secara tiba-tiba mampu menulis. Semasa gadis, beliau sudah biasa menulis cerpen dan naskah drama. Bakat itu pun menurun pada putranya, Mahdi Syahputra, yang terkenal sebagai penulis cerpen di Harian Haluan. Ketika Mahdi sakit tahun 1988, Bu Mus menggantikan anaknya menulis cerita bersambung hingga tahun 1992 dengan tetap menggunakan nama anaknya. Istilah sekarang menjadi  ghostwriter.
Sedikit membandingkan Bu Mus, Ayah saya berusia 78 tahun, ketika saya pulang ke rumah beberapa tahun lalu, beliau meminta saya membelikan buku double folio isi seratus lembar. Katanya untuk menulis cerita-cerita sejarah negeri yang sering beliau ulang-ulang. Saya senang karena banyak kisah sejarah yang tidak saya tahu. Begitu saya belikan, Ayah menyuruh, “Simak baik-baik, lalu tuliskan!” Lho, jadi saya yang harus menulis? Saya menolak karena tak akan punya cukup waktu untuk menyimak dan menyalin cerita sebab saya pulang kampung biasanya untuk berlibur dan tidur. “Bukunya saya tinggal. Ayah tulis saja apa yang terasa atau terlintas di kepala. Nanti saya koreksi. Ditik, kalau bagus nanti diterbitkan.” Saya kembalikan buku beserta pena kepada Ayah. Bulan berikutnya ketika saya pulang kampung lagi, buku sebesar catatan utang piutang itu berisi tidak sampai satu halaman ditulisi tulisan tangan Ayah yang bagus. Menulis memang tidak semudah bicara bagi orang yang lebih suka maota (mengobrol)!
Lalu bagaimana dengan Bu Musriati? Tentu saja kita harus angkat topi. Salut! Bertolak belakang dengan sebagian kita yang masih muda, sering bicara ingin jadi penulis terkenal, namun belum juga mau berkarya. Belum juga mau mencoba menulis satu halaman demi satu halaman. Cuma bermimpi tanpa kerja keras. Bila ingin menjadi penulis, ya segeralah tuliskan idemu seperti yang dilakukan Bu Musriati, tak peduli berapa pun usiamu!

Kisah Cinta Terpisah Jarak
            Bagi penggemar novel dengan teknik narasi canggih yang menyuguhkan suspense dan twist mengejutkan, Berdiri di Persimpangan Jalan (BdPJ) barangkali terasa tawar. Cerita mengalir seperti kisah klasik yang diungkap dengan untaian bahasa  yang apik. Romantika kehidupan tokoh-tokohnya akan membuat pembaca yang melankolis menitikkan air mata. Ada kisah kasih tak sampai yang dapat mengaduk-aduk perasaan. 
            Dikisahkan sepasang muda-mudi kampung Malalo di tepi Danau Singkarak, Aida dan Isral, yang tengah menjalin cinta harus berpisah karena ayah Aida yang bekerja sebagai pegawai Kantor Pos dipindahkan ke Balikpapan. Sebelum berpisah, Aida memberikan seuntai kalung kepada Isral, kalung pemberian neneknya sepulang menunaikan  ibadah haji. Kalung itu ada sepasang, satu dibawa Aida, satu lagi yang ditinggalkan untuk Isral sebagai penanda ikatan cinta mereka. Aida mengatakan, bila kalung itu rusak atau putus, berarti hubungan mereka akan demikian juga.
            Perpisahan tanpa kepastian kapan akan bertemu lagi seperti digantung tak bertali. Itulah yang terjadi. Aida ragu dengan kelanjutan hubungannya dengan Isral. Isral yang mengaku cinta mati pada Aida pun tak dapat terus menerus menentang kehendak orang tua agar dia segera beristri. Kedua sejoli  itu berada di persimpangan jalan: antara setia pada janji atau bersikap realistis menghadapi kenyataan.
“Jalan ini sudah bersimpang, Bang Is. Aku berada di persimpangan itu. Ke mana aku akan pergi? Entahlah, Bang. Pulang kampung menemui Bang Is, entah kapan waktunya. Akan kutambatkan hati untuk pemuda itu? Entahlah, Bang.” (hal.57) Keluh Aida setelah bertemu dengan seorang pemuda baik hati yang tertarik kepadanya.
