Friday 14 March 2014

Tangki





Gadis itu hanya bisa tertunduk. Jari-jemarinya meringkuk di atas meja kayu. Kulit hitam manisnya kian gelap karena lama terpanggang sinar matahari di SPBU. Dia berjuang untuk tidak menangis.

Orang di depannya kembali menyalak, “Apa kau mau membela diri?”

“Tidak, Kak.” Rambut hitam sepinggulnya ikut menggigil. “Saya memang bersalah.”

“Aku bisa mengadukanmu ke polisi.”

“Jangan, Kak.”

“Mulai hari ini kau berhenti. Gajimu bulan ini sebagai pengganti uang yang kaucuri! Berapa yang kauambil?”

“Hanya sepuluh sampai duapuluh sehari, Kak. Itu hanya beberapa kali. Jangan dipotong semuanya. Tolong!”

“Anjing! Pergi kau!”

Gadis tinggi kurus itu beringsut dengan mata berkaca-kaca. Hatinya ingin berontak dan memuntahkan kata-kata jahanam untuk majikan yang penindas itu, tapi mulutnya kelu. Gontai dia keluar. Udara kota yang berkabut menyambutnya. Juga kakaknya dengan tiga anak yang gemetaran. 

“Mereka telah memecatku dan tak mau memberikan gajiku.” katanya pahit. Dua keponakan kecilnya menubruk dan memeluk kakinya. 

“Uncu dipecat? Uncu tak bisa kerja lagi, ya?” tanya yang laki-laki.

“Ya, Uncu harus cari kerja yang lain. Mari kita pulang.”

“Mereka tidak bisa sewenang-wenang!” kecam perempuan itu. Wajahnya menegang. Lehernya mengejang. Dia sudah bersiap untuk menerjang pintu kantor itu.

“Biarlah, Kak. Aku akan cari kerja lagi. Tak usah ribut-ribut nanti datang polisi. Aku sudah capek berurusan dengan polisi…”

Perempuan itu mengusap dada kerempengnya. Memeluk anak-anaknya. Gadis itu mengambil motor yang sebagian telah rusak karena pernah tertabrak beberapa bulan lalu. Beberapa temannya memandang sambil melontarkan ucapan simpati. Juga teman yang melaporkannya. Motor menderum. Kakak dan keponakan-keponakannya naik. Berlima mereka melaju di atas jalanan Kota Pekanbaru yang berdebu.

“Andai saja…” perempuan itu membatin, “Andai saja abang tidak mengambil jalan pintas..”

Ya, andai saja begitu, maka adiknya juga tidak harus mengambil jalan pintas serupa: mencuri.

Utang. Tangki resmi membawa minyak illegal. Polisi. Pengadilan. Penjara. Utang. Lapar. Utang. Utang. Utang. Sebagai seorang ibu, dia telah melupakan bahwa dirinya dulu pernah merupakan gadis cantik yang digila-gilai banyak lelaki. Dia telah melupakan siapa dirinya agar tetap tabah mencari nafkah: mencuci, menyetrika, mengupas bawang, membabu, mengojek… semua telah dia lakukan asal anak-anaknya bisa tetap hidup layak sebagai anak manusia. Dia akan melakukan apa saja asal tidak melonte. Dan adiknya yang berhati perih dengan penghasilan tak seberapa sebagai pengisi BBM di SPBU itu telah mencuri sepuluh ribu-duapuluh ribu untuk menutupii biaya hidup mereka.

Andai.. andai bukan kota ini yang dipilihnya sebagai rantau.[]

No comments:

Post a Comment