Gadis itu hanya bisa tertunduk. Jari-jemarinya meringkuk di
atas meja kayu. Kulit hitam manisnya kian gelap karena lama terpanggang sinar
matahari di SPBU. Dia berjuang untuk tidak menangis.
Orang di depannya kembali menyalak, “Apa kau mau membela
diri?”
“Tidak, Kak.” Rambut hitam sepinggulnya ikut menggigil. “Saya
memang bersalah.”
“Aku bisa mengadukanmu ke polisi.”
“Jangan, Kak.”
“Mulai hari ini kau berhenti. Gajimu bulan ini sebagai
pengganti uang yang kaucuri! Berapa yang kauambil?”
“Hanya sepuluh sampai duapuluh sehari, Kak. Itu hanya beberapa kali. Jangan dipotong
semuanya. Tolong!”
“Anjing! Pergi kau!”
Gadis tinggi kurus itu beringsut dengan mata berkaca-kaca. Hatinya
ingin berontak dan memuntahkan kata-kata jahanam untuk majikan yang penindas
itu, tapi mulutnya kelu. Gontai dia keluar. Udara kota yang berkabut
menyambutnya. Juga kakaknya dengan tiga anak yang gemetaran.
“Mereka telah memecatku dan tak mau memberikan gajiku.” katanya
pahit. Dua keponakan kecilnya menubruk dan memeluk kakinya.
“Uncu dipecat? Uncu tak bisa kerja lagi, ya?” tanya yang
laki-laki.
“Ya, Uncu harus cari kerja yang lain. Mari kita pulang.”
“Mereka tidak bisa sewenang-wenang!” kecam perempuan itu. Wajahnya
menegang. Lehernya mengejang. Dia sudah bersiap untuk menerjang pintu kantor
itu.
“Biarlah, Kak. Aku akan cari kerja lagi. Tak usah ribut-ribut nanti
datang polisi. Aku sudah capek berurusan dengan polisi…”
Perempuan itu mengusap dada kerempengnya. Memeluk anak-anaknya.
Gadis itu mengambil motor yang sebagian telah rusak karena pernah tertabrak
beberapa bulan lalu. Beberapa temannya memandang sambil melontarkan ucapan
simpati. Juga teman yang melaporkannya. Motor menderum. Kakak dan
keponakan-keponakannya naik. Berlima mereka melaju di atas jalanan Kota
Pekanbaru yang berdebu.
“Andai saja…” perempuan itu membatin, “Andai saja abang
tidak mengambil jalan pintas..”
Ya, andai saja begitu, maka adiknya juga tidak harus mengambil
jalan pintas serupa: mencuri.
Utang. Tangki resmi membawa minyak illegal. Polisi. Pengadilan.
Penjara. Utang. Lapar. Utang. Utang. Utang. Sebagai seorang ibu, dia telah melupakan
bahwa dirinya dulu pernah merupakan gadis cantik yang digila-gilai banyak
lelaki. Dia telah melupakan siapa dirinya agar tetap tabah mencari nafkah:
mencuci, menyetrika, mengupas bawang, membabu, mengojek… semua telah dia
lakukan asal anak-anaknya bisa tetap hidup layak sebagai anak manusia. Dia akan
melakukan apa saja asal tidak melonte. Dan adiknya yang berhati perih dengan
penghasilan tak seberapa sebagai pengisi BBM di SPBU itu telah mencuri sepuluh
ribu-duapuluh ribu untuk menutupii biaya hidup mereka.
Andai.. andai bukan kota ini yang dipilihnya sebagai rantau.[]
No comments:
Post a Comment