Ketika kita sedang berada di persimpangan jalan, pilihan yang benar akan mendatangkan rasa syukur dan sebaliknya, pilihan keliru akan berujung pada penyesalan yang menyakitkan. Perhitungan yang matang sangat diperlukan sebelum membuat keputusan.
Pada akhirnya, Aida memilih untuk menerima Bambang dan mengingkari janji kepada Isral: “Bukankah sudah kukatakan berulang kali, kalau Singkarak masih berair berarti aku masih setia.” (hal. 9). Campur tangan orang tuanya yang ingin Aida melupakan Isral ikut berperan dalam peristiwa ini. Ibu Aida lebih suka Bambang dengan harapan kehidupan Aida akan lebih mapan. Ayah Aida secara sengaja tidak menyampaikan surat Aida kepada Isral maupun surat Isral kepada Aida. Gadis campuran Minang-Jawa itu pun menikah dan tinggal di rumah keluarga Bambang yang kaya raya di kota Malang. Di situlah Aida menjadi galau sebab dia seolah menjadi burung di dalam sangkar emas, bergelimang kemewahan namun jiwa terpenjara.
 Sementara, nun jauh di tepi Danau Singkarak, Isral telah kehilangan gairah hidup membuat orang tuanya khawatir. Dia tak mau menikah. Sepanjang hari hanya memikirkan Aida. Tak ada perempuan lain yang bisa membuka hatinya. Hingga kemudian Isral bertemu Linda, seorang bidan desa yang tak pernah terlihat olehnya, namun Linda telah bertunangan, akibatnya mereka mengatur cara agar diizinkan menikah. Di Malang, Aida yang menderita akhirnya meninggal dunia sewaktu melahirkan seorang anak perempuan yang dinamai Wati. Cerita bergerak cepat dan ringkas. Bambang menikah lagi dengan perempuan bernama Wiwik lalu mendapat dua orang anak. Wati menjadi dewasa, mendapatkan warisan dari kakeknya, lalu dia menikah dengan seorang laki-laki dari Bukittinggi bernama Anton. Di dalam sebuah kasus hukum, Anton pergi ke Padang mengikuti persidangan gugatan tanah. Lalu bertemulah semuanya: Wati anak almarhumah Aida dan Isral bersama anak perempuannya, Silvi.

Keunikan Budaya Minangkabau
            Tema cerita dari zaman ke zaman akan berulang itu ke itu juga, tentang pengorbanan, cinta, persahabatan, pengkhianatan, perjuangan untuk mendapatkan pendidikan, konflik anak dengan orang tua, dendam, kasih tak sampai, dan lainnya. Yang membedakan cerita-cerita bertema serupa itu adalah pengemasannya, tokoh, latar, dan alur peristiwa yang menjadi wadah penyampaian cerita tersebut. Tema yang klise pun dapat menjadi cerita yang menarik apabila penulis mampu mengolahnya menjadi sesuatu yang terasa baru; dapat dengan mengubah sudut pandang cerita atau mencoba memberikan alternatif peristiwa yang berbeda daripada cerita yang pernah ada sebelumnya.
            Tema kasih tak sampai juga pernah muncul dalam roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli, yang dibungkus dengan persoalan adat Minangkabau dan perjuangan melawan penjajahan Belanda. Hal itulah yang memberi bobot lebih cerita tersebut.
            Di dalam BdPJ, kisah cinta Aida dan Isral juga diberi bungkus tradisi Minangkabau. Hal ini terlihat pada munculnya idiom-idiom Minangkabau di dalam narasi serta sejumlah kebiasaan yang hidup di tengah masyarakat Minangkabau. Misalnya:
“Badantuang guruah durani/ Puti bajuntai ateh paneh./ Kalau untuang ka dek kami, / gajah barantai mungkin lapeh.” Ungkapan ini merupakan tanggapan mamak Isral setelah dia menyampaikan maksud untuk menikahi Linda yang telah menjadi tunangan orang. Makna ungkapan itu adalah apabila rezeki hal yang tak mungkin pun dapat terjadi.
Sumbang nan duo baleh; Bambang mencium dahi Aida, “Bersamaan dengan mendaratnya ciuman itu, kalung di leher Aida putus dan jatuh di pangkuannya. Aida kaget, air mata menetes di pipi.” (hal. 64) Isral sangat merindukan Aida, namun ia gelisah karena kalungnya telah putus. Ia takut ucapan Aida ketika perpisahan dulu benar-benar terjadi. Jika kalung itu putus, maka putuslah hubungan mereka.” (hal. 65) “Sumbang nan duo baleh” adalah peraturan tidak tertulis dalam adat Minang yang berisi tentang tata krama dan nilai sopan santun, mencakup dua belas ketentuan dan larangan yang mesti ditaati perempuan Minang; jika dilanggar yang mendapat malu tidak hanya yang bersangkutan namun juga keluarganya. Salah satunya adalah sumbang bagaua (tidak patut dalam bergaul), yakni bergaul terlalu dekat dengan laki-laki yang bukan muhrim, terlebih berdua-duaan melakukan hal yang terlarang.
Di dalam masyarakat Minang, dikenal istilah malakok yaitu pemberian suku kepada orang luar Minang yang ingin menjadi orang Minang, seperti urang sumando dari luar Minang, pendatang yang sudah lama menetap di daerah Minang, atau anak yang lahir tak bersuku karena ibunya bukan orang Minang. Adat malakok ini memiliki persyaratan yang cukup berat agar si anak dapat menumpang ke suku ayahnya, bisa dengan memberikan upeti emas, bisa juga dengan menyemblih kerbau untuk makan bersama orang senagari. Di dalam BdPJ, ayah Aida, Kusno, malakok ke suku Caniago. 
Di buku ini juga disinggung tradisi membawa makanan ke keluarga calon pengantin yang mempunyai makna tertentu. “Itu ketiding atau keranjang yang penuh berisi nasi. Nantinya, nasi itu kita makan bersama. Ketiding kita isi kembali dengan beras. Hal itu sebagai symbol bahwa kita memakai timbal balik. Ada lagi singgang ayam, ayam gulai yang kuahnya sedikit, tidak dipotong dan tidak dicampur dengan apa pu njuga. Saat mereka pulang nanti, ayam itu kita ambil tiga perempat dan mereka bawa kembali seperempat. Hal ini sebagai symbol bahwa mereka berkehendak meminta anak kita menjadi milik mereka seutuhnya. Sementara itu, pengembalian seperempat ayam sebagai symbol bahwa si lelaki tetap dalam kuasa saudaranya walaupun hanya seperempatnya. Ada lagi talam penjemput. Semua isinya disalin seperempat. Hal ini sebagai simbol kalau pencarian si lelaki nanti berlebih dari kebutuhan istri dan anak-anak, ia harus memberikan kepada saudara, terutama kepada kemenakan atau anak-anak dari saudara perempuannya. Begitulah  kira-kira.” (hal. 82-83)
Ada lagi petuah-petuah yang mengandung filosofi hidup:
“Mak Datuk berkata tegas, ‘Ya, begitu kalau laki-laki, Buyung. Benang terentang dalam tenun, perlu disudahi hingga menjadi kain yang bagus. Ingatkah kau cerita Cindua Mato menjemput tunangan Dang Tuanku untuk dibawa ke rumah si Bundo Kanduang? Bundo Kanduang bicara, “Barangkeklah, oi Buyuang, si Cindua Mato. Japuik tabao tunangan Tuan ang. Kalau manjapuik tak tabao, waang manjadi ayam gadang, dadak mananti di tampuruang.” Begitu kalau kau benar-benar laki-laki, Buyung.” (hal. 104)
“Ada baiknya adat dipakai, limbago dituang, hilang kita cari, hanyut kita pintas.” (hal.115)

Menikmati Romantisme
Buku terbitan Erka setebal 187 halaman  ini layak diapresiasi. Tidak mudah menulis novel dengan alur yang berkelok-kelok dan panjang, namun Bu Musriati yang sudah berusia menjelang delapan puluh tahun mampu menulisnya dengan apik. Lengkap dengan pemilihan tokoh cerita yang cukup banyak, latar yang mengambil beberapa daerah di Indonesia, dan jalinan cerita yang dramatis. Barangkali akan mengingatkan kita pada cerita rabab semalam suntuk. Buku ini layak untuk memperkaya koleksi perpustakaan.
Bila harus disampaikan juga kekurangannya (inilah tugas berat bagi saya yang penyegan ini), inilah ia: yang paling terasa adalah jalan cerita yang tergesa. Penulis lebih fokus pada lika-liku alur sehingga cerita jadi terkesan terburu-buru tanpa eksplorasi lebih dalam terhadap karakter tokoh dan peristiwa. Seperti sinopsis. Mungkin penulis lelah. Deskripsi latar juga belum maksimal. Pada saat awal membaca dan menemukan setting Danau Singkarak, saya langsung terpikat, “Wow, Singkarak!” sebab Danau Singkarak adalah tempat yang sangat indah dan kebetulan sering saya kunjungi. “Singkarak nan badangkang”, ungkapan itu terngiang-nginang. Namun ternyata Singkarak hanya sekadar dijadikan tempat berpijak tokoh cerita, belum dieksplore secara mendalam persoalan geografis maupun kulturalnya, padahal Singkarak punya banyak cerita yang menggoda untuk diolah, seperti ikan endemiknya (bilih), makanannya (pangek sasau, pensi, rinuak), misterinya (konon dasar danau tak terukur, bila ada kendaraan jatuh akan sulit untuk ditemukan lagi), dan lain-lain.
Contohnya bagian yang mengisahkan Aida meninggal. Begitu singkat. Diawali dengan orang tua Aida yang berkunjung ke Malang untuk membezuknya. Lalu dalam beberapa paragraf, tokoh utaman cerita dimatikan: “Kusno mendekap Aida dengan raungan panjang. Tak peduli semua mata tertuju kepadanya. Aida diam, tapi semua mata tertuju kepadanya. Aida diam, tapi tetap menggenggam tangan kedua orang tuanya. Antara terdengar dengan tiada Aida berkata pelan sekali, ‘Bacakan aku surat yasin, Ma.’ Suci menuruti pinta anaknya dan berdengunglah ayat-ayat suci di ruangan rumah sakit itu. Suara Suci sangat merdu dalam pendengaran Aida. Ia sekali lagi memberikan senyuman. Kusno mengira anaknya ada angsuran, tapi kenyataannya lain. Mata Aida yang tadinya terbuka, kini secara pelan tertutup. Tertutup untuk tidak akan terbuka lagi.” (hal. 120) Tidak digambarkan bagaimana Aida menanggung sakit batin yang merambat sampai ke badan. Teknik bercerita “Show, don’t tell!” seolah tidak berlaku di novel ini. Hanya dengan cerita yang dituturkan pengarang, pembaca sudah mendapatkan kepiluan nasib para tokohnya.
Selanjutnya eksplorasi tokoh juga belum maksimal. Barangkali disebabkan cerita yang mengalir deras dengan cepat, penggambaran dan pengembangan karakter belum kuat, kecuali sebatas narasi pengarang yang mengungkapkan kebagusan fisik tokohnya. Tokoh antagonis yang biasanya muncul sebagaimana layaknya formula cerita, juga menanggung hadirnya. Penghambat hubungan Aida dan Isral adalah orang tua Aida. Eksplorasi yang masih tanggung ini menyebabkan simpati dan empati kepada para tokoh juga tidak terlalu kuat.
Meski begitu, saya mencoba memosisikan diri sebagai ‘pendengar’, bila kisah romantika Aida dan Isral ini dilisankan, mungkin dengan iringan rabab, atau cukup diceritakan malam-malam sambil batanggang, pasti akan menarik sekali. Begitu dahsyatnya parasaian mereka. Namun, apabila saya bersikukuh di posisi pembaca prosa, sementara kenikmatan sebuah prosa terletak pada narasi yang membangkitkan imajinasi, maka saya perlu menyetel musik untuk teman menikmatinya.
Sekali lagi kita sampaikan tahniah kepada Ibu Musriati yang sudah berhasil dengan pencapaiannya. Semoga suatu hari, novel ini dialihwahanakan!

No comments:

Post a Comment